25 Januari 2010

» Home » Kompas » Memaknai Pertemuan Bogor

Memaknai Pertemuan Bogor

Pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan para pemimpin lembaga tinggi negara di Istana Bogor pekan lalu ternyata menuai kontroversi. Sejumlah kalangan khawatir ada upaya Presiden mengooptasi sikap dan posisi lembaga-lembaga tinggi negara dalam merespons perkembangan politik mutakhir. Benarkah demikian?
Konsultasi ataupun komunikasi langsung antara Presiden dan para Ketua MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, dan Ketua Komisi Yudisial sebenarnya wajar-wajar saja. Selaku Kepala Negara, Yudhoyono bisa saja menginformasikan kegelisahannya atas perkembangan politik mutakhir dan meminta pandangan atau masukan pimpinan lembaga negara lainnya. Artinya, tak ada yang salah dengan pertemuan Bogor sepanjang para pemimpin lembaga negara lainnya tidak membuat kesepakatan politik yang mereduksi independensi masing-masing lembaga negara.


Yang justru agak aneh dan tidak perlu sebenarnya adalah pernyataan Yudhoyono setelah pertemuan berlangsung. Seperti diwartakan berbagai media, Yudhoyono menegaskan, tak ada mosi tidak percaya ataupun pemakzulan (impeachment) dalam sistem presidensial yang dianut konstitusi kita seperti pada umumnya berlaku dalam sistem parlementer.
Pertanyaannya, apakah ada indikasi bahwa DPR hendak mengirim mosi tidak percaya kepada Presiden? Atau, apakah memang ada upaya politik pihak-pihak tertentu untuk memakzulkan Presiden dari kekuasaannya?
Rapat-rapat Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century yang mendengarkan keterangan saksi-saksi dan ahli sejauh ini memang berlangsung ”panas”. Sejumlah anggota Pansus bahkan terlampau emosional mengajukan pertanyaan atau sanggahan terhadap keterangan para saksi dan ahli yang diundang.
Namun, hampir tidak ada indikasi bahwa sikap Pansus pada umumnya bakal mengarah pada mosi tidak percaya kepada Presiden Yudhoyono. Para pejabat yang masih aktif, termasuk Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahkan berusaha ”menyelamatkan” Presiden dan mengambil alih tanggung jawab kasus Century.
Pada awal masa kerja memang pernah terlontar ”imbauan” Pansus agar para penyelenggara negara yang terkait skandal Century non-aktif dari jabatan. Namun, kemudian muncul koreksi publik bahwa imbauan tersebut terlalu prematur dan tidak perlu. Karena itu, kekhawatiran Presiden akan munculnya mosi tidak percaya dari parlemen rasanya terlampau berlebihan karena tak mencerminkan realitas dinamika politik DPR dewasa ini.
Dukungan koalisi
Secara politik, kedudukan Presiden Yudhoyono dewasa ini jelas masih sangat kuat. Meskipun berbagai aksi masyarakat sipil sering kali mengkritisi dan menggugat pernyataan serta pidato Yudhoyono yang dianggap kurang simpatik, tetapi itu sama sekali belum mengubah relasi Presiden-DPR. Relatif belum tampak sikap politik berbeda dari parpol-parpol koalisi pendukung Yudhoyono di Senayan, kecuali sekadar pernyataan individual beberapa anggota DPR yang belum tentu mencerminkan dan menjadi sikap politik fraksinya. Artinya, Yudhoyono saat ini bisa dikatakan masih didukung penuh koalisi politik yang mencakup lebih dari 75 persen kekuatan DPR.
Sementara itu PDI Perjuangan sebagai parpol ketiga terbesar belum menunjukkan sikap oposisi berhadapan dengan posisi parpol-parpol koalisi. Hal yang sama tampak pada Gerindra dan Hanura, dua parpol baru yang berada di luar koalisi. Karena itu, kalaupun muncul sikap keras anggota Pansus terhadap Presiden, pada umumnya lebih sebagai sikap individual legislator ketimbang sebagai posisi politik fraksi mereka.
Seperti pernah saya kemukakan sebelumnya (”Membaca Arah Angket DPR”, Kompas, 8/12/2009), pengajuan hak angket DPR terkait skandal Century harus pula dilihat sebagai ”panggung politik” bagi para politisi parpol untuk mengaktualisasikan diri secara publik sebagai ”wakil rakyat”. Melalui tayangan langsung media elektronik, kita bahkan bisa menyaksikan sejumlah anggota Pansus yang terlalu bersemangat dan emosional sehingga sering kali keluar dari substansi persoalan yang hendak digali.
Tidak signifikan
Secara ekstra-parlementer memang ada usaha berbagai kelompok masyarakat sipil, seperti elemen aktivis mahasiswa, LSM, dan sejumlah tokoh politik untuk menggalang semacam ”koreksi moral” terhadap Presiden. Saat ini, misalnya, beredar pesan pendek, juga melalui situs jejaring sosial Facebook dan jaringan surat elektronik, yang berisi ajakan bergabung dalam demonstrasi damai, 28 Januari mendatang.
Namun, mungkin terlampau berlebihan juga jika aktivitas damai dan sukarela masyarakat sipil dicurigai sebagai bagian dari upaya pemakzulan terhadap Presiden. Mungkin saja ada aktivis atau tokoh politik yang mencoba ”mengail di air keruh”, tetapi rasanya tak signifikan jika dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan Yudhoyono. Persoalannya, selama aktivitas demikian tidak memperoleh dukungan politik dari DPR, hampir tak ada peluang bagi siapa pun untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden.
Oleh karena itu, yang ditunggu rakyat kita dari Presiden bukanlah pernyataan dan pidato yang acapkali tidak perlu dan bahkan tidak produktif. Rakyat kita sudah terlalu lelah dengan perdebatan dan polemik para elite politik yang hampir tidak ada habisnya. Yang diperlukan rakyat adalah pemerintah yang mendengarkan suara hati mereka, yakni dengan bekerja, bekerja, dan bekerja.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Bidang Politik LIPI
opini Kompas 26 Januari 2010