04 Desember 2009

» Home » Jawa Pos » Orang Terkaya v Orang Miskin

Orang Terkaya v Orang Miskin

ADA warta menarik yang berembus di pengujung tahun ini. Setelah berita guncangan hukum yang menjadi konsumsi masyarakat, kini majalah Forbes kembali membuat daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Tidak itu saja, majalah tersebut memberikan apresiasi terhadap pasar keuangan kita sebagai terbaik kedua setelah Shenzen SE Composite China.

Tentu hal itu menjadi bekal positif bagi pelaku ekonomi untuk menapaki tahun depan. Selain itu, daftar orang kaya Indonesia yang dirilis dapat menjadi lakmus tentang kondisi ekonomi tahun ini. Panggung insan-insan sejahtera tersebut juga mengalami dinamisasi yang menarik untuk dicermati.

Tentu yang lebih menarik lagi adalah panorama ekonomi Indonesia yang digambarkan suram di tahun ini karena sektor ekspor yang tersungkur oleh dampak krisis global. Itu ternyata berbanding terbalik dengan nilai total 40 orang yang dijejer oleh majalah Forbes. Secara total, nilai kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia meningkat tajam dari US$ 21 miliar pada 2008 menjadi US$ 42 miliar. Angka itu juga naik US$ 2 miliar bila dibandingkan dengan nilai kekayaan terbesar yang dicapai pada 2007.

Sementara itu, 12 orang kaya dalam daftar tersebut total memiliki kekayaan hingga US$ 28 miliar. Angka tujuh orang di antaranya naik, termasuk Low Tuck Kwong, pemilik Bayan Resources yang sahamnya naik hingga 474 persen selama setahun terakhir.

Konglomerat sektor batu bara lainnya yang juga pemilik Bumi Resources, yakni Aburizal Bakrie, pun berhasil naik peringkat setelah tahun lalu melorot tajam karena krisis. Nilai kekayaan Aburizal meningkat tajam daripada tahun 2008 yang ''hanya'' US$ 850 juta dan ada di posisi ke-8. Kini ketua umum Golkar itu berada di posisi ke-4 dengan nilai kekayaan US$ 2,5 miliar.

Mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla yang tahun lalu menghuni peringkat ke-30 dengan jumlah kekayaan US$ 230 juta kali ini harus tereliminasi. Iparnya, Aksa Mahmud, masih bertahan. Tapi, hartanya menyusut dari US$ 340 juta di daftar tahun lalu dan nangkring pada posisi ke-24 kini harus turun tangga karena total kekayaannya "hanya" tinggal US$ 330 juta dan menduduki peringkat ke-32.

Meriahnya daftar majalah Forbes tersebut juga diwarnai para pendatang baru yang pada daftar tahun kemarin tidak terlampir. Mereka, antara lain, Ciliandra Fangiono. Nilai kekayaannya US$ 710 Juta, berperingkat ke-18. Kemudian, Sandiaga Uno, kekayaannya US$ 400 juta, menduduki posisi ke-29.

Berikutnya, Kusnan dan Rusdi Kirana, pemilik Lion Air. Total kemakmurannya mencapai US$ 480 juta, urutan ke-22. Lalu, Hashim Djojohadikusumo, nilai kekayaan US$ 500 juta, peringkat ke-21. Kemudian, Bachtiar Karim, ranking ke-29 dengan kekayaan US$ 250 juta.

Munculnya sosok-sosok baru tersebut seolah mengingatkan kita akan laporan World Wealth Report bahwa tumbuhnya orang superkaya kita memang luar biasa. Bahkan, Indonesia ada pada urutan ketiga di bawah Singapura dan India.

Potret Ketimpangan

Dalam pembangunan, kemakmuran adalah tujuan dan kemiskinan adalah kutukan. Bila kita melihat daftar kekayaan orang Indonesia, seakan keadilan sosial sudah tercapai. Namun, kemiskinan merupakan wajah kita yang tidak dapat disembunyikan.

Ini adalah ironi. Negeri yang banyak orang kayanya ternyata juga memproduksi orang miskin dan pengangguran yang begitu dahsyat. Kekayaan orang-orang "pilihan" tersebut dari tahun ke tahun selalu merangkak naik. Tetapi di sisi lain, jumlah kaum miskin dan pengangguran juga masih tinggi. Akhirnya, sulit untuk tidak menyebut kita ini bangsa yang banyak hidup dalam kondisi paradoks serta penuh ketimpangan dan kepincangan.

Data pendistribusian pendapatan, tampaknya, tidak terlalu menggembirakan. Pada 2005, sebanyak 20,25 persen dinikmati kaum miskin, sedangkan yang mengalir pada kaum kaya 44,70 persen. Tetapi, pada 2006, yang diperoleh kaum miskin menyusut menjadi hanya tinggal 19,20 persen, sedangkan perolehan golongan kaya merangkak menjadi 45,72 persen.

Bila mengukur distribusi kekayaan dengan menggunakan indeks Gini (tolok ukur untuk melihat tingkat kesenjangan kemakmuran penduduk, Red), skala indeks itu bergerak dari 0 sampai 1, semakin tinggi skornya semakin buruk distribusi pendapatan. Sebaliknya, semakin rendah berarti jurang perbedaan antara orang-orang kaya dan miskin semakin kecil.

Dari data BPS, tercatat bahwa pada 1998, indeks Gini berada pada angka 0,32. Lantas, pada 1999, naik menjadi 0,33. Terakhir pada 2005, posisinya naik lagi menjadi 0,34. Sebetulnya pada awal 1990-an, sudah ada kecenderungan menurun, tetapi badai krisis mengakibatkan ketimpangan melebar hingga kini.

Selanjutnya, data mengenai pengeluaran versi Bank Dunia juga menunjukkan hal yang sama. Pada 2002, misalnya, pengeluaran 40 persen penduduk penghasilan terendah hanya 22,83 persen, kemudian pada 2005 malah turun menjadi 21,84 persen. Di kurun waktu yang sama, pengeluaran 20 persen kelompok teratas naik dari 38,98 persen menjadi 40,43 persen. Dari data indeks Gini dan data pengeluaran tersebut, terlihat bahwa memang ada kecenderungan distribusi pendapatan makin tak merata.

Celakanya, pertumbuhan ekonomi yang belakangan sudah mulai merangkak tidak banyak bertumpu pada sektor-sektor yang padat karya. Dengan begitu, wajah pengganguran pun masih sangat mewarnai.

Jika pengangguran dan kemiskinan tidak segera diatasi, semakin lama ketimpangan akan semakin menganga lebar. Itu tugas berat bagi pemerintah, yakni bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat terus didorong tetapi dengan lebih banyak melibatkan peran masyarakat, contohnya, pembangunan infrastruktur. Jangan sampai pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. (*)

*). L. Wiji Widodo , staf Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) Universitas Brawijaya, Malang
Opini Kompas 4 Desember 2009