04 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Reformasi Dikejar Waktu

Reformasi Dikejar Waktu

Sebulan lagi tahun baru tiba. Rentang waktu yang singkat itu dibebani sejumlah persoalan bangsa yang masih menggantung. Masyarakat sebenarnya mengharapkan suasana yang sejuk. Khususnya umat Kristen mengharapkan suasana khusyuk menjelang Natal. Umumnya kita pun mulai bosan dengan repot-repot di jalanan yang sarat skenario simpang siur. Namun, selama suasananya damai, tidak masalah. Asalkan jangan dibumbui asumsi-asumsi yang membuat semua orang merasa benar sendiri. Yang lain-lain pun punya cerita yang perlu didengar. Kasus Bank Century bagi awam masih terlalu membingungkan, tetapi kasus Bibit-Chandra bisa menjadi pelajaran. Pesan moralnya: dalam hidup, buaya dan cecak perlu belajar hidup berdampingan. Begitulah kehendak alam.


Reformasi bukan revolusi
Reformasi menghendaki perubahan radikal dalam kehidupan sosial dan politik demi perbaikan. Itulah yang sedang kita jalani. Dalam proses ini kita perlu tekun dan sabar agar proses yang damai tidak berubah menjadi bentrokan-bentrokan yang mengarah ke revolusi dengan kekerasan.
Tentu ada ketidaksabaran dengan cara penyelesaian masalah-masalah pelik yang menyangkut harga diri banyak pihak. Pernah ada SMS yang menganalogikan penyelesaian kasus Bibit-Chandra dengan cerita pewayangan. Tidak tegas dan lugas, tetapi hati-hati dengan mengambil jalan berputar. Gamelan pengiringnya yang gaduh. Tetapi yang penting, tujuan akhirnya tercapai. Raksasa-raksasa tersingkir dan para kesatria berencana kembali ke istana.
Mengapa reformasi harus dijaga agar tidak meledak menjadi revolusi? Jika menyimak sejarah dunia, kita tentu pernah membaca proses Revolusi Prancis selama satu dasawarsa sejak 1789. Revolusi yang melengserkan ancient regime yang menindas rakyat itu tidak berjalan mulus. Terjadi berbagai bentrokan dan perebutan kekuasaan antarelite setelah pemerintahan kalangan bangsawan digulingkan. Di bawah kelompok kelas menengah borjuis Montagnards, yang didukung kalangan bawah, pemerintahan baru menjalankan kebijaksanaan ekonomi dan sosial secara radikal, sekalipun berpihak kepada rakyat. Waktu itu bahkan terjadi pemerintahan teror yang menghukum mati 17.000 dari 30.000 orang yang ditangkap. Revolusi Prancis ditandai pertumpahan darah yang mengerikan.
Manusia tidak pernah belajar dari sejarah. Satu abad kemudian, di wilayah lain terjadi revolusi dengan alasan serupa. Revolusi Rusia pecah 1905 karena rakyatnya menginginkan perubahan sosial politik. Mereka mengadakan demo-demo ketidakpuasan dalam berbagai bentuk, dari yang berupa pemogokan sampai ke pembunuhan-pembunuhan oleh kaum teroris. Demonstrasi secara damai di lapangan depan Istana Musim Dingin di St Petersburg pada 9 Januari 1905 ditumpas dengan keras. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Minggu Berdarah. Berbagai manuver politik dijalankan kaum revolusioner Rusia setelah itu, tetapi toh gagal mengubah kekaisaran menjadi suatu republik yang demokratis. Baru sekitar satu dasawarsa kemudian, Februari 1917, pecah revolusi yang menggulingkan kekuasaan kaisar. Pada Oktober tahun yang sama, kalangan Bolsheviks yang berhaluan Marxis di bawah Lenin berhasil memegang tampuk pimpinan.
Dari sekilas kisah-kisah revolusi besar dalam sejarah, juga mengingat kembali berbagai konflik besar dan kecil di negeri kita sendiri, baik untuk mencapai kemerdekaan ataupun sesudahnya dalam rangka mencari penyesuaian, kita berkesimpulan bahwa revolusi bisa pecah kalau rakyat terus-menerus dikecewakan. Maka, sekalipun mengambil gaya pewayangan, mungkin untuk masyarakat kita itu jauh lebih baik daripada gaya tumpas keras. Yang penting reformasi harus tetap berjalan. Kalangan elite maupun rakyat umum tentu mengerti bahwa reformasi bukanlah revolusi.

Negara milik bersama
Menjelang tibanya milenium baru tepat sembilan tahun yang lalu, Dalai Lama mengatakan, "Dunia akan menjadi satu." Tentu bukan dalam arti harfiah. Pernyataan itu mengandung arti bahwa berangsur-angsur persoalan bumi akan menjadi masalah bersama, untuk ditangani bersama oleh umat manusia.
Analog dengan situasi tersebut, menjelang datangnya dasawarsa baru dalam orde reformasi, ada baiknya kita saling mengingatkan bahwa bumi Indonesia ini pun, sesuai dengan kesepakatan bersama, adalah milik segenap warga negara yang menghuninya. Tidak ada kelompok yang boleh mengungguli yang lain-lain dalam hal kesempatan memperoleh kesejahteraan moril maupun materiil dari negeri ini. Kalau cita-cita itu belum terwujud, sudah saatnya mempertegas makna reformasi--yang sebenarnya sedang kita jalankan sekarang. Kalau sampai gagal mempertegas reformasi, bisa tumbuh keinginan untuk kembali berpegang pada hal-hal yang dirasa paling dekat di hati, apakah itu sentimen keagamaan, kedaerahan, kesukuan, atau sentimen kelompok apa pun. Mungkin itu dilakukan sebagai benteng pertahanan, sebagai defence mechanism untuk mengamankan diri dari sikap lingkungannya yang membeda-bedakan.
Konflik-konflik kesukuan, pemberontakan-pemberontakan kecil kedaerahan, dan sikap curiga pada mereka yang lain agama bisa pecah sewaktu-waktu. Primordialisme merebak, begitu pula fanatisme. Suasana perasaan yang demikian mudah sekali kena hasutan. Tanpa kita sadari, membuang-buang emosi seperti itu membuat kita terpana pada masalah-masalah yang tidak relevan untuk perkembangan dan kemajuan. Kita, misalnya, bisa larut dalam retorika yang merusak ketertiban dan keamanan masyarakat.
Perkembangan akhir-akhir ini memang telah mengobok-obok emosi masyarakat. Dari kasus Bibit-Chandra versus Susno Duadji, kasus Antasari dan terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen, serta kasus Bank Century yang seperti benang kusut, apa yang dapat kita simpulkan? Segolongan elite yang berkuasa, di pemerintahan dan swasta, memang lemah moral. Sikap demikian melemahkan penegakan hukum. Bandingkan antara hukuman yang menghadang elite-elite bermasalah besar sekarang ini dan hukuman yang sedianya dijatuhkan pada orang-orang kecil seperti Bu Minah yang mencuri tiga butir kakao, dua petani yang mencuri sebutir semangka, dan Pak Tanjung yang didakwa mencuri listrik karena mengisi baterai HP di koridor apartemennya. Sekalipun hukum katanya menjadi panglima, dan para hakim berbicara tentang penegakan hukum, tetap saja kita bertanya soal hukum dan keadilan. Ke mana larinya nalar dan nurani kita?
Reformasi tampaknya perlu mengawal moral bangsa. Jika merujuk pengalaman Jepang, kita melihat sebuah negara yang mencontohkan dirinya sebagai peraih kesuksesan yang mengagumkan--dari sebuah negara yang tumpas habis oleh Perang Dunia II, menjadi salah satu negara termaju di dunia. Negara yang wilayahnya tidak terlampau besar, dengan kekayaan alam yang kalah dari kita, terbukti bisa menjadi semaju sekarang karena berbekal watak bangsa. Maka, dari deretan panjang pekerjaan rumah yang ada, seyogianya soal pembangunan moral dan watak bangsa juga masuk agenda reformasi.

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 4 Desember 2009