Saya pendukung calon presiden Jusuf Kalla pada pilpres yang lalu. Demi itu, saya akhiri riwayat golput sejak pertama punya hak pilih pada era Soeharto.
Tetapi, saya menolak jika pengusutan kasus Bank Century diarahkan untuk utamanya mendongkel kepresidenan SBY. Biarkan gerakan angket di DPR, dukungan LSM, demi tegaknya keadilan. Janganlah sejak dini, aneka gerakan ini diagendakan untuk penggulingan kekuasaan.Ilmu tak tertulis mengajarkan, pangkat dan kedudukan cuma ngunduh wohing pakarti. Keduanya buah dari kelakuan masa lampau dari yang bersangkutan maupun masa lalu orangtua dan nenek moyangnya.
Ilmu tak tertulis juga mengajarkan, pemimpin adalah cermin masyarakatnya. Keduanya jodoh ibarat suami-istri. Jika suami koruptor, hampir bisa dipastikan istrinya orang yang korup pula. Kalaupun sang istri bukan koruptor, karena belum punya pangkat dan kedudukan, setidaknya memiliki sifat-sifat dasar koruptor. Sirik, rakus, iri, dengki, dendam. Bukankah itu ”Pancasila”-nya korupsi?
Ilmu tak tertulis juga mengajarkan, sebagian besar rakyat, termasuk saya, mendoakan agar semua pejabat korup. Bawah sadar kita, bawah sadar ”aku”, yakni ingsun, tak menaruh hormat kepada pemimpin miskin yang mobilnya kelas Kijang seperti Baharuddin Lopa atau Sarwono Kusumaatmadja zaman dulu.
Padahal, Sastrajendra Hayuningrat dari pewayangan, salah satu molekul di antara samudra ilmu tak tertulis, mengajarkan, doa paling manjur adalah kehendak bawah sadar itu. Doa mujarab bukan yang terucap di mulut, terlintas di pikiran maupun tebersit di hati. Doa paling cespleng adalah gerakan bawah sadar kita yang, misalnya, tak menghargai istri pejabat dengan tas jelek, tidak bermerek. Alias diam-diam membuat doa paling mustajab agar suaminya korup.
Maka, gerakan angket kasus Bank Century, jika sejak awal diagendakan untuk mendongkel pemimpin yang diduga korup, sama dengan mendongkel masyarakat itu sendiri alias membuat kita berantakan dan bubar.
Ilmu tidak tertulis mengajarkan, sah seorang pemimpin berbuat kotor untuk mencapai cita-cita bersama. Ini karena kepemimpinan ada dalam ranah praktis, lahan kaum ksatria, weisya, eksekutif. Ini bukan tataran teori maupun ajang pergulatan intelektual yang bisa bersih. Ini bukan arenanya kaum brahmana yang maksimal kepraktisannya hanya berfungsi sebagai penasihat eksekutif. Ini tataran yang seru. Ini tatarannya para pelaksana yang harus berhadapan dengan jutaan manusia dengan berbagai perangai. Jadi bagaimana kita akan bersetuju dengan gerakan mengusut kasus Bank Century jika sejak awal diagendakan untuk menumbangkan pemimpin yang diduga kotor?
Ya, pemimpin mau tak mau mesti kotor. Maka Bung Karno pernah bilang strategi saja tidak cukup. Diperlukan taktik. Tetapi, taktik yang perubahannya relatif lama juga tidak cukup. Diperlukan siasat yang bisa berubah setiap detik tergantung sikon. Dalam siasat itu, lebih-lebih pada zaman sekarang, jer basuki mawa bea alias uang bicara.
Tak heran jika dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, calon yang tak terpilih, Surya Paloh, tidak tegas mengatakan dirinya tidak mengeluarkan biaya untuk perolehan suara. Ia hanya tersirat mengaku kalah kemampuan finansial dari kubu Aburizal Bakrie dalam menerapkan jer basuki mawa bea pada saat-saat terakhir sebelum pemilihan.
Itu baru lingkup partai. Terbayang jer basuki mawa bea sebesar apa lagi jika seseorang meraih posisi puncak di negeri ini.
Sebenarnya dari kalangan ilmu tertulis, Sartre, sudah ada wanti-wanti, kepemimpinan, baik cara pencapaiannya maupun cara menjalankannya setelah kedudukan itu tercapai, tidak mungkin bersih. Secara puitis, Rendra pernah menyadurnya dalam selarik sajak, ”Tanpa tangan-tangan kita kotor, tak mungkin kita ciptakan itu firdaus...”.
Ilmu tak tertulis dari dunia pewayangan mengajarkan, Rahwana, simbol angkara murka, sebenarnya sudah ingin bunuh diri setelah bertapa 50.000 tahun di Gunung Gohkarno. Rahwana putus asa berwujud buruk dan sifat jahat. Tetapi, dewa-dewa tidak mengizinkan. Alasannya, tanpa sisi gelap manusia, dunia tak terselenggara dalam harmoni hayuning bawono. Maka Rahwana tak mati-mati. Sukmanya selalu merasuki kaum pemimpin.
Ilmu tak tertulis dari kalangan teater tradisional seperti drama gong di Bali, degung di Pasundan, atau ketoprak di Jawa mengajarkan, tiap raja memerlukan mahkota yang indah. Sama halnya tiap pemimpin perlu diberi citra yang bagus, karena pemimpin bukan rohaniwan yang mungkin suci, tetapi belum tentu becus memimpin. Pemimpin itu pasti kotor atau setidaknya pernah kotor. Entah itu kotor karena uang, karena lumuran darah dan air mata pihak yang tak sepakat.
Jadi, sekali lagi, masihkah kita bersepakat dengan gerakan pengusutan Bank Century jika niat utama, dan mungkin satu-satunya, penggulingan kekuasaan?
Ilmu tak tertulis begitu banyak. Itu bukan saja ilmu saat Menkominfo Tifatul Sembiring membaca bahasa tubuh SBY dan dapat menyimpulkan sikapnya sebelum SBY resmi mengumumkan sikapnya atas rekomedasi Tim 8. Tetapi, itu juga ilmu yang digunakan masyarakat untuk sampai pada kesimpulan diam-diam, hanya melalui bahasa tubuh, tentang siapa sebenarnya Komjen Susno Duadji.
Ilmu tak tertulis adalah semua ilmu yang tidak diajarkan di bangku sekolah dan kuliah. Mengingat dunia akademis, bahkan untuk mengajarkan teater saja, memilih teater yang ada naskah tertulisnya, maka yang diajarkan kebanyakan teater Eropa. Lakon dan kearifan yang terkandung dalam teater tradisional, tak tertulis, teronggok, dan nyaris punah.
Padahal, kearifan tak tertulis itu bisa memberi tahu kita mengapa reformasi 1998 gagal? Karena reformasi itu didorong seluruh atau di antara ”Pancasila”-nya korupsi: Sirik, rakus, iri, dengki, dendam. Bukan pertama-tama didorong membuat perbaikan guna meraih kembali kejayaan Nusantara.
Ilmu tak tertulis mengajarkan kita semua untuk waspada dan hati-hati agar tidak terseret gerakan pengusutan kasus Bank Century jika agendanya cuma penggulingan penguasa yang belum tentu terbukti bersalah. Ilmu tak tertulis hanya membuat kita terpanggil mendukung gerakan itu jika agendanya adalah meraih kembali kejayaan Nusantara guna perbaikan nasib kita bersama. Yang lain-lain, jika pun terjadi, hanya dampak sampingan.
Opini Kompas 5 Desember 2009