Kebohongan yang dilakukan secara kontinu, intens, sistemik, dan masif dapat menjelma menjadi sebuah rezim. Rezimisasi kebohongan mencerminkan praktik-praktik sistem pemerintahan suatu negara.
Di sini, kebohongan dikapitalisasi dan dieksploitasi secara optimal untuk mempertahankan kekuasaan. Bagi sebuah bangsa, rezim kebohongan hanya melahirkan tragedi peradaban yang menyeret mereka ke titik nadir.Rezim kebohongan memiliki aparatus, yakni para aktor kebohongan yang berkuasa di aneka lembaga publik, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Mereka bekerja sinergis untuk mereduksi realitas otentik menjadi realitas semu (realitas yang direkayasa) dan mengubah kebenaran menjadi pembenaran.
Sejarah rezim-rezim otoriter dan korup menunjukkan, kebohongan dijadikan orientasi nilai, bahkan ideologi dalam melakukan dominasi dan hegemoni. Warga negara dipaksa untuk mendukung setiap ”kebenaran” yang direproduksi rezim melalui berbagai tindakan represif. Karena rezim adalah penentu dan pemborong kebenaran, kemunculan kebenaran lain pun dianggap sebagai subversi. Rezim adalah pemilik versi besar kebenaran.
Kebohongan merupakan tindakan melawan kebenaran yang dilakukan secara sadar. Kebohongan selalu berangkat dari sikap pamrih atas suatu hal atau pemilikan/kepentingan tertentu. Kebohongan menaburkan kenyataan semu, demi menutupi kenyataan sejati yang dianggap merugikan si pelaku kebohongan. Dengan cara itu, pelaku kebohongan dapat selamat dari setiap tuntutan hukum dan risiko hukuman moral masyarakat, setidaknya untuk sementara waktu.
Para pelaku kebohongan umumnya percaya, kebohongan yang dilakukan bersama-sama, tersistem, dan meyakinkan akan menjadi ”kebenaran”. Sebab, dalam kultur kekuasaan, pihak penguasalah yang menentukan dan memborong kebenaran. Sejarah ditentukan dan ditulis oleh mereka yang menang, bukan pecundang.
Dalam rezim kebohongan, tidak lagi berlaku nilai, moral, atau norma yang berlaku umum dan menjadi orientasi hidup bebrayan agung. Rezim kebohongan menciptakan nilai, moral, dan normanya sendiri yang menguntungkan dirinya.
Sejauh ini masyarakat mengenal tiga macam kebenaran, yaitu kebenaran personal (kebenaran subyektif), kebenaran orang banyak (kebenaran obyektif), dan kebenaran sejati (kebenaran Ilahiah).
Kebenaran subyektif mengukur benar- salah dari kepentingan personal. Kebenaran obyektif bersifat normatif dan berdasarkan nalar sosial. Sedangkan kebenaran sejati bersumber dari kebenaran Tuhan.
Kebenaran obyektif paralel dengan kebenaran sejati. Karena Tuhan menciptakan kebenaran sejati, pada dasarnya untuk kehidupan kolektif manusia, bukan untuk diri-Nya. Di antara tiga macam kebenaran itu, kebenaran subyektiflah yang paling menonjol. Dalam kebenaran subyektif, sang ”aku” menjadi pusat orientasi nilai. ”Aku” bisa bermakna kekuasaan dan jelmaan dari ”aku” yang jamak yang menghegemoni kebenaran obyektif.
Ketika kebenaran subyektif menindas kebenaran obyektif dan kebenaran sejati, yang terjadi adalah distorsi nilai dan sistem sosial yang timpang. Dalam konteks hukum, warga tidak menemukan kepastian kebenaran dan keadilan. Dalam konteks politik, warga tidak menemukan demokrasi sejati sehingga kedaulatan rakyat pun tersandera di tangan penguasa.
Dalam konteks ekonomi, warga negara tidak menemukan penghidupan yang layak dan menyejahterakan karena ekonomi dihegemoni kelompok elite. Warga negara menjadi obyek eksploitasi. Sedangkan dalam konteks budaya, warga negara tidak mendapatkan hak-hak budayanya secara maksimal, misalnya hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan informasi, hak mengambangkan kebudayaan, dan hak mengembangkan potensi diri.
Rezim kebohongan yang dikendalikan subyektivisme penguasa akhirnya beranak-pinak kebohongan dalam cakupan lebih kecil: jagat personal warga negara/masyarakat. Artinya, rezim kebohongan telah mendidik rakyatnya untuk melakukan kebohongan demi bisa bertahan hidup. Ini tragedi yang dihadiahkan rezim kebohongan kepada masyarakat. Padahal, semestinya negara yang diwakili sebuah rezim wajib membangun karakter bangsa, bukan malah merusaknya.
Sebuah bangsa yang dikuasai rezim kebohongan telah kehilangan identitas dan karakter kebangsaannya. Lahirlah bangsa yang lembek dan gagal bersaing dengan bangsa lain. Kunci persoalannya: bangsa semacam itu kehilangan martabat. Martabat yang dibangun dari integritas, komitmen, dan kemampuan telah digadaikan untuk meraih kepentingan pragmatis-material. Ketika martabat hilang, sebuah bangsa hanya akan melahirkan pemburu kesempatan untuk nyantol di kekuasaan, secara politik maupun ekonomi. Mengharapkan lahirnya manusia-manusia berwatak, berkomitmen, berintegritas jauh lebih sulit daripada manusia ”tukang”. Kita berharap, di Indonesia tidak lahir rezim kebohongan sehingga bangsa ini terhindar dari tragedi peradaban.
Opini Kompas 5 Desember 2009