04 Desember 2009

» Home » Republika » Gagasan Islam Rahmatan Lil'alamin

Gagasan Islam Rahmatan Lil'alamin

Oleh Mashudi Umar
(Redaktur Majalah Risalah NU )

Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi rahmat bagi alam semestanya. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam, baik Alquran maupun hadis.

Kata 'rahman' yang berarti kasih sayang, berikut derivasinya, disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar, lebih dari 90 ayat dalam Alquran. Bahkan, dua kata rahman dan rahim yang diambil dari kata 'rahmat' dan selalu disebut-sebut kaum Muslim setiap hari adalah nama-nama Tuhan sendiri ( asmaul husna ). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi niscaya Tuhan menyanyanginya."

Alquran, sumber Islam paling otoritatif, menyebutkan misi kerahmatan ini,  wama ar salnaka illa rahmantan lil'alamin (Aku tidak mengutus Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta). Ibnu Abbas, ahli tafsir awal, mengatakan bahwa kerahmatan Allah meliputi orang-orang Mukmin dan orang kafir. Alquran juga menegaskan, rahmat Tuhan meliputi segala hal (QS 7: 156). Karena itu, para ahli tafsir sepakat bahwa rahmat Allah mencakup orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir, orang baik ( al-birr ) dan yang jahat ( al-fajir ), serta semua makhluk Allah.

Alquran memiliki posisi yang amat vital dan terhormat dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia. Di samping sebagai sumber hukum, pedoman moral, bimbingan ibadah, dan doktrin keimanan, Alquran juga merupakan sumber peradaban yang bersifat historis dan universal.

Kehadiran sosok Muhammad Rasulullah dan Alquran ini telah mengubah orientasi cara berpikir masyarakat Arab yang kala itu sangat 'kabilahisme sentris' menjadi berpikir kosmopolit. Tradisi dan energi saling berperang antarsuku diubah menjadi kekuatan konvergen, lalu diarahkan untuk membangun peradaban baru yang bersifat kosmopolit, melewati batas etnis dan teritori primordial mereka.

Karena itu, pusat-pusat peradaban Islam bermunculan di berbagai wilayah di luar Makkah-Madinah, tempat Alquran diwahyukan. Semua ini terjadi karena kehadiran Alquran mampu mengubah  mindset mereka. Pranata dan wibawa hukum ditegakkan sehingga muncul masyarakat Madinah, sebuah kata konseptual-idiomatik yang mengacu pada supremasi hukum di atas kekuatan individu dan suku.

Fungsi kerahmatan ini dielaborasi oleh Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya,  innama bu'istu liutammima makarimal akhlak (Aku diutus Tuhan hanya untuk menyempurnakan akhlak). Akhlak luhur adalah moral dan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kejujuran, keadilan, menghormati, dan menyanyangi orang lain dan sebagainya. Sementara itu, kekerasan, kesombongan, dan kezaliman adalah berlawanan secara diametral dengan  akhlakul karimah .

Dalam konteks Islam  rahmatan lil'alamin , Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam ( la ikraha fi al-din ). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Alquran dan hadis.

Namun, dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.

Hassan Hanafi dalam bukunya  Religion, Ideology, and Developmentalism mengatakan, Islam semestinya tidak lagi dibatasi hanya sebatas teks. Akan tetapi, ketika menerjemahkan Islam dalam realitas itulah yang dimaksud sebagai Islam yang sesungguhnya. Islam di situ adalah prinsip nilai-nilai moral positif yang kandungannya kemudian diterjemahkan dalam realitas kehidupan.

Islam harus menjadi agama yang realistis bagi kehidupan ini sehingga dapat memberi kontribusi yang praksis bagi peradaban. Teks keagamaan tidaklah bersifat normatif, tetapi semestinya ia menjadi spirit ( zeitgeist ) dan sumber penyemangat bagi kehidupan. Karena, peradaban Islam sesungguhnya dimulai dari peradaban tekstual itu.

Jika Islam ingin menemukan kembali peradabannya, teks janganlah berhenti pada sebatas teks keagamaan, apalagi teks dapat menjerumuskannya pada mitos-mitos sosial. Teks itu harus diterjemahkan secara rasional dan diaktualisasikan dalam realitas kehidupan sehingga dari teks itu dapat tercipta peradaban kaum Muslim yang sesungguhnya.

Dalam konteks ini juga, Rais Am PBNU tahun 80-an, KH Ahmad Siddiq, selalu mengembangkan nilai-nilai humanisme dan nasionalisme yang memiliki tiga komponen substansi Islam. Pertama,  ukhuwah basyariyah atau  insaniyah (persaudaraan antarmanusia). Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati dan sifat toleransi.

Kedua,  ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa). Kerja sama antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut. Demarkasi kultural, teologis, dan struktural, pada wilayah ini musti didialogkan dan diupayakan pola relasi saling menguntungkan satu dan lainnya. Ketiga,  ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum, maupun spiritualitas.

Ketiga macam ukhuwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan. Melalui tiga dimensi ukhuwah inilah, Islam  rahmatan lil 'alamin (pemberi rahmat alam semesta) akan terealisasi. Sebab,  ukhuwah Islamiyah dan  ukhuwah wathaniyah merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya  ukhuwah insaniyah .

Oleh karena itu, baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memerhatikan  ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah , dan  ukhuwah wathaniyah secara serius, saksama, dan penuh kejernihan. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-Muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwah dan memuliakan mereka dalam arti kerja sama yang baik selama mereka tidak menginjak dan menyakiti atau mengajak perang.

Pada akhirnya, memahami substansi ajaran Islam yang  rahmatan lil a'lamin dengan niat menemukan kebenaran dan persinggungan  rabbani (ketuhanan) mutlak dilakukan dengan saling membuka diri dan membuka hati agar tidak salah tafsir dalam memahami ajaran Islam dari berbagai perspektif.  Wallahualam


Opini Republika 4 Desember 2009