25 Januari 2010

» Home » Kompas » Etika Penyelamatan Century

Etika Penyelamatan Century

Kita sudah mengikuti drama penyelamatan Bank Century sejak BPK menyerahkan hasil audit investigasinya. Drama masih berlanjut dalam pemeriksaan Pansus Bank Century dan di media massa.
Terhadap penyelamatan (bail out) Bank Century yang diputuskan Komite Stabilitas Sektor keuangan (KSSK) dan dilaksanakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ada pro dan kontra. Penyelamatan itu kontroversial. Di antara yang pro ada yang sedemikian besar dukungannya kepada KSSK sehingga emoh membicarakan hal itu. Bagi mereka, itu sudah berlalu. Kenyataan bahwa kita selamat dari ancaman krisis, menurut mereka, itu berkat keputusan KSSK.


Namun, ada juga yang tidak bersikap mau benarnya sendiri seperti itu. Kelompok ini mau meladeni pengecam KSSK dengan berargumentasi. Di kalangan pansus, kaum ”pro” itu misalnya dari fraksi Partai Demokrat. Dari kalangan ahli ekonomi di luar Pansus, kita lihat ada Chatib Basri. Ahli hukum tata negara, Yusril Mahendra, juga membenarkan dasar hukum keputusan KSSK, yakni peraturan pengganti undang-undang (perppu) yang tidak ditolak DPR.
Kubu yang berseberangan dengan mereka di Pansus antara lain dari fraksi PDI Perjuangan dan Golkar. Dari luar pansus ada ahli-ahli ekonomi, seperti Kwik Kian Gie, Dradjad Wibowo, Rizal Ramli, dan Ikhsanudin Noorsy.
Pertimbangan moral
Keputusan penyelamatan Century tidak cukup dijelaskan berdasarkan nalar, fakta, dan pengalaman. Penjelasan yang logis-rasional dan empiris-faktual itu memang perlu, tetapi tidak cukup. Keputusan itu harus pula ditumpukan pada pertimbangan moral. Kesimpulan audit investigasi BPK mengatakan bahwa keputusan KSSK tidak berdasarkan parameter-parameter yang terukur dan tidak prudent.
Prudence ialah ”kehati-hatian demi melindungi kepentingan diri”, dan ”diri” di sini berarti kita semua, terutama rakyat jelata yang hidupnya susah. Prudence menuntut pertimbangan moral-etis. Di antara mereka yang ”kontra” penyelamatan Century, ada yang mengatakan, KSSK awalnya akan menerapkan patokan-patokan perbankan Uni Eropa untuk menetapkan bahwa Bank Century gagal dan berdampak sistemik.
Namun, keempat patokan itu tidak didukung fakta dan data yang ada. Lalu dipakai patokan lain, yakni ”psikologi pasar”. Karena penilaian atas psikologi pasar bersifat subyektif, masuklah dimensi etis. Tidak hanya pertimbangan ”benar-salah”, tetapi pertimbangan ”baik-buruk” juga tidak boleh diabaikan.
Baik yang ”pro” maupun yang ”kontra” terhadap keputusan KSSK menggunakan data yang ada untuk mendukung kesimpulannya. Kesimpulan mereka deduktif dan aduktif. Deduksi ialah penyimpulan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya diasumsikan atau sudah nyata dengan sendirinya (self-evident).
Aduksi ialah membenarkan keputusan berdasarkan contoh. Dengan kata lain, menarik analogi. Asumsi yang dipakai sebagai premis, misalnya, bahwa perbankan dan sistem keuangan Indonesia menjelang dan sampai awal tanggal dua puluhan November 2008 genting, ibarat telur di ujung tanduk. Pengalaman yang dipakai dalam aduksi adalah krisis 1998 dan gelontoran BLBI, penutupan Indover.
Normatif?
Dengan asumsi KSSK berpegang pada etika normatif, secara aksiologis tentu KSSK berusaha menghadirkan kebaikan tertinggi (summum bonum). Kalau lebih deontologis, komite ini menunaikan apa yang diyakini sebagai kewajibannya dan tunduk pada imperatif kategoris yang diyakininya. Apakah summum bonum atau imperatif kategori itu yang tahu hanya Sri Mulyani dan Boediono (dan Tuhan).
Kalau mereka seperti Immanuel Kant, mereka melakukan ”kehendak baiknya” secara otonom dengan menempatkan manusia bukan sebagai sekadar alat. Tekanannya terletak pada niatnya, tidak pada konsekuensinya. Namun, mereka tidak boleh cuci tangan ala Pontius Pilatus. Mereka harus mempertanggungjawabkan keputusan dan menerima risikonya kalau salah. Cendekiawan memang harus begitu.
Lain halnya kalau KSSK memeluk antinomianisme. Dalam hal ini, KSSK memasuki proses pengambilan keputusan itu tanpa bekal norma moral apa pun. Keputusannya ad hoc, impromptu, dan ditentukan oleh apa yang dirasakan dan dipikirkannya ”di situ dan pada saat itu juga”. Ini bisa terjadi kalau KSSK mengidap gnostisisme, yakni paham yang penganutnya mendaku memiliki adi nurani (superconscience). Mereka (sok paling) tahu apa yang harus dilakukan.
Konon ketika Miranda Goeltom diberi tahu bahwa Burhanuddin Abdullah dan Anwar Nasution mencela keputusan KSSK, ia mengatakan bahwa kedua tokoh itu sudah berada ”di luar” dan tidak dapat merasakan apa yang dirasakan ”orang-orang dalam”. Kemungkinan adanya Einfuehlung orang lain yang notabene berpengalaman di dunia perbankan dinafikan. Suasana menghadapi krisis yang sudah di depan mata (imminent crisis) akibat gagalnya Century dianggap unik dan merupakan momen eksistensial. Orang lain tidak berhak menjadi ”hakim kursi malas” yang memvonis dari posisi yang aman. Kalau benar begitu, anarkisme mewarnai keputusan penyelamatan Century.
L Wilardjo
Guru Besar Fisika Universitas Kristen Satya Wacana
opini KompAS 26 Januari 2010