19 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Andai Saya Jaksa Agung

Andai Saya Jaksa Agung

SEBAGAI negara hukum, figur jaksa agung (jakgung) adalah key person yang menentukan citra negara. Namun sangat disayangkan kesadaran ini masih begitu dangkal. Hal ini dapat dilihat dari figur yang diangkat seolah-olah hanya menjadi kelengkapan dari struktur birokrasi negara, bahkan lebih tragis lagi belakangan hanya menjadi aksesori pencitraan penguasa. Itulah sebabnya sangat jarang dijumpai jakgung yang berani mengambil risiko berseberangan dengan orientasi kekuasaan politik yang mengangkatnya.


Dalam perspektif birokrasi, patologi birokrasi Kejaksaan sudah memasuki stadium terminal, padahal tanggung jawab yang diemban sangat berat. Tentu saja bukan pekerjaan mudah untuk melakukan reformasi birokrasi Kejaksaan. Karena itu, seandainya menjadi jaksa agung saya akan mengambil risiko dengan membuat terobosan sebagai berikut:

Revitalisasi doktrin: sejatinya doktrin kejaksaan adalah satu (een en ondelbaar) sudah dimaknai sedemikian jauh menyimpang, hal ini dapat dilihat dari konvensionalitas birokrasi yang dikembangkan dengan karakternya yang birokratis, sentralistik, menganut pertanggungjawaban hierarkis dan berlaku sistem komando.  Seolah-olah demi doktrin ini segala bentuk penyimpangan birokrasi termasuk intervensi dapat dilakukan dengan mengatasnamakan kebijakan pimpinan.

Hentikan beban birokrasi: struktur birokrasi kejaksaan yang hierarkis ternyata juga menciptakan peluang munculnya beban birokrasi di luar kebijakan pengendalian penanganan perkara, struktur yang lebih atas memberikan beban kepada struktur di bawahnya, dan struktur di bawahnya wajib memenuhi beban birokrasi tersebut. Sangat disayangkan beban ini justru menjadi salah satu parameter utama penilaian loyalitas bawahan kepada atasan.

Dalam kondisi ini, birokrat di level bawah berlomba menerjemahkan beban birokrasi ini dengan pengertiannya sendiri-sendiri yang bermuara pada hal-hal yang cenderung koruptif.
Rasionalisasi anggaran: sampai dengan saat ini kejaksaan tidak terbuka kepada publik, bahwa sebagian besar penanganan perkara pidana dilaksanakan tanpa ada anggarannya.

Penanganan perkara tanpa didukung anggaran memadai dapat dipastikan menimbulkan side effect yang cenderung mengesampingkan nilai-nilai keadilan, karena sebagian dari nilai keadilan itu dinegosiasikan untuk subsidi silang penanganan perkara. Jaksa agung harus berani terbuka kepada publik dan berjuang di DPR untuk rasionalisasi anggaran guna menghindari kemungkinan membebani pihak ketiga yang berkepentingan untuk menutupi biaya operasional yang tidak rasional itu.

Bergaya Lama

Kelayakan gaji: bahwa benar tingginya gaji tidak menjamin jaksa terbebas dari perilaku korup, karena korupsi bisa disebabkan karena kerakusan (by greek) dan ada yang karena kebutuhan (by need). Itulah sebabnya meskipun gaji jaksa kecil, ada juga sebagian di antaranya yang hidup dengan gaya wah. Namun dapat dipastikan bahwa yang sebagian ini mendapatkan penghasilan lain.

Akselerasi regenerasi: kebijakan ini seolah-olah memang terlalu ekstrem, namun cobalah perhatikan persoalan internal birokrasi Kejaksaan. Seolah-olah regenerasi itu mengalami kemandekan, bahkan cenderung terjadi penyumbatan dengan fenomena bottle neck.  Paramater kompetensi yang seharusnya menjadi parameter promosi, sepertinya ditukar dengan parameter senioritas, kedekatan, dan jaringan.
Meskipun publik menghendaki perubahan cepat, nyatanya Kejaksaan meresponsnya dengan sangat lambat. Meskipun rezim pemerintahan telah berganti, mindset pemegang posisi-posisi kunci tetap bergaya lama. Pertanyaannya apa salahnya memberi kesempatan kepada yang muda dalam jabatan strategis?

Depolitisasi kejaksaan: bukan rahasia lagi, bahwa penanganan perkara khususnya yang melibatkan pemegang kekuasaan sering diwarnai dengan masuknya kepentingan politik, mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan upaya hukum, serta eksekusi. Fenomena intervensi kepentingan politik ini muncul di ke permukaan dalam bentuk tebang pilih penanganan perkara, diskriminasi penetapan tersangka, pembatasan ruang lingkup penanganan perkara, disparitas pengajuan tuntutan pidana dan lain-lain.

Desentralisasi kebijakan: salah satu problem yang menyebabkan lambannya penanganan perkara disebabkan terlalu sentralistiknya kebijakan pengendalian penanganan itu. Jadi, jaksa seperti tidak memiliki otoritas menentukan sendiri perkara yang ditanganinya, bahkan untuk sekadar membacakan tuntutan pidana, harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan secara berjenjang. Hari gini, jaksa agung tidak berani?

— Doktor Yudi Kristiana SH MHum, jaksa, pengajar Program Pascasarjana UNS. Tulisan ini pendapat pribadi 
Opini Suara Merdeka 20 September 2010