Prosesi ibadah haji telah selesai dilakukan. Sebagian jemaah haji juga mulai meninggalkan Kota Mekah. Begitu pun di Tanah Air, prosesi penyambutan kepulangan jemaah haji juga mulai dilakukan, Kamis (3/12).
Mulai dari pemerintah, pihak keluarga, dan masyarakat telah berbenah diri menyambut kedatangan manusia paripurna, karena telah selesai melaksanakan ibadah yang tidak sembarang orang bisa melakukannya.
Dalam dimensi ajaran Islam, haji merupakan ibadah paripurna. Ibadah yang membawa seorang muslim mencapai puncak keberislaman karena ditempatkan di urutan terakhir dalam rukun Islam (setelah syahadat, salat, zakat dan puasa).
Untuk melaksanakannya, dibutuhkan beberapa syarat yang harus dipenuhi, mulai dari status agamanya yang harus Islam, sudah balig dan berakal. Kemampuan secara material maupun kesiapan mental dan spiritual juga menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Namun demikian, jika dicermati pelaksanaan ibadah haji, terdapat pesan-pesan spiritual yang bisa direnungkan khususnya oleh seluruh jemaah haji dan juga bangsa Indonesia secara umum. Seperti digambarkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam karya Asrar al-Hajj, pola ibadah haji terdapat kemiripan dengan prosesi pelaksanaan yang mengiringi kematian seseorang.
Di mulai meninggalkan sanak keluarga, tetangga, teman dan kerabat dekat, yang menggambarkan pelepasan jenazah seseorang yang meninggal itu ke liang lahat. Modal atau bekal yang dibutuhkan dalam kedua prosesi yang sangat sakral itu juga sama yaitu bekal amal saleh.
Ibadah haji dimulai dengan melakukan niat dan melepas pakaian keseharian untuk kemudian mengganti dengan pakaian ihram. Secara filosofis ihram merupakan simbol perbatasan antara dunia yang fana dengan awal perjalanan suci menuju keabadian. Mulai dari sini mereka harus menjaga lidah, mata, emosi, perbuatan dan harus bersikap lemah lembut kepada semua makhluk.
Pakaian ihram senantiasa mengingatkan kita pada peristiwa kelahiran dan kematian manusia. Kelahiran menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat lemah, sedangkan kematian adalah peristiwa yang bisa saja terjadi pada semua manusia tanpa mengetahui kapan kedatangannya.
Kemudian, wukuf di Padang Arafah secara simbolis mencerminkan sebuah tempat yang luas seperti padang mahsyar tempat dikumpulkannya manusia di hari akhir nanti. Di tengah dengungan doa, istigfar dan segala pujian yang membahana dan mengangkasa, manusia hanya bisa duduk bersimpuh seperti menunggu penentuan nasibnya.
Dalam prosesi ini, kita diingatkan pada kedahsyatan hari pembalasan, kelemahan manusia, kesederajatan manusia, dan keagungan Allah SWT sekaligus mempertegas kembali pernyataan keimanan dan penghambaan kita kepada-Nya.
Kendati demikian, godaan dan rayuan setan tetap selalu datang mencoba menggoyahkan komitmen manusia, sehingga terjadi perang melawan setan. Prosesi pelontaran jumrah Aqabah pada 10 Dzulhijah, serta jumrah Ulla dan Wustha di hari berikutnya merupakan refleksi perjuangan hamba melawan setan yang mencoba menyesatkan manusia dari cahaya Allah SWT agar lebih mencintai materi dan kenikmatan duniawi yang semu.
Kemudian, keseimbangan menjadi unsur yang tidak kalah penting untuk melindungi manusia dari ketimpangan. Hal ini ditunjukkan dalam tawaf yang berarti mengelilingi Kakbah yang dianalogikan sebagai keseimbangan proton dan elektron yang mengelilingi inti atom. Keseimbangan itu menggambarkan bahwa Allah sang Pencipta kehidupanlah yang mampu menjaga keteraturan dan keseimbangan kehidupan bagi semua hamba-Nya.
Reformasi sosial
Setelah itu, ritual Sa’i juga mengajarkan kita agar tidak mudah berputus asa. Ritual ini merupakan gambaran perjuangan Siti Hajar saat mencari air untuk Ismail dari bukit Shafa menuju Marwa. Semangat pantang menyerah dan rasa optimisme yang disertai keyakinan akan pertolongan Allah semata, mengantarkan Siti Hajar memperoleh air yang telah lama dicarinya.
Berbagai ritual dalam haji di atas penting untuk ditransformasikan dalam kehidupan manusia. Kesuksesan beribadah haji tidak terletak dalam gelar ”haji” yang dipanggilkan orang lain, melainkan terletak pada dampak dan pengaruhnya dalam perilaku serta responsnya terhadap realitas sosial.
Di sinilah peran penting jemaah haji sepulang dari Tanah Suci agar menjadi pionir dengan menjaga perilaku diri sebagai manusia berakhlak mulia. Akhlak mulia yang tertanam di dalam diri itu perlu ditransformasikan kepada masyarakat di sekitarnya, untuk membangun harmoni kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
Dulu, ibadah haji menjadi bagian penting bagi proses transformasi ide-ide reformatif Islam dari dunia politik dan intelektual Timur Tengah ke Indonesia. Sekarang, nilai transformatif itu tetap berjalan baik dengan memasukkan diri dalam domain reformasi sosial masyarakat Indonesia.
Impitan krisis multidimensional memenjarakan masyarakat kita dalam kubangan keterpurukan. Sebagai dampaknya, perilaku masyarakat lepas dari kontrol nalarnya yang seharusnya lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaannya. Perilaku itu tampak dalam sikap emosional, mudah marah dan kebiasaan anarkistis yang sulit terkendali.
Di lain pihak, sikap pesimistis juga membayangi masyarakat yang lain, sehingga mereka tidak mampu lagi membangun kreasi dan inovasi baru bagi pengembangan diri. Maka, kehidupan masyarakat menjadi stagnan dan sulit berkembang mencapai tahapan yang lebih baik.
Oleh karena itu, salah satu langkah strategis untuk mengatasi kejumudan itu adalah dengan memaksimalkan peran nilai-nilai spiritual ibadah haji dalam upaya reformasi sosial. Jika upaya itu berhasil dilakukan peluang terciptanya tatanan masyarakat yang baik akan segera terealisasi.
Dengan demikian, masyarakat kita akan menjadi progresif, terus bergerak maju penuh optimisme dalam setiap melakukan perubahan. -
Oleh : Nazaruddin Latif, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Opini SoloPos 4 Desember 2009
04 Desember 2009
Transformasi spiritual haji
Thank You!