04 Desember 2009

» Home » Kompas » Kekuasaan Komunikatif

Kekuasaan Komunikatif

Skandal Bank Century dan kasus Bibit-Chandra merupakan dua hal berbeda, tetapi keduanya sama-sama memberikan harapan bagi upaya menumbuhkan kekuasaan komunikatif di dalam negeri.
Mengapa? Penyelesaian kasus Bibit-Chandra dan skandal Bank Century diawali keinginan masyarakat yang dikomunikasikan kepada penguasa.


”Komunikasi masyarakat” merupakan kunci sebuah bentuk kekuasaan komunikatif itu. Batasan yang diberikan filsuf Hannah Arendt adalah sebagai bentuk kekuasaan yang terkonstruksi dari berbagai jaringan komunikasi masyarakat sipil. Jaringan itu bisa dilihat baik melalui media maupun lembaga swadaya masyarakat, serta ekspresi rakyat. Kekuasaan komunikatif mengedepankan komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya sebelum lahir sebuah keputusan.
Kasus Bibit-Chandra dan Bank Century mengundang ekspresi rakyat. Ekspresi itu ditunjukkan melalui unjuk rasa, gerakan di jejaring sosial, hingga wacana di media, sampai masuk DPR. Ekspresi itu merupakan representasi rakyat yang ingin berdialog dengan pemimpinnya. Sejauh mana respons terhadap keinginan berdialog itu, sejauh itulah upaya menumbuhkan kekuasaan komunikatif terlihat.
Istilah kekuasaan komunikatif dikemukakan Arendt. Meski hasil perenungan itu dikenalkan kepada publik puluhan tahun silam, konsep itu kini masih bisa dijadikan pijakan. Boleh dikatakan konsep kekuasaan komunikatif selayaknya diwujudkan—bukan sekadar wacana bagi kalangan peminat filsafat politik—karena memberikan ruang lebih luas demi mewujudkan cita-cita luhur bersama.
Pemimpin dialogis
Memang bukan hal mudah mewujudkan kekuasaan komunikatif. Faktor utama untuk mewujudkannya adalah keberadaan pemimpin dialogis mengingat setiap demokrasi adalah alam dialog, wawan rembug yang dijalankan dengan rasio. Lewat dialog itulah rakyat diberikan keleluasaan untuk menilai. Atas dasar inilah Driyarkara menegaskan, pemerintah yang menolak dialog adalah diktator (2006:648).
Pemimpin dialogis itu terbuka dan komunikatif. Pemimpin yang dengan penuh kesabaran mau mendengar, bukan melulu menuntut didengar. Suara rakyat adalah inspirasi pemimpin itu sehingga setiap keputusan yang dibuat tetap menghormati peran warga negara.
Salah satu ciri pemimpin dialogis adalah terbuka terhadap kritik. Namun, Driyarkara mengingatkan, yang dimaksud kritik bukan tulisan, ucapan, atau perbuatan yang menjelek-jelekkan. Kritik adalah penilaian sehat berdasar alasan rasional tanpa sentimen dan sikap emosional. Yang menjadi obyek kritik adalah perbuatan manusia-individu maupun manusia subyek kolektif. Keterbukaan terhadap kritik merupakan masukan bagi manusia untuk memperbaiki perbuatan dan menyempurnakan hidup di kemudian hari.
Pemimpin dialogis selalu dan selalu memperbaiki gaya kepemimpinannya berdasarkan kritik yang ada. Tujuan perbaikan itu adalah demi mendekatkan segala tindakan dengan harapan rakyat. Pemimpin itu sadar, karena rakyat ia bisa berkuasa. Kekuasaan itu adalah amanat rakyat.
Sejauh ini pemimpin, penguasa, atau birokrat sering berdalih, dialog tak henti dilakukan, hanya saja lewat jalur prosedural. Mereka mengingatkan, dialog senantiasa dilakukan dengan wakil rakyat, entah DPR atau DPRD, tetapi mereka lupa kian hari kian terbukti, ”wakil rakyat” tidak mengakar kepada rakyat. Wakil rakyat hanya mewakili pribadi atau kelompok. Lantas rakyat pun dibuat kecewa. Rakyat tidak pernah tahu bentuk dialog antara wakil mereka dan pemerintah.
Rasionalitas komunikasi
Idealnya, kekuasaan komunikatif itu terbentuk tanpa paksaan. Siapa pun yang duduk sebagai penguasa lebih mengedepankan kekuasaan komunikatif ketimbang menjalani kekuasaan administratif. Lawan dari kekuasaan komunikatif, kata Arendt, adalah kekuasaan administratif, di mana negara yang bersinergi dengan kekuasaan ekonomis. Jenis kekuasaan ini menempatkan aneka alasan ekonomis di atas kepentingan rakyat sekalipun.
Contoh paling kasatmata dari kekuasaan administratif antara lain program konversi minyak tanah ke elpiji. Dalam program itu, suara rakyat diabaikan. Pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk memilih, lalu perlahan-lahan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri. Komunikasi disumbat, dialog dibekukan. Rakyat tidak didengar alasan keberatan mereka dalam suatu program. Sosialisasi mengalir satu arah, sekadar menanamkan keinginan pemerintah atas dalih perhitungan ekonomi.
Apa urgensi kekuasaan komunikatif? Perwujudan kekuasaan komunikatif bakal menjunjung rasionalitas komunikasi. Sementara rasionalitas komunikasi diharapkan mampu mengatasi perbedaan pendapat dengan argumen masuk akal, bukan kesewenang-wenangan. Beda pendapat soal konversi, misalnya, seyogianya diselesaikan dengan argumen masuk akal, bukan kesewenang-wenangan mengambil sikap. Argumen yang masuk akal tidak bersandar kepada kepentingan orang per orang atau kepentingan institusi, tetapi kepentingan rasio yang terus terwujud manakala orang terlibat tindak komunikasi.
Rasionalitas mengantar kepada tindak komunikatif yang berangkat dari situasi dialogis, bukan monologis. Dialogis telah mempertimbangkan diskursus ”orang yang diperintah”, bukan monologis yang sekadar memuntahkan kemauan ”orang yang memerintah”.
Jadi, pemimpin dipilih rakyat, maka suara rakyat layak didengarkan. Dengan mendengar, saat itulah sedang mempraktikkan kekuasaan komunikatif. Maka, apa pun yang dilakukan pemimpin tetap berpangkal kepada kemauan rakyat. Inilah esensi kekuasaan komunikatif.

Toto Suparto Pengkaji Etika
Opini Kompas 4 Desember 2009