Saat ini bangsa kita sedang memasuki fase transisi peradaban. Di tingkat mikro (individu), hal ini mengakibatkan adanya perubahan konsep diri dari anak suku ke anak bangsa, atau bahkan menjadi warga dunia. Rahe, seorang ahli psikiatri Amerika Serikat, mengatakan, perubahan konsep diri dapat menimbulkan stres, perasaan teralienasi (terasingkan), atau merasa tercabut dari akar budayanya.
Gejala-gejala seperti itu terjadi di Indonesia, terutama di kota-kota besar, yang membuat orang merasa tidak aman (unsecure ) dan tidak terlindungi. Reaksi yang muncul adalah menguatnya individualisme atau justru mengarah ke kelainan jiwa, dari depresi sampai bunuh diri. Menguatnya individualisme itu sendiri sering disertai tindak ketidakpatuhan pada aturan-aturan hukum, etika, atau norma yang berlaku. Penghayatan kepada nilai-nilai moral meluntur. Itulah gejala dekadensi.
Kalangan kedokteran tidak kebal terhadap virus dekadensi tersebut meski mereka mengaku memiliki kode etik profesi kedokteran dan menghormatinya. Banyaknya keluhan dan tuduhan tentang malapraktik kedokteran menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam pelayanan dokter kepada pasiennya. Para dokter dapat saja mengelak meski itu lebih mencerminkan sikap antikritik dan diikuti dengan upaya-upaya konkret untuk memperbaiki diri. Sikap seperti ini lebih mencerminkan arogansi profesi yang merasa seolah beyond the law.
Faktor eksternal yang mendorong terjadinya transisi peradaban adalah kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Kemajuan itu memang bisa mencerdaskan bangsa, tetapi juga membawa dampak konsumerisme dan hedonisme. Pada masyarakat yang sudah dewasa, dorongan konsumerisme dan hedonisme tidak akan terlalu menimbulkan guncangan, baik terhadap individu maupun kelompok. Namun, pada masyarakat yang baru saja bangkit dari serba kekurangan dan serba tertekan, dorongan itu dapat menimbulkan guncangan yang menjurus pada perilaku serakah dan korup.
Di kalangan kedokteran, perilaku serakah dan korup ini dapat muncul dalam bentuk perebutan lahan domain selain perebutan pasien. Hal ini menjadi lebih parah karena ditopang sikap paternalistik, big brotherhood, dan feodalisme. Dokter senior, pimpinan organisasi dokter, apalagi yang merangkap petinggi lembaga pendidikan, akan mudah menggencet sejawat yuniornya. Jika dikombinasikan dengan kepentingan bisnis obat dan rumah sakit (klinik), gejala dekadensi itu bisa melahirkan praktik khas yang disebut mafia kedokteran.
Dokter merupakan sebagian kecil anak bangsa yang mempunyai privilese. Mereka berkesempatan melihat dunia yang lebih luas, yang membuatnya mampu mengembangkan wawasan di luar batas bangsa dan negara. Tidak heran bila pada masa kolonial dulu, banyak kalangan dokter yang menjadi motor gerakan kebangkitan kebangsaan. Sejarah Indonesia mencatat peran para dokter dalam gerakan Budi Utomo. Di Filipina ada Dokter Jose Rizal dan di China Dokter Sun Yat Sen memimpin pergerakan bangsanya.
Semangat pembaru itu seharusnya juga dimiliki dokter-dokter Indonesia sekarang ini. Pembaruan itu bukan berupa pemberontakan politik, tetapi perlawanan terhadap kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, serta memerangi dekadensi serta mental korup yang menyengsarakan rakyat. Dokter seharusnya mampu menjadi moral force dalam mendorong terlaksananya cita-cita good governance, pemerintah yang bersih dan efisien, tapi juga transparan, partisipatif, dan accountable.
Dokter yang dididik menjadi tenaga profesional yang mandiri tidak sepatutnya terbawa arus kebobrokan moral. Saya katakan mandiri karena dalam mengobati pasien ia hanya melihat kepentingan kesembuhan pasien dan bebas dari tekanan penguasa ataupun pimpinan rumah sakit. Ia mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk berkata tidak terhadap tekanan apa pun. Seharusnya, hal itu juga ia gunakan terhadap tekanan kepentingan pribadi, tekanan pemilik modal, ataupun tekanan industri farmasi. Hanya dari kepribadian yang berkarakter seperti itulah, dokter Indonesia akan mampu menjadi moral force pembawa perubahan menuju cita-cita masyarakat yang terbuka, demokratik, adil, makmur, dan sejahtera, seperti yang kita cita-citakan bersama.
Haruslah disadari bahwa para dokter telah berutang secara sosial kepada rakyat. Ketika diterima di fakultas kedokteran, mereka telah mengambil tempat yang mungkin menjadi hak orang lain yang lebih pandai dan lebih berbakat, tetapi tak memiliki kemampuan ekonomi. Sudah seharusnya mereka membayar kembali utang itu dalam bentuk kesungguhan ikut memperbaiki kehidupan rakyat.
Para dokter punya privilese untuk bergaul dengan kalangan elite mana pun yang menjadi pasiennya, seakrab mereka bergaul dengan rakyat jelata. Gunakan privilese itu untuk membayar utang kepada rakyat kecil, seperti para pendiri Budi Utomo yang merasa tergerak hatinya melihat penderitaan rakyat kecil yang dijumpainya, lalu menyampaikannya kepada pemerintah kolonial Belanda.
Saat ini kita juga membutuhkan kehadiran dokter-dokter seperti mereka itu, ketika rakyat masih saja tak berdaya. Mereka tidak tahu lagi ke mana harus mengadu, ketika kepercayaan kepada penegak hukum dan pemerintah merosot, dan bersikap apatis, menunggu belas kasihan. Orang berdesakan meminta bantuan langsung tunai (BLT) atau jatuh menjadi korban ketika berebut zakat. Mental pengemis itu tidak boleh dipelihara. Para dokter, sebagai profesi mandiri yang langsung berhubungan dengan rakyat, mempunyai kesempatan emas kedua untuk membalikkan mental pengemis menjadi mental manusia produktif, punya harga diri, dan mampu bangkit untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Disampaikan dalam acara Prof Sukaton’s Memorial Lectures di hadapan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia di Jakarta, 12 November 2009.
Opini Kompas 4 Desember 2009