Oleh Dede Syarif
Sejumlah peristiwa nasional, seperti koin solidaritas  untuk Prita, solidaritas Bibit-Chandra, serta pembobolan rekening  sejumlah nasabah bank, menjadi penanda datangnya sebuah "masyarakat  baru". Disebut masyarakat baru karena peristiwa-peristiwa tersebut  berlangsung dalam cara, situasi, dan realitas yang baru. Koin  solidaritas untuk Prita misalnya, terbentuk melalui jejaring sosial  seperti Facebook, Twitter, yang kemudian menyebar dan menggugah simpati  banyak pihak. Sebuah peristiwa yang sejauh ini tidak pernah terjadi di  masyarakat kita.
Fenomena penggunaan media internet juga menjadi kunci  sukses kemenangan Presiden Barack Obama. Seperti dilansir sejumlah  media, tim pemenangan Barak Obama menggunakan short massage service  (SMS) dan jejaring sosial sebagai media kampanyenya. .
Penggunaan teknologi informasi seperti televisi,  internet, dan telefon seluler oleh masyarakat merupakan basis bagi  munculnya masyarakat cyber. Perangkat teknologi informasi tadi mendorong  revolusi terbentuknya masyarakat cyber. Kehadiran masyarakat tersebut  sesungguhnya sudah diwartakan para ahli jauh-jauh hari. Namun,  realitasnya baru benar-benar dirasakan masyarakat Indonesia ketika  sejumlah kasus tadi mengemuka. 
Hilangnya batas sosial
Dalam tinjauan sosiologi, munculnya masyarakat cyber  berakibat hilangnya batas-batas sosial. Pada era globalisasi dan abad  virtual seperti sekarang, banyak konsep sosial seperti struktur sosial,  interaksi sosial, integrasi, dan solidaritas kelompok menjadi kehilangan  realitas konkretnya. Unsur-unsur pembentuk masyarakat menjadi tak lebih  dari mitos belaka. Dalam masyarakat cyber, berbagai realitas sosial  yang berkembang dalam skala global –terutama yang diakibatkan kemajuan  teknologi informasi- justru menggiring masyarakat pada wilayah  nirsosial.
Lenyapnya batas sosial, menurut Alan Touraine dalam  bukunya Two Interpretations of Social Change (1992), disebabkan laju  modernisasi yang telah mencapai titik ekstremnya. Situasi tadi  disebutnya sebagai era hiper modernisasi kontemporer. Kehidupan sosial  telah kehilangan kesatuannya. Hal itu kini tak lebih dari sebuah arus  perubahan yang terus-menerus yang di dalamnya para pelaku (actors), baik  sebagai individu mapun kolektif, tidak lagi bertindak sesuai dengan  nilai-nilai dan norma-norma sosial (Yasraf A. Piliang: 1998). Acuan  tindakan mereka tidak lain adalah strateginya masing-masing agar dapat  survive di tengah derasnya proses perubahan global. Oleh karena itu,  tindakan mereka sulit dikontrol institusi resmi seperti agama dan  negara.
Warga dalam masyarakat cyber ini bertegur sapa di  ranah dunia maya. Perangkat-perangkat media dan informasi (televisi dan  internet) menciptakan berbagai relasi sosial semu. Oleh karena itu,  prinsip eksistensi (ada dan mengada) dalam masyarakat cyber berpusat di  media. Diktumnya berbunyi, "Saya masuk TV, maka saya ada!". Dengan  prinsip seperti ini, kita dapat memafhumi alasan kenapa para politisi,  dai, dan selebritis berlomba menguasai citra simulacra di layar kaca.  Artinya, jika anda melihat layar kaca, maka masyarakat dihadapkan pada  realitas ganda: fakta dan fiksi. Kemunculan dalam layar kaca tak lebih  dari citra, iklan, dan rekaan belaka.
Tidak ada lagi batas sosial pada masyarakat cyber,  yang ada adalah transparansi. Semua orang boleh berpartisipasi,  mengkritik, mencaci, atau berkhotbah. Di kalangan masyarakat cyber, tata  sosial yang sebelumnya menopang masyarakat menjadi pudar. Batas-batas  sosial antara dunia anak-anak dan orang dewasa tak berlaku di hadapan  situs-situs porno yang tersebar di internet. Di dunia cyber, sulit  dibedakan antara borjuis dan proletar, penegak hukum dan penjahat,  penguasa dan teroris, nasabah dan pembobol bank, serta jaksa dan  koruptor. Semuanya tampak sumir. 
Kehadiran masyarakat cyber merupakan konsekuensi dari  globalisasi, dan kita telanjur menjadi bagian di dalamnya. Yang  terpenting adalah menentukan sikap agar di tengah arus deras ini,  masyarakat dan pemerintah tidak limbung menentukan arah. Jangan sampai  kita hanyut dalam strategi le strategy de fatale model J. Baudlirrad  yang paradoks: tidak menerima, tidak menolak, tidak mengkritik, tidak  menyanjung, tetapi hanyut di dalam setiap ekstasinya. Masyarakat  dikepung informasi, koran, majalah, televisi, ponsel, gosip, fakta,  fiksi, hiburan, data, dan peristiwa. Kita seperti tak sanggup membendung  arus deras informasi tadi. Anehnya, dalam masyarakat cyber, semakin  banyak informasi, justru semakin bingung kita dibuatnya.
Sepertinya inilah satu realitas dibalik tidak  jelasnya rentetan peristiwa skandal Bank Century, kasus pembunuhan  Nasrudin Zulkarnaen, dan pembobolan rekening nasabah bank. Absurd!
Selamat datang di masyarakat cyber.***
Penulis, pengajar sosiologi dan peneliti, Fak.  Ushuluddin, UIN Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 26 Januari 2010