25 Januari 2010

» Home » Republika » Mimpi Buruk Pasar Bebas

Mimpi Buruk Pasar Bebas

Oleh: Jarot Doso Purwanto
(Staf Ahli DPR RI)


Kesepakatan umum perdagangan bebas Cina-ASEAN diteken para kepala negara ASEAN dan Cina pada 2002 di Phnompenh, Kamboja. Perincian kesepakatan CAFTA (ASEAN-China Free Trade Area) telah ditandatangani pula oleh para menteri negara ASEAN dan Cina pada 2004.

Namun, apa boleh buat, menurut pengakuan kalangan asosiasi industri, apa yang disepakati lima dan tujuh tahun lalu itu, baru sekali disosialisasikan kepada para pimpinan asosiasi industri sebulan sebelum masa berlakunya pada 1 Januari 2010. Itu pun dilakukan oleh Kementerian Perindustrian yang ironisnya sejak awal justru menyatakan Indonesia belum siap ikut pasar bebas Cina-ASEAN. Bukan oleh Kementerian Perdagangan yang antusias mendukung implementasi agenda CAFTA.

Menperin MS Hidayat, dalam Rapat Kerja Menteri-menteri Bidang Perekonomian dengan DPR, mengatakan bahwa sepekan setelah dilantik, ia mengumpulkan 18 asosiasi industri dan seluruh jajaran eselon I Kementerian Perindustrian, untuk me-review pos-pos tarif, yang akhirnya memunculkan 288 pos tarif yang sekarang dan akan direnegosiasikan dalam kerangka CAFTA.

Banyak keluhan dari kalangan industri soal perdagangan bebas. Ini disebabkan pemerintah tidak siap. Padahal, merekalah motor penggerak sektor riil, yang mampu menyediakan jutaan lapangan kerja. Mereka pula yang pertama-tama akan merasakan langsung ancaman pasar bebas Cina-ASEAN.

Keterlibatan KADIN dan Apindo dalam perjanjian ini tidak dengan sendirinya menghasilkan sosialisasi CAFTA sampai ke asosiasi industri masing-masing sektor. Buktinya, 18 asosiasi industri yang diundang Komisi VI DPR menyatakan tidak memiliki cukup informasi mengenai pelaksanaan CAFTA. Itulah mengapa, selama ini mereka tidak mempersiapkan diri, sebab memang tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Terlebih dukungan pemerintah dan perbankan ke arah itu juga tidak ada.

Pemerintah, misalnya, selama lima tahun terakhir, dinilai tidak cukup mengeluarkan regulasi yang memihak industri dalam negeri, baik berupa subsidi pajak ekspor maupun penyiapan infrastruktur, seperti fasilitas jalan dan ketersediaan listrik murah, kemudahan izin, dan sebagainya. Sementara itu, suku bunga kredit perbankan yang berkisar 12-14 persen, membuat industri dalam negeri mustahil menang melawan kompetitornya dari negeri Cina, yang dimanjakan kredit murah berbunga hanya 4-5 persen per tahun.

Lima tahun terakhir, kebijakan perbankan kita memang lebih memihak sektor finansial dan menganaktirikan sektor riil. Sejalan dengan itu, pemerintah juga lebih suka menaruh uangnya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), ketimbang mendayagunakannya demi menggenjot sektor riil, seperti revitalisasi industri atau pengembangan industri pengolahan  (processing manufactur) . Maka yang terjadi, industri kita bukan berkembang makin maju  (mature industry) , melainkan mengalami deindustrialisasi yang ditandai tutupnya pabrik-pabrik. Terakhir, menurut asosiasi industri baja, sekitar 50 persen pabrik paku gulung tikar karena kalah bersaing dengan paku dari Cina.

Iklim usaha kita juga dikeluhkan kalangan asosiasi industri, karena belum sepenuhnya kondusif mendukung bangkitnya industri nasional. Ekonomi biaya tinggi  (high-cost economy) berupa membengkaknya biaya-biaya siluman, akibat praktik KKN dan layanan birokrasi yang tidak profesional, menjadi salah satu penghambat utama peningkatan daya saing.

Prof Dr Hendrawan Supratikno, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Krsiten Satya Wacana Salatiga, bahkan lantang menyatakan, ''Musuh terbesar kita (untuk meningkatkan daya saing di pentas global) adalah  high-cost economy. Karena itulah, reformasi birokrasi (untuk memangkas ekonomi biaya tinggi) kita dukung sepenuhnya.''

Penilaian serupa dinyatakan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI). Pungutan liar menjadi salah satu sumber masalah utama dalam investasi yang harus diberantas. Besarnya pungli bisa mencapai 12 persen dari biaya produksi. Bagaimana produk kita akan berdaya saing kuat bila pungli saja sudah begitu besar, belum lagi birokrasi yang panjang, infrastruktur tidak memadai, peraturan perpajakan yang tidak jelas, dan korupsi yang merajalela.

Walhasil, jika pelaku usaha menyatakan tak siap, Kementerian Perindustrian juga menyatakan belum siap, pertanyaannya: ''Siapa sebenarnya yang merasa siap menghadapi era pasar bebas CAFTA, selain Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan jajaran Kementerian Perdagangan?''


Logika pedagang
Akan tetapi, memang begitulah 'logika pedagang' yang boleh jadi dianut jajaran Kementerian Perdagangan. Daripada 'ribet' melibatkan pelbagai pihak  stake-holder , mereka lebih suka mengurus sendiri berbagai perundingan dalam rangka CAFTA. Bahkan, terungkap dalam rapat dengar pendapat umum jajaran eselon satu Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian dengan DPR pekan lalu, tidak semua direktorat-direktorat Kementerian Perdagangan dilibatkan dalam negosiasi.

Sebagaimana kalangan pelaku usaha atau asosiasi industri, Kementerian Perindustrian berulang kali menandaskan, Indonesia belum siap terjun dalam kawasan perdagangan bebas CAFTA. Pendapat resmi Kementerian Perindustrian ini telah diungkapkan jauh-jauh hari, sejak Menteri Perindustrian masih dijabat Fahmi Idris pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pertama.

Kementerian yang kini dikomandani MS Hidayat ini juga mengingatkan, CAFTA akan cenderung merugikan kepentingan Indonesia. Malah tak mustahil CAFTA akan berdampak deindustrialisasi dan PHK besar-besaran jika dipaksakan berlaku saat industri dalam negeri belum siap.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan sebaliknya menyatakan, pemberlakuan CAFTA akan meningkatkan volume perdagangan ASEAN-Cina, dan sebagai bagian ASEAN dengan sendirinya Indonesia akan diuntungkan.

Panja CAFTA
Keteledoran pemerintah menyiapkan industri dalam negeri agar mampu bersaing di pentas global, silang pendapat Kementerian Perdagangan versus Kementerian Perindustrian ihwal kesiapan Indonesia menyongsong pasar bebas, tuntutan asosiasi-asosiasi industri agar pasar bebas ditunda, munculnya gejala deindustrialisasi lima tahun terakhir, dan neraca perdagangan Indonesia-Cina yang membuahkan defisit bagi Indonesia, adalah sebagian keruwetan yang akhirnya mendorong para anggota Komisi VI DPR berencana membentuk Panita Kerja (Panja) Pelaksanaan CAFTA.

Jika Indonesia gagal mengantisipasi secara tepat dan cepat, CAFTA akan memiliki efek domino luar biasa. Ketidakmampuan Indonesia menghadapi serbuan barang-barang murah dari Cina, bahkan di dalam pasar domestiknya sendiri, akan menyebabkan efek hancurnya industri nasional, yang akan disusul PHK besar-besaran. Dan, semua itu akan bermuara pengangguran dan pemiskinan rakyat.

Dan, ketika semua prediksi negatif itu menjadi kenyataan, pada saat itulah mimpi buruk pasar bebas Cina-ASEAN betul-betul terhampar di depan mata. Pada saat itulah, barangkali kita telah terlambat menyadari semuanya. Industri nasional telanjur hancur, sementara kita masih saja tidur.

Opini Republika 26 Januari 2010