04 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Pesan Bersayap SKPP Bibit-Chandra

Pesan Bersayap SKPP Bibit-Chandra

Kejagung sepertinya hanya setengah hati dalam menerbitkan SKPP untuk
Bibit-Chandra. Pasalnya, surat itu membuka celah untuk diperkarakan, dan faktanya ada beberapa pihak  mempermasalahkan kembali perkara itu

BIBIT Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, dua pimpinan nonaktif KPK nonaktif, telah dibebaskan dari tuntutan. Kejaksaan Agung (Kejagung) menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) terkait kasus penyalahgunaan wewenang dan pemerasan yang disangkakan kepada mereka berdua (1/12). Namun, surat ketetapan tersebut menyimpan dua ìpesanî yang saling berkebalikan.

Sebelumnya, Bibit dan Chandra diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang dimilikinya sebagai pimpinan KPK ketika menerbitkan surat cekal kepada Anggoro Widjojo, tersangka korupsi sistem komunikasi radio terpadu, yang saat ini menjadi buron komisi itu. Selain tuduhan tersebut, keduanya disangka melakukan pemerasan melalui Ari Muladi, si penghubung Anggodo Widjojo, adik dari Anggoro Widjojo.

Atas dua tuduhan itu, pada 15 September 2009 Bibit dan Chandra akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Markas Besar Polri. SKPP secara hukum dilandaskan pada Pasal 140 Ayat (2) Huruf a Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ada tiga alasan menghentikan penuntutan perkara pidana. Pertama, dugaan penuntut umum terhadap kasus pidana ternyata tidak cukup bukti atau kurang bukti.

Kedua, perkara yang akan dituntut bukanlah suatu perkara pidana. Ketiga, penuntutan perkara pidana didasarkan pada kepentingan hukum atau demi hukum.

Kejaksaan Agung memilih alasan penghentian penuntutan kasus Bibit dan Chandra demi kepentingan hukum. Penghentian perkara sesuai dengan alasan yuridis dan sosiologis.

Pesan pertama yang terkandung di SKPP Bibit dan Chandra adalah penegak hukum telah memenuhi rasa keadilan sebagian besar masyarakat yang memandang bahwa penahanan terhadap keduanya memang janggal dan lemah bukti.

Rasa gaduh publik dikuatkan dengan rekaman hasil sadapan KPK terhadap Anggodo yang diperdengarkan di sidang MK beberapa waktu lalu. Petikan rekaman itu mengisyaratkan memang ada semacam rekayasa untuk memidanakan Bibit dan Chandra.

Ditambah lagi, hasil temuan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum kasus Bibit dan Chandra atau Tim 8 mengemukakan dua hal yang menilai bahwa penahanan Bibit dan Chandra lemah.

Alasannya, pertama, menurut tim bentukan Presiden itu, prosedur penerbitan dan pencabutan surat larangan ke luar negeri terhadap Anggoro Widjojo tidak melanggar standard operating procedure (SOP) di KPK.

Surat cegah yang hanya ditandatangani oleh Bibit dan Chandra tanpa mengikutsertakan tiga pimpinan KPK lainnya adalah hal yang biasa. Toh, penerbitan surat cekal seperti ini juga dipraktikkan oleh pimpinan KPK periode sebelumnya.
Tidak Cukup Kedua, berdasarkan temuan Tim 8, penyidik kasus Bibit dan Chandra tidak memiliki cukup bukti untuk membuktikan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Pasalnya, alat bukti yang dimiliki penyidik tentang aliran uang dari Anggoro Widjojo berhenti di Ari Muladi. Alat bukti untuk membuktikan unsur percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat, juga tidak dimiliki penyidik.

Fakta yang didapat oleh Tim 8 mengkonklusikan adanya missing link terhadap sangkaan pemerasan yang dilakukan oleh Bibit dan Chandra. Aliran dana pemerasan itu bermuara di Ari Muladi, bukan ke Bibit dan Chandra.

Pesan kedua dalam SKPP adalah pesan tersirat. Meski menerbitkan ketetapan penghentian penuntutan, Kejaksaan Agung terkesan tidak legawa melepaskan buruannya. Jaksa penuntut umum tetap menilai bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh Bibit dan Chandra memenuhi delik pidana dalam Pasal 12 Huruf e jo. Pasal 23 UU 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Di samping itu, Kejaksaan Agung sepertinya hanya setengah hati dalam menerbitkan SKPP untuk Bibit dan Chandra. Pasalnya, surat ketetapan yang diterbitkan tersebut membuka celah untuk diperkarakan. Faktanya, surat ketetapan tersebut mengundang beberapa pihak untuk mempermasalahkan kembali perkara Bibit dan Chandra.

Penghentian penuntutan perkara pidana dengan SKPP bukan harga mati. Sebab, KUHAP memberikan kemungkinan bagi kejaksaan untuk membuka kembali kasus yang telah di SKPP. Pasal 140 Ayat (2) Huruf d KUHAP berujar, ìApabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

Alasan baru yang diperoleh untuk melakukan penuntutan kembali perkara pidana yang telah di-SKPP bisa didapatkan jaksa penuntut umum dari penyidik berupa keterangan tersangka, tambahan saksi baru, atau penemuan benda maupun petunjuk baru.

Pada bagian inilah bolong SKPP untuk Bibit dan Chandra tersibak. Apa jadinya bila konstelasi politik, misalnya, dan tekanan terhadap kinerja Gedung Bundar mulai meredup, besar kemungkinan kejaksaan akan melakukan penuntutan kembali. SKPP tersebut juga berpotensi untuk dipraperadilankan. Terbukti dengan rencana beberapa puluh advokat yang siap mengoreksi formalitas SKPP itu melalui jalur pengadilan.

Lahir sebuah pertanyaan, kenapa Kejaksaan Agung tidak menyusun alasan yang sistematis dan tidak mengundang pihak lain untuk mengusik kasus Bibit dan Chandra? Jika mau, bukankah Kejaksaan Agung dapat menggunakan alasan missing link dari aliran dana pemerasan hasil temuan Tim 8 sebagai penguat untuk menghentikan kasus Bibit dan Chandra?

Pesan bersayap SKPP untuk Bibit dan Chandra semoga tidak berdampak buruk ke depannya. Kejaksaan Agung harus bisa mempertahankan ketetapannya dari usaha praperadilan, sekaligus sebagai tanggung jawab moral korps adyaksa terhadap usaha memberantas korupsi sehingga pemberantasan korupsi dapat lebih masif akhirnya. Semoga.(10)

— Hifdzil Alim, peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Wacana Suara Merdeka 5 November 2009