04 Desember 2009

» Home » Seputar Indonesia » Penghentian Penuntutan Bibit-Chandra Tidak Tuntas

Penghentian Penuntutan Bibit-Chandra Tidak Tuntas

Setelah adanya pro dan kontra mengenai penuntasan perkara Bibit-Chandra di luar pengadilan, pada tanggal 1 Desember 2009 kejaksaan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) yang menghentikan perkara Bibit-Chandra demi hukum.

Padahal, sebelumnya Kapolri Bambang Hendarso Danuri dalam pernyataannya kepada media dan Komisi III DPR menyatakan bahwa perkara Bibit-Chandra akan dilanjutkan atau P21. Begitu pula Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan akan melanjutkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan karena cukup bukti. Kapolri malah menyatakan siap mempertanggungjawabkan secara hukum dan profesional dengan melanjutkan perkara kontroversial ini karena cukup didukung bukti-bukti yang kuat. Oleh karena itu, perkara tersebut kemudian diteruskan ke kejaksaan.

Tidak pelak, Presiden SBY dalam pidato pada tanggal 30 Oktober 2009 menyatakan tidak mau mencampuri penegakan hukum dalam konflik KPK vs Polri di mana sikapnya tersebut sesuai dengan amanah Konstitusi (UUD 1945), yaitu Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang tidak boleh diintervensi lembaga eksekutif dan legislatif. Akan tetapi pada akhirnya karena kemauan publik dan dinamika yang muncul di masyarakat yang tidak memercayai Polri dan kejaksaan serta memercayai adanya upaya pelemahan KPK melalui perkara Antasari dan Bibit-Chandra, maka diterbitkanlah SKPP untuk mengakhiri polemik perkara Bibit-Chandra.

*** Apakah benar persoalan ini sudah selesai dengan tuntas dan Bibit-Chandra akan kembali memimpin KPK melalui keppres yang sedang disiapkan dan akan diumumkan segera? Penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAPidana yang menyatakan: ”Dalam hal penuntut umum memutuskan menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”

Merujuk pada bunyi SKPP yang menghentikan penuntutan dengan dasar demi hukum, tentu hal tersebut berbeda dengan pernyataan Kapolri dan Jaksa Agung bahwa perkara Bibit-Chandra cukup bukti untuk diteruskan.Selain itu,Presiden SBY pada akhirnya juga memutuskan untuk ”sebaiknya”tidak membawa perkara Bibit-Chandra ke pengadilan dan ”mendorong” diselesaikan menurut hukum di luar pengadilan.Anjuran atau saran atau apa pun namanya dari seorang atasan, yaitu Presiden Republik Indonesia, tentu tidak bisa dianggap “enteng” oleh Kapolri dan Jaksa Agung yang notabene adalah bawahan Presiden.

Adapun pengertian ”demi hukum” sebagaimana yang dimaksud dalam SKPP yakni si terdakwa telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaan oleh hukum itu sendiri sehingga pemeriksaannya harus ditutup atau dihentikan.Alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum bisa didasarkan pada tiga hal, yaitu tersangka/ terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHPidana); atas alasan nebis in idem(Pasal 76 KUHPidana); terhadap perkara yang akan dituntut oleh penuntut umum, ternyata telah kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 sampai Pasal 80 KUHPidana.

Dengan demikian, ketiga alasan tersebut tidak terpenuhi untuk penghentian penuntutan demi hukum dalam kasus Bibit-Chandra. Alasan lain yang dikemukakan dalam SKPP itu tentunya tidak sah dan bukan merupakan dasar hukum menurut KUHAPidana.Padahal penghentian penuntutan tidak dengan sendirinya menurut hukum menghapuskan hak dan wewenang penuntut umum untuk melakukan penuntutan kembali perkara Bibit-Chandra. Penuntutan kembali perkara Bibit-Chandra bisa terjadi di kemudian hari karena dua hal, yaitu, pertama, apabila di kemudian hari ditemukan ”bukti”baru.

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf d KUHAP yang menyatakan: ”Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.” Kedua, apabila keputusan praperadilan menetapkan bahwa penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum tidak sah menurut hukum. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP yang menyatakan: ”Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.”

Berdasarkan atas hal tersebut, apabila putusan praperadilan menyatakan bahwa penghentian penuntutan (SKPP) tidak sah,pengadilan dapat membatalkan SKPP dan penuntutan wajib dilanjutkan. Alasan pertamalah yang mungkin terjadi terhadap penghentian penuntutan perkara Bibit- Chandra, di mana tidak tertutup kemungkinan Polri dan kejaksaan menemukan ”alasan baru”.

Oleh karena itu,sebenarnya penyelesaian di dalam pengadilan adalah yang terbaik dan tuntas melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap lewat due process of law yang dikawal masyarakat, LSM, pengamat hukum dan sosial, state auxiliary institutions seperti Komisi Hukum Nasional, Komisi Yudisial,Komisi Ombudsman Nasional,dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Persidangan dapat dilakukan maraton agar perkara ini dapat selesai dengan cepat,yaitu dalam beberapa bulan sampai adanya putusan final di tingkat banding/kasasi. Adapun persidangan tersebut haruslah dipimpin oleh tiga orang hakim yang berintegritas yang dipilih dari ribuan hakim di mana hal tersebut merupakan suatu konsekuensi logis mengingat perkara ini menyangkut benturan antara KPK,kepolisian, dan kejaksaan.

*** Saat ini, SKPP sudah diterbitkan dan Bibit-Chandra akan memimpin kembali KPK. Mudahmudahan perkara ini tidak berlanjut mengingat memang masih terbuka “alasan baru” untuk menuntut kembali perkara ini.Andaikan perkara ini diselesaikan melalui putusan pengadilan, sikap Presiden SBY akan dinilai dunia internasional sebagai sikap konstitusional dan due process of lawdijalankan dengan benar dan sesuai asasasas hukum. Adapun terhadap adanya rivalitas KPK vs Polri bukanlah pemicu people power sebagaimana yang terjadi di Filipina pada tahun 1986- an.

Pada saat itu opini publik Filipina telah terbentuk karena masyarakat percaya bahwa Presiden Ferdinand Marcos berada di belakang pembunuhan calon kuat Presiden Filipina Benigno (Ninoy) Aquino dan people power telah meruntuhkan kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos. Selain itu,rivalitas KPK vs Polri tidak akan membuat popularitas Presiden SBY menurun secara drastis sebagaimana yang dialami oleh Presiden Amerika Serikat George W Bush yang popularitasnya menurun secara drastis karena keputusannya memulai invasi ke Irak,padahal opini publik di dunia dan negaranya sendiri tidak setuju dengan Perang Irak.

Namun justru kasus Bank Century yang potensial untuk menurunkan popularitas SBY serta memicu terjadinya people power apabila hak angket kasus Bank Century tidak ditangani dengan baik. Sebagai bangsa beradab, bangsa Indonesia harus menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang taat,hormat, dan tunduk pada hukum dan proses hukum yang adil dan benar.

Kalau saja perkara ini diselesaikan melalui putusan pengadilan yang kompeten,jujur,terbuka,dan adil, ini akan menjadi sarana untuk mengundang investasi yang lebih besar dan meningkatkan kepercayaan terhadap sistem hukum cqsistem peradilan pidana Indonesia dan dengan sendirinya kepada pemerintahan SBY.(*)

Dr Frans H Winarta
Advokat dan Ketua Umum Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI)
Opini Seputar Indonesia 3 Desember 2009