Buta aksara adalah keadaan ketika orang tidak mampu membaca dan menulis. Padahal, keduanya merupakan jendela untuk melihat dunia. Artinya, jika orang bisa membaca, dia melihat dunia baru dan segala perkembangannya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta teknologi informasi (TI). Akibat banyaknya penderita buta aksara, majalah Time pada 2007 lalu, melabeli kita sebagai bangsa yang tidak punya pengaruh atau kurang diperhitungkan dalam kancah hubungan internasional. Indonesia, tulis Time, bahkan tertinggal jauh tidak saja dari negara-negara maju Asia seperti Jepang, Singapura, Malaysia, dan sebagainya, tapi juga tertinggal dari negara-negara pendatang baru seperti Vietnam, Laos, bahkan Kamboja. Julukan sebagai bangsa tertinggal dan tidak punya pengaruh memang menyakitkan!
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, penderita buta aksara berjumlah 15,4 juta, dengan perbandingan laki-laki 5,8% dan perempuan 12,3%. Setahun kemudian (tahun 2008), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), menyebutkan jumlah penderita buta aksara mencapai 10,1 juta orang. Menurut Depdiknas, tahun 2008 memang ada sedikit penurunan penderita buta aksara sebanyak 1,7 juta orang, jika dibandingkan dengan tahun 2007 (11,8 juta orang). Namun, BPS sendiri belum mengeluarkan data resmi mengenai adanya penurunan penderita buta aksara itu.
Data mutakhir yang dirilis Direktorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas, 2010), angka penderita buta aksara saat ini mencapai 8,4 juta jiwa. Sekitar 65% atau 5,46 juta jiwa di antaranya adalah kaum perempuan dengan usia rata-rata di atas 40 tahun. Menurut Dirjen PNFI, Dr Hamid Muhammad Phd (2010), setiap tahun, 880 ribu anak Indonesia berpotensi buta aksara. Jumlah tersebut berasal dari daerah terpencil sekitar 300 ribu anak, dan 580 ribu atau 1,7% dari 1,29 juta anak-anak SD yang putus sekolah antara kelas 1 dan 3, tutur Dr Hamid Muhammad Phd.
Jika dilihat dari grafik penyebaran penderita buta aksara, perbedaan antara desa dan kota amat mencolok. Di kawasan perkotaan, jumlah penderita buta aksara hanya sekitar 4,9%. Sementara di daerah perdesaan, jumlahnya bisa mencapai lebih dari 12,2%. Dari grafik penyebaran itu bisa ditarik kesimpulan bahwa sampai saat ini desa masih tetap menjadi penyumbang utama jumlah penderita buta aksara.
Komoditas politik
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam menyikapi persoalan buta aksara. Sejak tahun 1945 melalui bagian pendidikan masyarakat, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, pemerintah melakukan gerakan ‘melek’ aksara, yang dikenal dengan nama Pemberantasan Buta Huruf (PBH) atau Kursus ABC. Tahun 1951 pemerintah menyusun rencana Sepuluh Tahun PBH, dengan harapan buta aksara akan selesai dalam jangka waktu 10 tahun. Keadaan itu membuat gerah Presiden Soekarno, dan pada tahun itu juga presiden mengeluarkan komando untuk menuntaskan buta huruf sampai 1964.
Pada 1966, digulirkan kembali PBH fungsional. PBH saat itu dibagi dalam tiga tahapan, yakni PBH permulaan, PBH lanjutan I, dan PBH lanjutan II. Bahan belajar PBH permulaan menggunakan buku kecil Petani Belajar Membaca yang diselesaikan 20-30 hari. Selanjutnya, mulai 1970-an dirintis program Kejar Paket A, yaitu program PBH dengan menggunakan bahan belajar Paket A yang terdiri atas Paket A1 sampai A100. Hingga tahun 1995, program PBH masih terus dilakukan di sembilan provinsi dengan memperbaiki sistem pelatihan, metodologi pembelajaran, dan sistem penyelenggaraannya. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa program PBH yang dilakukan pemerintah dari masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, belum optimal menekan kenaikan angka penderita buta aksara? Lantas, langkah strategis seperti apa yang efektif untuk menekan laju peningkatan penderita buta aksara?
Jika kita cermati dengan saksama, ketidakberhasilan program PBH yang dilakukan pemerintah dari masa ke masa itu, disebabkan beberapa hal. Pertama, program yang dilakukan tidak pernah tuntas, bahkan sekadar tambal sulam. Itu dapat dilihat dari budaya ganti rezim ganti pula programnya, sehingga menimbulkan diskontinuitas. Kedua, setiap komponen tidak bekerja secara sinergis dan dengan visi yang sama. Akibatnya, program tidak bisa berjalan efektif, karena tidak jelas ujung pangkalnya.
Menurut Paulo Freire (1999), persoalan buta aksara sejatinya bertalian erat dengan aspek politik, pendidikan, dan sistem budaya masyarakat. Meski demikian, aspek politik memiliki pengaruh sangat kuat sekaligus sebagai kunci utama. Itu karena politik lebih sering menjadikan problem buta huruf sebagai komoditas kampanye, yang mampu menarik dukungan rakyat di samping kemiskinan. Sebagai isu yang sensitif, buta huruf akan menutupi kualitas, kredibilitas atau kubu asal calon. Singkatnya, asal mengusung isu atau tema-tema itu, rakyat sudah pasti akan mendukung. Fakta itu dapat kita lihat pada rekam jejak beberapa kandidat capres yang maju pada Pilpres 2009. Mereka juga menggunakan isu buta huruf dan kemiskinan sebagai kendaraan utamanya.
Kembali ke desa
Sebelum generasi mendatang tenggelam dalam kebodohan, dan sebelum bangsa ini semakin tertinggal, buta aksara harus segera dihilangkan. Melalui momentum peringatan Hari Aksara tahun ini, segenap pihak perlu bekerja sama dalam merumuskan strategi dan formula efektif mengentaskan masyarakat dari buta aksara. Strategi ini harus bersifat holistis dan sinergis, antara aspek politik, pendidikan, dan sistem kebudayaan masyarakat. Artinya, selain paralel dengan pemberdayaan masyarakat, pemberantasan buta aksara juga harus dilaksanakan secara sinergis dengan upaya mendorong kesadaran membangun sektor produktif, misalnya melalui gerakan pembangunan sektor riil.
Strategi demikian, sejatinya memiliki kesesuaian dengan langkah Presiden Yudhoyono, khususnya dalam Inpres No 5 Tahun 2006 lalu. Inpres ini di antaranya berisi pernyataan bahwa pemberantasan buta aksara dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan politik (vertikal) dan horizontal, mulai dari presiden, menteri terkait, gubernur, wali kota/bupati, camat, sampai kepala desa. Adapun pendekatan horizontal, dilakukan dengan melibatkan berbagai organisasi kebudayaan, LSM, ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Peran serta organisasi sosial keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Muhammadiyah dan NU dapat bekerja sama dengan organisasi otonomnya seperti Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dahulu Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Fatayat NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan seterusnya. Program kerjanya dapat dilakukan melalui pimpinan ranting dan pimpinan cabang. Kelompok-kelompok pengajian yang selama ini ada dapat dijadikan modal untuk pendidikan membaca dan menulis. Mereka mudah tergerakkan atau tersadarkan oleh ikatan emosional ormas. Contoh yang dilakukan Muhammadiyah dengan mengadakan Program Keaksaraan Fungsional Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional, di Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lain baik di Jawa maupun luar Jawa, adalah salah satu inisiatif yang perlu diperluas dan dikembangkan secara terus-menerus.
Pengaktifan kembali pusat-pusat pembelajaran dan perpustakaan di desa juga penting. Pusat pembelajaran yang dahulu dibina melalui dasawisma sudah saatnya menjadi penyokong sekaligus ujung tombak pemberantasan buta aksara. Perpustakaan desa yang menurut data Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal berjumlah 5.552 sudah saatnya dikembangkan dan ditingkatkan hingga mencapai 70.611 atau seluruh desa di Indonesia. Program ini lebih mempunyai nilai dan makna daripada pemerintah susah payah membuat taman bacaan masyarakat di mal. Selain lebih merakyat, program ‘perpustakaan masuk desa’ dapat mempercepat proses pemberantasan buta aksara.
Dengan semakin meningkatnya tingkat melek huruf di desa, beberapa target Millennium Development Goals (MDGs) akan segera tercapai, yaitu menghapus tingkat kemiskinan dan kelaparan serta mencapai pendidikan dasar secara universal pada 2015. Dengan demikian baik pemerintah maupun masyarakat mempunyai kewajiban yang sama dalam memberantas buta aksara dengan turut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya dukungan dan kesadaran dari seluruh anggota masyarakat, penyakit sosial ini akan semakin parah dan akan menelan banyak korban.
Oleh Agus Wibowo dan Benny Setiawan
Pemerhati Pendidikan, tinggal di Yogyakarta
OPini Media Indonesia 20 September 2010