Di Jakarta, layanan air leding perpipaan belum mampu melayani seluruh penduduk. Hal ini membuat sebagian besar penduduk Jakarta bergantung pada penggunaan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari sehingga mendorong ekstrasi air tanah dalam jumlah besar.
Pada saat yang bersamaan, pembangunan hotel mewah, apartemen, dan pusat perbelanjaan terus berlangsung. Makin banyaknya gedung besar ini secara masif menambah beban pada tanah. Kombinasi dua hal tersebut saling menunjang menciptakan ruang kosong di Bumi yang membuat tanah ambles.
Tahun 2008, saat beberapa bagian gedung BPPT, Sarinah, Menara Eksekutif, ambles, para ahli telah mengingatkan bahwa itu terjadi karena proses dewatering atau pengurasan air bawah tanah dalam jumlah besar yang tidak hati-hati serta besarnya penekanan permukaan tanah akibat pembangunan gedung-gedung pencakar langit.
Penggunaan air tanah Jakarta memang besar. Data resmi untuk pemakaian komersial menurut Dinas Pelayanan Pajak adalah
Gap yang besar ini mungkin terjadi karena pengawasan air tanah masih sangat minimal. Jumlah aparat yang bertugas mengawasi dapat dihitung dengan jari, sementara pemanfaat komersial sudah ribuan jumlahnya. Di sisi lain, pengawasan dari masyarakat sangat sulit dilakukan karena data pemanfaat komersial air tanah tertutup rapat.
Pejabat yang berwenang memberikan izin dan mengendalikan pemanfaatan air tanah justru membuat blunder dengan menutup akses publik terhadap data yang ada di instansinya, meski seharusnya data ini masuk kategori informasi publik yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Pulik.
Sejak tiga tahun belakangan lembaga tempat penulis bekerja melakukan penelitian di beberapa daerah tentang penerimaan dari pajak air tanah dan manfaatnya bagi pemerintah daerah. Semua daerah yang diteliti, kecuali Jakarta, memberikan data secara terbuka tentang nama pengguna, volume yang diambil, serta nilai pajak yang dibayar.
Di Jakarta, ada dua instansi terkait, yaitu Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) dan Dinas Pelayanan Pajak. Dua institusi ini selalu memiliki alasan untuk tidak memberikan data penggunaan air tanah Jakarta, termasuk salah satunya menyatakan instansinya tidak memiliki data dimaksud.
Upaya menutup-nutupi penggunaan air tanah Jakarta tentu saja menimbulkan prasangka bahwa volume ekstrasinya jauh di atas yang diketahui umum. Sedikit banyak prasangka itu terbukti pada Kamis (16/9) ketika 103 meter Jalan RE Martadinata ambles sedalam tujuh meter.
Penelitian oleh Amrta Institute dan Yayasan Tifa menunjukkan bahwa jumlah ekstrasi riil memang jauh di atas data resmi. Hal tersebut dapat dilihat dari data BPLHD yang hanya mencatat 645 industri besar sebagai pembayar pajak air tanah, padahal menurut BPS ada 1.872 industri besar di Jakarta. Begitu pula dengan kantor bank yang hanya tercatat sebanyak 93 buah, padahal menurut Bank Indonesia ada 2.500 kantor bank di Jakarta.
Nicola Colbarn dari Universitas Oslo dalam tulisannya, Will Jakarta Be The Next Atlantis, gamblang menyatakan, jika pemanfaatan berlebihan tidak dapat dihentikan dan pemerintah tidak menjalankan komitmennya terhadap penggunaan air tanah yang berkelanjutan, Jakarta akan menjadi Atlantis kedua, tenggelam dan hilang.
Mungkin penggambaran Colbran berlebihan. Namun, pesannya yang jelas mestinya mampu membuka mata tentang bahaya yang dihadapi Jakarta dan kota pantai lain di Indonesia. Amblesnya Jalan RE Martadinata harus menyadarkan pemerintah untuk menempatkan pengelolaan air berkelanjutan sebagai prioritas karena dapat memberi efek ikutan positif bagi sektor lain.
Pengguna air pun harus meninggalkan ketergantungannya pada air tanah dan beralih pada air permukaan yang lebih berkelanjutan. PAM Jaya, pengelola air bersih, perlu berbenah agar mampu memberikan layanan kepada mayoritas penduduk Jakarta. Upaya secara berbarengan ini diharapkan dapat membantu menurunkan penggunaan air tanah di Jakarta.