04 Desember 2009

» Home » Okezone » Ongkos Mahal Berdemokrasi

Ongkos Mahal Berdemokrasi

MESKI demokrasi bagaikan pedang sakti yang senantiasa diburu, dipuji, dan diperjuangkan di kalangan ilmuwan sosial, ketika sudah di tangan dan diberdayakan untuk meratakan jalan bagi kesejahteraan bangsa, pada kenyataannya, tidak seindah dan semulus yang dibayangkan.

Secara teoretis demokrasi menjadi pilihan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara di zaman modern karena beberapa alasan. Pertama, dengan adanya pemilihan umum secara reguler diharapkan akan terjadi seleksi dan pergantian kepemimpinan secara berkala, rasional, dan terbuka sehingga tidak akan terjadi kepemimpinan yang absolut seumur hidup yang otoriter. Kedua, melalui pemilihan umum (pemilu), warga negara dilibatkan untuk menyalurkan hak-hak pilihnya sehingga muncul hubungan timbal balik antara warga dan pemimpinnya, yaitu hak menagih janji bagi warga dan kewajiban memenuhi janji bagi yang terpilih.

Ketiga, dengan demokrasi proses seleksi kepemimpinan diharapkan berdasarkan integritas, keahlian, dan prestasi, bukan hubungan darah dan otoritas keagamaan. Dengan demikian proses demokratisasi memungkinkan setiap warga untuk bersaing menggunakan hak dan menonjolkan kemampuannya. Di situ prinsip kesamaan hak dan partisipasi warga dijamin. Keempat, salah satu pilar demokrasi adalah menguatnya dan berfungsinya lembaga perwakilan rakyat yang berperan menyuarakan aspirasi rakyat untuk mengawasi dan memberi masukan terhadap jalannya pemerintahan. Lewat pengawasan ini diharapkan pemerintah tetap setia melaksanakan janji dan amanah selama kampanye dengan mendasarkan pada undang-undang (UU) yang ada.

Kelima, dengan adanya wakil rakyat, mereka menjadi jembatan penghubung antara aspirasi rakyat dengan pemerintah. Tugas mereka adalah selalu membaca dan mendengarkan kebutuhan rakyat, lalu diperjuangkan agar direspons oleh pemerintah karena pada dasarnya baik pemerintah maupun wakil rakyat adalah pelayan rakyat. Satu catatan sangat penting, dalam melaksanakan demokrasi semuanya harus menaati undangundang (UU), hukum, dan aturan main yang telah disepakati bersama. Tanpa kepastian hukum, demokrasi akan roboh, bisa berubah menjadi anarki kelompok, massa atau oligarki dengan cara mempermainkan pasal-pasal UU.

Sabar, Kritis dan Visioner

Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, saya masih ingat mata kuliah tata negara bahwa demokrasi, dengan segala cacat bawaan yang ada, adalah pilihan terbaik bagi Indonesia. Sistem kerajaan sudah usang dan tidak punya masa depan. Lalu teokrasi juga tidak jelas konsep dan aplikasinya, terlebih bagi Indonesia.

Dalam suatu wawancara dengan almarhum Mohamad Roem- waktu itu saya sebagai wartawan--, dia mengatakan sistem teokrasi yang benar itu hanya terjadi selama hidup Rasulullah Muhammad. Semuanya berasal dari wahyu Allah. Namun setelahnya sudah diserahkan pada ijtihad para ulama dan pemimpin. Makanya tak lama kemudian yang muncul adalah kerajaan. Beberapa negara muslim di Timur Tengah juga mengambil bentuk kerajaan. Raja memiliki kekuasaan penuh dengan referensi paham dan keyakinan agama yang dianutnya. Namun kepentingan dinasti yang menjadi prioritas. Hari ini kita tengah berjalan tertatih-tatih sambil menggerutu, berkeluh kesah, dan marah dengan penuh caci mengapa demokrasi yang kita perjuangkan belum juga mendatangkan hasil yang kita bayangkan?

Begitu mahal ongkos yang telah dikeluarkan rakyat dan negara, baik uang, pikiran, emosi maupun budaya, untuk mengawal jalannya demokrasi agar segera menyajikan hasilnya demi memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Namun yang dijumpai malah ribut-ribut, gaduh, serta pemerintahan yang tidak efektif. Pendeknya, pemerintahan produk pemilu yang demokratis dan diidentikkan sebagai hasil pilihan rakyat sampai hari ini masih saja mengecewakan dan menyakiti rakyat. Ini semua mesti kita terima dengan sabar dan kritis.

Bagi negara kecil yang penduduknya homogen dari segi budaya dan agama, mungkin sekali lebih mudah dan lebih cepat melakukan konsolidasi dalam berbagai bidang sosial, budaya, dan politik. Akan tetapi bayangkan saja, luas Indonesia yang terbentang dari Aceh sampai Papua, yang ekuivalen antara Teheran dan London, dengan beragam etnik dan ribuan pulau, sungguh memerlukan kesabaran untuk menciptakan kohesi kehidupan berbangsa. Sejak kemerdekaan tahun 1945 bangsa ini disibukkan terus-menerus oleh berbagai konflik yang muncul dari benturan pluralitas agama dan ideologi.

Ditambah lagi sekarang pengaruh itu datang secara deras dari pengaruh global. Maka semua itu semakin meningkatkan suasana gaduh dalam alam demokrasi yang semua orang merasa leluasa untuk bersuara. Namun, menarik diamati, kita mulai terbiasa dengan kegaduhan kritik dan argumen terhadap proses politik yang tengah berlangsung. Dulu kemarahan itu selalu ingin disalurkan melalui demonstrasi dengan mengerahkan massa di jalanan. Sekarang, meskipun massa jalanan masih tetap ada, media televisi dan surat kabar ikut ambil bagian untuk menyalurkan berbagai kritik dan emosi massa.

Peran media massa sangat positif untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara dan dapat mengurangi potensi benturan fisik antarpihak yang bersengketa. Saya terkesan dengan tampilnya para aktivis muda yang kritis yang tidak mau terjebak dalam tindakan destruktif dalam melakukan kritik. Begitu pun para presenter televisi yang masih sangat muda, tampan, cantik, dan cerdas, semua itu memberikan harapan bagi proses pendewasaan berdemokrasi di Indonesia. Dinamika politik yang tengah berlangsung saat ini selama dikawal untuk tetap berada dalam jalur hukum, dijaga etika sosialnya, disikapi semuanya dengan sabar dan kritis serta visioner bagi kejayaan masa depan bangsa, rasanya kita punya alasan untuk optimistis bagi kebangkitan Indonesia.

Satu catatan penting, ibarat bibit pohon, demokrasi akan tumbuh kokoh dan rindang jika pendidikan warganya bagus, ada ketegasan hukum, dan didukung oleh parpol yang kuat. Tiga syarat ini mesti dipenuhi agar bangsa ini tidak terlalu lama tersandera oleh perpecahan dan korupsi sehingga kita hanya sibuk berjalan dan bertengkar di tempat dengan ongkos amat mahal. Selesai bergabung dalam Tim Delapan, saya memang merasakan kelelahan fisik dan mental. Selama dua minggu bekerja penuh untuk memenuhi target yang diamanatkan kepada kami oleh Presiden dengan hasil yang telah kita ketahui bersama.

Namun yang membuat lelah hati dan mental adalah rasa kesal, sedih dan kasihan, mengapa masih saja banyak politikus dan pejabat tinggi negara yang mengkhianati kepercayaan rakyat, menggadaikan nurani, akal sehat, dan wibawa jabatannya hanya untuk berburu uang haram serta menyengsarakan rakyat? Jabatan dan kepercayaan itu begitu mulia dan efektif sebagai sarana pengabdian kepada Tuhan, melayani rakyat, dan membangun negara. Berbagai fasilitas materi pun disediakan. Namun ego dan nafsu mengejar self-glory lebih menonjol ketimbang nuraninya sehingga tidak segan mengorbankan kanan-kiri serta rakyat.

Dalam hati muncul pertanyaan, prestasi dan kualitas hidup macam apa yang hendak dibanggakan dan diwariskan kepada keluarga dan generasi bangsa jika jabatan yang dikejar pada akhirnya hanya untuk sarana memenuhi selera hidup yang begitu rendah? Melihat fakta-fakta seperti itu, hati pun menjadi lelah, marah, dan kasihan.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah 

Opini Okezone 4 Desember 2009