19 September 2010

» Home » Lampung Post » Halalbihalal Meneguhkan Pluralisme

Halalbihalal Meneguhkan Pluralisme

Hasani Ahmad Said
Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, kandidat doktor UIN Jakarta
Kita kembali diramaikan dengan pemberitaan, mulai dari isu pembakaran Alquran dan pendirian masjid di negara adidaya, Amerika Serikat sampai penusukan pendeta akibat buntut dari perseteruan pendirian gereja di Bekasi yang dialami jemaat HKBP. Jelas, ini sangat menodai Idulfitri dan halalbihalal.
Meskipun halalbihalal ini berasal dari bahasa Arab, di kalangan masyarakat Arab kata ini tidak terlalu populer. Istilah ini hemat saya lahir dari hasil kreativitas bangsa. Halalbihalal adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia.


Pengistilahan halalbihalal, biasa dipakai untuk pertemuan setelah Lebaran. Diisi dengan saling bersalaman, silaturahmi, dan bisa koneksi/relasi jabatan, bisnis dan lain-lain setelah beberapa pekan tidak bertemu.
Dalam pengertian yang lebih luas, halalbihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari dan pasca-Lebaran. Lebaran merupakan suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini untuk umat Islam yang telah berpuasa dan puasa mereka dilandasi dengan keimanan.
Dalam Alquran, setidaknya ada nilai-nilai yang mengajarkan halalbihalal. Perhatikan Q.S. Ali Imron ayat 134-135. Ayat ini bertalian dengan nasihat pada waktu peristiwa Perang Uhud. Akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang. Kemudian, karena akibat Perang Uhud itu, banyak orang yang gugur di medan perang yang mengundang banyak penyesalan, bahkan kemarahan. Maka, nasihat petama adalah ajakan berinfak baik di waktu lapang maupun sempit. Nasihat kedua dari ayat di atas, imbauan menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.
Ada tiga tingkatan manusia dalam menghadapi kesalahan orang lain menurut ayat di atas. Pertama, mampu menahan amarah (al-kodzimîn al-ghaidz); kedua, menghapus bekas-bekas luka, seolah tidak pernah terjadi apa-apa; dan ketiga, Allah kembali mengingatkan bukan hanya menahan amarah, atau hanya sekedar memaafkan, tetapi yang lebih disukai oleh Allah adalah berbuat kebaikan kepada orang yang pernah melakukan kesalahan.
Ada terapi pada ayat berikutnya (135), yaitu siapa yang sengaja atau tidak melakukan perbuatn keji, baik itu berbuat dosa besar seperti korupsi, membunuh, berzina atau pelanggaran apapun, hendaklah mengingat Allah (dzakarullah) dan memohon ampunan atas dosa-dosa serta bertekat sekuat tenaga untuk tidak mengulanginya.
Ada makna yang sangat dalam, dari dua ayat di atas, berangkat dari makna halalbihalal seperti tersebut di atas, yang ingin ditonjolkan oleh dua ayat di atas adalah pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik dan mudah memaafkan orang lain. Sikap inilah yang mestinya menjadi warna masyarakat muslim Indonesia dan di negara-negara rumpun lainnya.
Ketika sudah melalui proses sesuai dengan bimbingan ayat di atas, baru kemudian masuk ke tahap berikutnya yang kemudian dikenal dengan istilah Idulfitri. Id artinya kembali, fitri berasal dari bahasa Arab yakni fitrah yang mempunyai arti suci/bersih. Sehingga, idulfitri berarti kembalinya manusia kepada keadaan suci, atau keterbebasan manusia dari segala dosa dan noda sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Kesadaran akan semua kesalahan manusia, akan membawa kedekatan kepada Allah. Ketika manusia sudah bertaubat, itu artinya manusia kembali suci tanpa noda. Sehingga tidak ada pembatas atas makhluk dan Tuhan. Inilah makna Q.S. Al Baqarah: 186, "Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku."
Dalam hadis Qudsi Allah berfirman: "Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari." (H.R. Bukhari dari Anas bin Malik).
Gelar setelah proses di atas, yang kembali disandangkan adalah yang dikenal dengan istilah minal aidzin wal faizin. Kata-kata minal aidin wal faizin adalah penggalan dari doa panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa, yakni “taqabbalallâhu minna wa minkum wa ja'alanallahu minal aidzin wal faizin" (Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan (kemenangan).
Dari uraian di atas dapat ditarik natijah bahwa halalbihalal, Idulfltri, dan minal aidzin wal faizin mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
Sekilas menengok persoalan bangsa kita, di tengah gencatan polemik bangsa yang tidak kunjung usai, belum lagi Malaysia yang selalu berulah, lambannya penangan kasus-kasus nasional seperti hilangnya berita kasus Bank Century, pajak, dan masih banyak PR lain yang melanda bangsa kita. Belum lagi, negara kita kembali diuji dengan letusan gunung berapi, kebebasan beragama kian terusik. Kuncinya adalah lakukan perbaikan (muhsinin), tahan amarah jangan mudah terprovokasi, dan maafkanlah.
Opini Lampung Post 20 September 2010