Oleh: Jarot Doso Purwanto
(Staf Ahli DPR RI)
Kesepakatan  umum perdagangan bebas Cina-ASEAN diteken para kepala negara ASEAN dan  Cina pada 2002 di Phnompenh, Kamboja. Perincian kesepakatan CAFTA  (ASEAN-China Free Trade Area) telah ditandatangani pula oleh para  menteri negara ASEAN dan Cina pada 2004. 
Namun, apa boleh buat,  menurut pengakuan kalangan asosiasi industri, apa yang disepakati lima  dan tujuh tahun lalu itu, baru sekali disosialisasikan kepada para  pimpinan asosiasi industri sebulan sebelum masa berlakunya pada 1  Januari 2010. Itu pun dilakukan oleh Kementerian Perindustrian yang  ironisnya sejak awal justru menyatakan Indonesia belum siap ikut pasar  bebas Cina-ASEAN. Bukan oleh Kementerian Perdagangan yang antusias  mendukung implementasi agenda CAFTA.
Menperin MS Hidayat, dalam  Rapat Kerja Menteri-menteri Bidang Perekonomian dengan DPR, mengatakan  bahwa sepekan setelah dilantik, ia mengumpulkan 18 asosiasi industri dan  seluruh jajaran eselon I Kementerian Perindustrian, untuk me-review   pos-pos tarif, yang akhirnya memunculkan 288 pos tarif yang sekarang dan  akan direnegosiasikan dalam kerangka CAFTA. 
Banyak keluhan dari  kalangan industri soal perdagangan bebas. Ini disebabkan pemerintah  tidak siap. Padahal, merekalah motor penggerak sektor riil, yang mampu  menyediakan jutaan lapangan kerja. Mereka pula yang pertama-tama akan  merasakan langsung ancaman pasar bebas Cina-ASEAN.
Keterlibatan  KADIN dan Apindo dalam perjanjian ini tidak dengan sendirinya  menghasilkan sosialisasi CAFTA sampai ke asosiasi industri masing-masing  sektor. Buktinya, 18 asosiasi industri yang diundang Komisi VI DPR  menyatakan tidak memiliki cukup informasi mengenai pelaksanaan CAFTA.  Itulah mengapa, selama ini mereka tidak mempersiapkan diri, sebab memang  tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Terlebih dukungan  pemerintah dan perbankan ke arah itu juga tidak ada.
Pemerintah,  misalnya, selama lima tahun terakhir, dinilai tidak cukup mengeluarkan  regulasi yang memihak industri dalam negeri, baik berupa subsidi pajak  ekspor maupun penyiapan infrastruktur, seperti fasilitas jalan dan  ketersediaan listrik murah, kemudahan izin, dan sebagainya. Sementara  itu, suku bunga kredit perbankan yang berkisar 12-14 persen, membuat  industri dalam negeri mustahil menang melawan kompetitornya dari negeri  Cina, yang dimanjakan kredit murah berbunga hanya 4-5 persen per tahun. 
Lima  tahun terakhir, kebijakan perbankan kita memang lebih memihak sektor  finansial dan menganaktirikan sektor riil. Sejalan dengan itu,  pemerintah juga lebih suka menaruh uangnya dalam bentuk Sertifikat Bank  Indonesia (SBI), ketimbang mendayagunakannya demi menggenjot sektor  riil, seperti revitalisasi industri atau pengembangan industri  pengolahan  (processing manufactur) . Maka yang terjadi,  industri kita bukan berkembang makin maju  (mature industry) ,  melainkan mengalami deindustrialisasi yang ditandai tutupnya  pabrik-pabrik. Terakhir, menurut asosiasi industri baja, sekitar 50  persen pabrik paku gulung tikar karena kalah bersaing dengan paku dari  Cina.
Iklim usaha kita juga dikeluhkan kalangan asosiasi  industri, karena belum sepenuhnya kondusif mendukung bangkitnya industri  nasional. Ekonomi biaya tinggi  (high-cost economy) berupa  membengkaknya biaya-biaya siluman, akibat praktik KKN dan layanan  birokrasi yang tidak profesional, menjadi salah satu penghambat utama  peningkatan daya saing. 
Prof Dr Hendrawan Supratikno, guru besar  Fakultas Ekonomi Universitas Krsiten Satya Wacana Salatiga, bahkan  lantang menyatakan, ''Musuh terbesar kita (untuk meningkatkan daya saing  di pentas global) adalah  high-cost economy. Karena itulah,  reformasi birokrasi (untuk memangkas ekonomi biaya tinggi) kita dukung  sepenuhnya.''
Penilaian serupa dinyatakan Gabungan Pengusaha  Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI). Pungutan liar menjadi  salah satu sumber masalah utama dalam investasi yang harus diberantas.  Besarnya pungli bisa mencapai 12 persen dari biaya produksi. Bagaimana  produk kita akan berdaya saing kuat bila pungli saja sudah begitu besar,  belum lagi birokrasi yang panjang, infrastruktur tidak memadai,  peraturan perpajakan yang tidak jelas, dan korupsi yang merajalela.
Walhasil,  jika pelaku usaha menyatakan tak siap, Kementerian Perindustrian juga  menyatakan belum siap, pertanyaannya: ''Siapa sebenarnya yang merasa  siap menghadapi era pasar bebas CAFTA, selain Menteri Perdagangan Mari  Elka Pangestu dan jajaran Kementerian Perdagangan?'' 
Logika  pedagang
Akan tetapi, memang begitulah 'logika pedagang'  yang boleh jadi dianut jajaran Kementerian Perdagangan. Daripada 'ribet'  melibatkan pelbagai pihak  stake-holder , mereka lebih suka  mengurus sendiri berbagai perundingan dalam rangka CAFTA. Bahkan,  terungkap dalam rapat dengar pendapat umum jajaran eselon satu  Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian dengan DPR pekan  lalu, tidak semua direktorat-direktorat Kementerian Perdagangan  dilibatkan dalam negosiasi.
Sebagaimana kalangan pelaku usaha  atau asosiasi industri, Kementerian Perindustrian berulang kali  menandaskan, Indonesia belum siap terjun dalam kawasan perdagangan bebas  CAFTA. Pendapat resmi Kementerian Perindustrian ini telah diungkapkan  jauh-jauh hari, sejak Menteri Perindustrian masih dijabat Fahmi Idris  pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) pertama. 
Kementerian yang  kini dikomandani MS Hidayat ini juga mengingatkan, CAFTA akan cenderung  merugikan kepentingan Indonesia. Malah tak mustahil CAFTA akan berdampak  deindustrialisasi dan PHK besar-besaran jika dipaksakan berlaku saat  industri dalam negeri belum siap. 
Sementara itu, Kementerian  Perdagangan sebaliknya menyatakan, pemberlakuan CAFTA akan meningkatkan  volume perdagangan ASEAN-Cina, dan sebagai bagian ASEAN dengan  sendirinya Indonesia akan diuntungkan. 
Panja CAFTA
Keteledoran  pemerintah menyiapkan industri dalam negeri agar mampu bersaing di  pentas global, silang pendapat Kementerian Perdagangan versus  Kementerian Perindustrian ihwal kesiapan Indonesia menyongsong pasar  bebas, tuntutan asosiasi-asosiasi industri agar pasar bebas ditunda,  munculnya gejala deindustrialisasi lima tahun terakhir, dan neraca  perdagangan Indonesia-Cina yang membuahkan defisit bagi Indonesia,  adalah sebagian keruwetan yang akhirnya mendorong para anggota Komisi VI  DPR berencana membentuk Panita Kerja (Panja) Pelaksanaan CAFTA. 
Jika  Indonesia gagal mengantisipasi secara tepat dan cepat, CAFTA akan  memiliki efek domino luar biasa. Ketidakmampuan Indonesia menghadapi  serbuan barang-barang murah dari Cina, bahkan di dalam pasar domestiknya  sendiri, akan menyebabkan efek hancurnya industri nasional, yang akan  disusul PHK besar-besaran. Dan, semua itu akan bermuara pengangguran dan  pemiskinan rakyat. 
Dan, ketika semua prediksi negatif itu  menjadi kenyataan, pada saat itulah mimpi buruk pasar bebas Cina-ASEAN  betul-betul terhampar di depan mata. Pada saat itulah, barangkali kita  telah terlambat menyadari semuanya. Industri nasional telanjur hancur,  sementara kita masih saja tidur.
Opini Republika 26 Januari 2010
25 Januari 2010
Mimpi Buruk Pasar Bebas
Thank You!