19 September 2010

» Home » Lampung Post » Bangsa Kelelawar

Bangsa Kelelawar

M. Bashori Muchsin
Guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang
"Negara tak akan pernah bubar sepanjang mereka yang diberi amanat tidak berlomba menyalahgunakannya," demikian pesan yang diadaptasikan secara hermeneuitika dari filosof muslim kenamaan Ibnu Khaldun, yang mengkritik akar masalah potensi kehancuran dan bubarnya negara akibat perilaku elitenya yang sibuk berlomba memasung dan membusukkan nilai-nilai amanat.


Kritik tersebut jika dipahami dari esensi filosofisnya tidaklah sederhana, mengingat yang disampaikan menyangkut dua aspek yang saling memengaruhi. Di satu sisi, ada aspek perbuatan manusia yang berupa pengabaikan dan bahkan penguburan amanat. Sedangkan di sisi lain, terdapat pertaruhan yang sangat besar yang
menempatkan negara sebagai objeknya. Keperkasaan negara tak akan bisa bertahan lama, misalnya, manakala semakin banyak elemen strategisnya yang gagal menunjukkan dirinya sebagai pejuang.
Alam telah menganugerahimu sepasang mata tajam, penaka mata rajawali, api perbudakan telah meredupkan pandanganmu seredup pandangan seekor lelawar.
Demikian bait-bait syair Muhammad Iqbal, sang penyair asal Pakistan yang menggambarkan atau melukiskan sejarah kehidukan masyarakat muslim, khususnya di zaman Daulat Abbasiyah, yang semula pernah menempati masa keemasan atau kejayaan, yang kemudian kejayaan itu tinggal
kenangan, menjadi nostalgia, dan sebatas dikenal sebagai tuyang-tuyang (sisa-sisa) dari suatu konstruksi peradaban umat yang pernah menjadi Bangsa Rajawali.
Daulat Abbasiyah itu dihancur-leburkan oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu (tahun 1258). Kekayaan besar di bidang keilmuan, kebudayaan, dan peradaban dibakar tentara Mongol ini setelah sejumlah literatur dan kekayaan berharga lainnya disita dan dirampoknya. Kehancuran yang dibayar mahal bukan semata karena kehilangan kekayaan berharganya di bidang keilmuan, melainkan lebih dari itu, adalah kehilangan jiwa memiliki negara.
Digambarkan Imam K.H. dalam Agama Langit, Agama HAM (2006), bahwa kisah itu mencerminkan catatan historis paradok dari episode kejayaan yang pernah ditorehkan Bani Abbasiyah, yang mencerminkan riwayat dan legenda perjalanan Pemerintahan Islam atau kepemimpinan elite muslim, yang spektakuler dalam kemajuan, yang kemudian hanya menyisakan peristiwa memilukan yang mengisi hidden history akibat ulah atau perilaku segmen bangsa, khususnya kaum elitenya yang rentan atau berprofil (bangsa) seekor kelelawar. Suatu jenis hewan yang hanya menikmati kehidupan malam, hidup menggelantung, dan selalu meredupkan nyali dalam menegakkan kebenaran di dunia.
Kasus kehancuran bangsa besar itu dapat dijadikan pelajaran, bahwa betapa pun hebatnya suatu bangsa, yang di dalamnya rawan kerentanan, marak virus amoral, dan pertikaian di kalangan komunitas elitenya, atau antarkekuatan elitenya sibuk menjadi kelelawar, tidak mampu menyalakan nyali dalam kebajikan atau gampang meredupkan nyali dalam menata dan menguatkan diri, kehidupan bermasyarakat, dan bernegara dalam bingkai moral keberagamaan.
Kecemerlangan sebuah bangsa dalam piramida kejayaan memang bisa diraih dan ditorehkan oleh bangsa mana pun di muka bumi, bukan hanya Daulah Abbasiyah, melainkan kehancuran dan status sebagai bangsa budak, bangsa kalah, dan bangsa terjajah pun bisa menimpa masyarakat dan bangsa lain di muka bumi jika akar problem yang merentankan dan mengeroposkan jati dirinya, dipelihara dan dipuja-puja sebagai kenikmatan duniawi. Kenikmatan duniawi adalah godaan yang potensial menjerumuskan manusia menuju kegagalan dan kehancuran.
Bangsa yang kalah dan layak menempati strata budak adalah cermin bangsa yang segmen-segmennya atau pilar-pilarnya bangga (arogan) terjerumus dan larut dalam atmosfir friksi-friksi (pertikaian), kekerasan, dan penghalalan segala cara, sedangkan bangsa-bangsa lain dibiarkan menghegemoni atau menciptakan perbudakan global. Artinya, kehadiran bangsa lain dianggap sebagai sumber utama yang bisa menyenangkan, mengenyangkan, dan memanjakannya. Bangsa lain diposisikan sebagai acuan utama politik ekonomi yang menguntungkannya.
Akibat larut dalam pemanjaan yang dijual dan terus menerus dirangsangkan oleh kaum pemilik modal besar dari negara-negara dunia ketiga, mereka yang menyerah pada kekuatan global ini tidak berkutik. Mereka pasrah untuk didikte, atau kehilangan suara kecerdasan, serta independensinya ketika dihadapkan dengan desakan politik, budaya, dan ekonomi, yang bermuatan merugikan, membahayakan, dan menghancurkan. Segmen elite kekuasaannya pun kehilangan nyalinya untuk melakukan penolakan, apalagi menggalang dan membulatkan perlawanan, pasalnya mereka takut tak mendapatkan "kue" ekonomi dan politik yang menguntungkannya.
Dikritik pula oleh A.M. Rahman dalam Tirani Negeri Adidaya (2006), bahwa negara-negara yang punya sumber-sumber politik dan ekonomi berkelas adidaya sering mengemas dirinya secara arogan menjadi makhluk terkutuk yang menghalalkan pola-pola adigang-adigung yang menempatkan bangsa lain sebagai objek eksperimen.
Sementara itu, negara-negara atau bangsa-bangsa yang berada dalam kondisi ketidakberdayaan itu tidak sedikit jumlahnya yang berasal masyarakat atau bangsa yang membawa label masyarakat muslim atau komunitas Islam. Mereka seperti tidak punya nilai tawar yang menguntungkan dan menunjukkan jati diri sebagai bangsa independen ketika kekuatan global menunjukkan syahwat memperbudaknya.
Dalam artikel 4 UDHR (Universal declaration of Human Rights) disebutkan tidak seorang pun boleh diperlakukan dalam perbudakan (slavery) atau dalam perhambaan (servitude) dan perdagangan budak (slave trade) dilarang dalam segala bentuknya. Sementara dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 ditegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.
Tangan-tangan kuat dari negara adidaya, seharusnya tidak dibiarkan mencengkeram dan menghegemoni negara-negara sedang berkembang, tetapi seharusnya dilawan, karena terbukti, di berbagai sektor kehidupan, mereka telah menciptakan dan mengakarkan perbudakan global. Yang harus tak gentar melawannya adalah elemen strategis negara ini.
Negara maju, adidaya, atau berkemampuan ekonomi mapan telah membuat negara yang sedang sibuk menangani kemiskinan, pengangguran, kerusakan alam, dan utang menumpuk ini, semakin susah bernafas akibat tekanan atas nama terorisme, ideologi, HAM, dan radikalisme.
Negara yang sedang tak berdaya ini akhirnya hanya pantas menyandang identitas sebagai "keranjang sampah", yang layak menerima pengusiran SDM-nya yang dianggap liar, ilegal, dan sudah tak digunakan oleh negara-negara itu. Mereka perlakukan masyarakat dan bangsa ini layaknya kumpulan bangsa underprivillege yang absah diperbudak atau dijadikan objek perdagangan global.
Perang terhadap perbudakan global tak cukup ditunjukkan oleh kekuatan masyarakat akar rumput seperti TKI yang menguras keringat demi ringgit dan petro dolar atau lainnya, tetapi wajib dilakukan secara maksimal oleh negara. The grassroot community ini tidak akan mampu melawan sindikasi global yang sudah piawai menancapkan akar-akar kekuatannya mulai dari saat perekrutan, pemberangkatan, penempatan, hingga pemulangan
Beda halnya jika yang berperang melawan sindikasi hegemoni rezim perbudakan global adalah elemen utama negara ini. Maka niscaya akan bisa mengimbangi dan bahkan mengalahkannya, karena selain di dalam konstruksi negara ini terdapat berbagai elemen strategis, juga ada nilai tawar politik dan yuridis yang bisa diajukan guna mengurangi atau melemahkan daya cengkeramannya.
Soekarno pernah mengingatkan bahwa setiap negara yang bermaksud menempatkan bangsa ini sebagai bangsa kuli (nation coolies) harus dilawan dan dikalahkan dengan segenap kekuatan. Berapa pun kontribusi yang dilakukan manusia Indonesia di mancanegara, jika menyerah atau diserahkan jadi objek perbudakan, tidak boleh didiamkan. Jika perang ini tidak digelorakan, kita hanya akan menjadi tuyang-tuyang.
Opini Lampung Post 20 September 2010