PROSES pendidikan yang tengah dibangkitkan pemerintah harus mampu menyehatkan perilaku masyarakat yang "sakit" menuju perilaku bangsa Indonesia yang sehat. Perilaku bangsa yang sakit cenderung menuju ke arah disintegrasi. Sebaliknya, perilaku yang sehat akan membentuk iklim menguntungkan bagi keutuhan bangsa. Dengan iklim kehidupan berbangsa dan bertanah air yang sehat, akan terwujud masyarakat yang waras. Hanya masyarakat waras yang mampu mewujudkan kehidupan demokratis, berkarakter kuat, mandiri, berdaya saing, dan berdaya tahan.
Oleh karena itu, harus ada upaya pemulihan dalam proses pendidikan masyarakat. Pemulihan dilakukan tidak semata menyangkut tataran praktis yang terwujud dalam kultur pendidikan, melainkan harus dilakukan penataan ulang dari mulai memulihkan mindset (cara berpikir) hingga pemaknaan pendidikan yang menjadi dasar penentuan kebijakan nasional pendidikan.
Sesungguhnya, banyak upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, mulai dari perangkat infrastruktur aspek legal sampai kepada pemenuhan anggaran yang ditetapkan UUD 1945. Komitmen yang ditunjukkan sudah amat tinggi, capaian kuantitatif juga banyak yang menjadi kebanggaan. Namun, kehidupan demokrasi, karakter, dan peradaban, serta kemandirian dalam percaturan hidup antarbangsa masih menyisakan banyak persoalan.
Banyak variabel yang terkait dalam persoalan ini. Namun, dilihat dari aspek legal pendidikan, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sesungguhnya sudah menjawabnya. Undang-undang ini mengamanatkan agar penyelenggaraan pendidikan nasional ditujukan untuk memba-ngun bangsa yang demokratis, berkarakter kuat, dan berjiwa mandiri berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan budaya bangsa.
Persoalannya terletak pada implementasi UU Sistem Pendidikan Nasional yang belum dijiwai secara utuh dan konsisten oleh kaidah pendidikan sebagai proses pendewasaan dan memanusiakan manusia. Masalah ini merupakan persoalan filosofis yang menjadi dasar arah penyelenggaraan pendidikan. Sementara itu, pendidikan harus dilandasi filosofi yang jelas. Pendidikan bukan semata persoalan sosial, politik, ekonomi, dan hukum, melainkan persoalan perkembangan manusia yang ada dalam konteks budaya sebagai suatu sistem terbuka dan harus didekati dari sudut kemanusiaan. Oleh karena itu, praktik penyelenggaraan pendidikan perlu lebih diwujudkan sebagai keutuhan proses memanusiakan manusia.
Strategi yang harus dikembangkan harus dimulai dari memulihkan cara berpikir pendidikan dalam menjiwai UU Sisdiknas yang dituangkan dalam cetak biru (blue print) utuh penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Cetak biru ini harus memetakan keterpaduan pengembangan karakter dan kepribadian bangsa dengan penguasaan sains, teknologi, dan seni yang dilandasi keimanan kepada Allah SWT disertai pengembangan, penguatan, dan perbaikan nilai kultural serta kebangsaan yang berorientasi kepada masa depan.
Esensi pendidikan yang di-amanatkan UU No. 20 Tahun 2003 adalah mengubah paradigma pendidikan yang digariskan pada UU No. 2 Tahun 1989, dari pendidikan sebagai proses membentuk manusia, sebagai paradigma sepihak, ke proses memfasilitasi perkembangan peserta didik, sebagai paradigma demokratis. Pendidikan adalah proses demokratisasi, dan mengembangkan kemampuan hidup dalam keragaman. Esensi pendidikan nasional yang di-amanatkan UU Sisdiknas bukanlah pendidikan asing yang diterapkan di Indonesia, melainkan pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dasar ini berakar dari nilai agama dan kebudayaan nasio-nal, tetapi tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Oleh karena itu, wajar kalau UU Sisdiknas menegaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah untuk membangun kemampuan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ini maknanya, watak dan peradaban bangsa menjadi tujuan eksistensi pendidikan yang melandasi pencerdasan kehidupan bangsa sebagai tujuan kolektif kultural. Tiga tataran tujuan ini harus dicapai secara utuh melalui proses pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang.
Persoalan pendidikan selanjutnya terletak pada penyelenggaraan pendidikan nasional yang masih mengandung ketimpangan. Kondisi ini memerlukan pengutuhan dan penyeimbangan antara pencapaian tujuan individual dan proses pencapaian tujuan kolektif serta proses pencapaian tujuan eksistensial yang harus dibangun secara kokoh. Dalam jangka panjang, pencapaian tujuan individual yang tidak diimbangi strategi pencapaian tujuan kolektif dan eksistensial amat berbahaya karena bisa menghasilkan manusia pintar, tetapi egoistik dan tidak peduli terhadap kehidupan bangsa. Tujuan eksistensial dan tujuan kolektif bukanlah agregasi dari tujuan individual, sebagai prestasi yang diukur melalui ujian, melainkan ada perekat kultural yang harus dikembangkan, diperkuat, dan diubah, serta diperbaiki melalui upaya pendidikan. ***
Penulis, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.
OPini Pikiran Rakyat 20 September 2010
OPini Pikiran Rakyat 20 September 2010