04 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Apa Kabar Nilam Banjarnegara

Apa Kabar Nilam Banjarnegara

EJAK gairah perdagangan kayu sengon di Banjarnegara lesu
karena tanaman ini terserang berbagai penyakit, petani mulai mengembangkan nilam.

Meski tak seproduktif sengon, tanaman ini memiliki potensi besar karena kebutuhan pasar terhadap minyak atsiri sangat tinggi.


Nilam, yang memiliki nama latin Pogostemon cablin Benth adalah jenis tanaman yang baik tumbuh pada dataran rendah. Syarat tumbuh tanaman ini relatif mudah.

Asal unsur hara dan suhu lingkungan terpenuhi nilam bisa tumbuh dengan baik. Di Banjarnegara, produksi nilam melengkapi komoditas pertanian selain palawija, salak, dan buah naga.

Jauh hari sebelum dibudidayakan petani Banjarnegara, nilam telah menjadi komoditas pertanian yang menjanjikan sejak puluhan tahun lalu, tapatnya tahun 60-an. Saat itu nilam dikembangkan secara berpindah-pindah oleh petani supaya tidak perlu dipupuk. Namun seiring menyempitnya lahan, nilam mulai dikelola secara intensif.

Nilam dimanfaatkan karena mampu menghasilkan minyak atsiri yang memiliki nilai jual tinggi. Emmyizar dan Feri (2004) mencatat, minyak nilam bersama 14 jenis minyak atsiri lainnya termasuk komoditas ekspor yang mampu menghasilkan devisa besar.

Sejak  1965 kuota ekspor minyak nilam selalu mengalami peningkatan. Tahun 2001 volume ekspor minyak atsiri Indonesia  5.080 ton atau sekitar 4,4 persen dari nilai perdagangan minyak atsiri dunia.

Nilam akan menghasilkan minyak setelah mengalami proses destilasi atau penyulingan. Dari hasil proses inilah akan diperolah minyak yang kemudian diserap industri sebagai bahan baku industri parfum, kosmetik, dan sabun.

Di Banjarnegara nilam banyak dibudidayakan oleh petani di Kecamatan Punggelan, Rakit, dan Banjarmangu. Umumnya petani menanam dengan sistem tumpangsari, mencampurnya dengan palawija atau tanaman menahun. Namun dewasa ini petani di ketiga kecamatan tersebut mulai berani menyediakan lahan khusus nilam.
Cocok Karena jenis tanaman dataran rendah, nilam lebih baik dikembangkan pada ketinggian 100 hingga 400 di bawah permukaan laut (dpl). Sangat baik jika dikembangkan pada jenis tanah andosol yang mengandung humus dan drainasenya baik.

Kondisi ini sangat cocok dengan karakter tanah di Banjarnegara.
Nilam atau juga disebut patchouli dapat tumbuh di bawah naungan sehingga dapat dikembangkan bersama tanaman menahun.

Namun, nilam yang tumbuh di bawah naungan akan menghasilan daun yang tipis dan lebar sehingga kandungan minyaknya rendah. Sebaliknya, jika tumbuh di lahan terbuka, daun-daun nilam cenderung kecil, tebal, dan berwarna kecoklatan sehingga kandungan minyaknya tinggi.

Karena  diambil minyaknya, kualitas nilam tidak hanya diukur dari bentuk fisiologis tubuhnya. Faktor genetis justru lebih dominan dalam memengaruhi kualitas produksi.

Untuk menjaga kualitas genetis, tanaman perkebunan itu harus dikembangbiakan dengan stek. Bahkan agar mutunya lebih baik stek sebaikya dikembangkan dalam polibag hingga berakar sebelum ditanam.
Fungisida Sebagaimana tanaman jenis lain, nilam juga rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Penyakit yang jamak dijumpai petani adalah cendawan phytopora, semacam virus yang menyerang pucuk daun.

Oleh petani di Banjarnegara penyakit ini disebut gudik. Meski cukup merepotkan, penyakit ini umumnya dapat diatasi dengan penyemprotan fungisida secara berkala.

Melihat besarnya peluang nilam, tanaman ini agaknya bisa dijadikan tumpuan para petani.

Petani Banjarnegara yang resah karena sengon mereka terserang karat tumor bisa berpaling ke nilam. Apalagi harga nilam di tingkat petani stabil. Di Banjarnegara nilam dijual dengan harga Rp 2 ribu-Rp 3 ribu per kilogram daun kering.

Masalah harga yang sering mengancam petani sebenarnya terletak pada distributor dan eksportir. Mereka sering menekan harga pada titik terendah untuk memperbesar margin keuntungan.

Karena itulah asosiasi atsiri bersama pemerintah perlu membuat standardisasi harga jual minyak nilam, baik di tingkat pengepul, distributor, maupun eksportir.

Selama proses pengolahan, nilam ternyata mampu menyerap banyak tenaga kerja. Setelah dipanen misalnya, seorang petani perlu tenaga untuk mengeringkannya. Setelah kering petani perlu menyulingnya.

 Dalam proses penyulingan setidaknya diperlukan dua orang. Meski cukup merepotkan, proses panjang nilam mampu menyerap tenaga kerja.

Selain itu, limbah produksi  dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Limbah padat berupa daun sisa penyulingan diangkut kembali ke ladang untuk memupuk palawija.

Karena mengandung aroma yang khas pupuk ini bisa dijadikan sebagai pengusir serangga. Hal ini tentu menguntungkan karena pengelola tak harus dipusingkan dengan pengelolaan limbah. (10)

— Surahmat, petani, bergiat pada Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Wacana Suara Merdeka 5 Desember 2009