Pernyataan Riot lahir menyikapi berlarutnya negosiasi batas perairan dengan RI. Negosiasi sudah berjalan enam belas kali. Pihak kita pun melihat negosiasi batas perairan ini akan berlangsung lama. Menteri Luar Negeri Marty Natalagewa mengungkapkan, negosiasi garis batas bisa memakan waktu 5-32 tahun (Kompas, 4/9).
Penyelesaian di ICJ adalah penyelesaian secara hukum. Penyelesaian ini adalah salah satu alternatif yang kedua pihak dapat tempuh. Penyelesaiannya berada di tangan 15 hakim ICJ.
Penyelesaian ke ICJ harus berdasarkan kesepakatan para pihak. Kesepakatan harus tertulis. Para pihak pun harus anggota PBB. RI dan Malaysia memenuhi syarat ini. Kedua pihak sebelumnya pernah menyerahkan sengketa status kepemilikan kepulauan Sipadan-Ligitan kepada ICJ.
Malaysia pernah pula menggunakan jasa ICJ untuk menentukan status kepemilikan pulau Batu Puteh dengan Singapura. Dalam sengketa ini, ICJ memenang Singapura.
Masalahnya adalah berdasarkan pengalaman dengan Malaysia dalam sengketa Sipadan-Ligitan, apakah kita siap menyelesaikan soal batas perairan dengan Malaysia di Den Haag? Menurut Marty, agenda perbatasan dengan Malaysia mencakup segmen Selat Malaka, segmen Selat Singapura, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi. Soal perairan tempat terjadinya penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan, para pihak sepakat akan membahasnya secara khusus.
ICJ sebagai badan peradilan di bawah PBB yang termuat dalam Piagam PBB sebagai badan peradilan internasional khusus PBB. Sejak berdiri tahun 1946 hingga sekarang, reputasi ICJ tidak diragukan lagi. Hakim-hakimnya adalah ahli hukum internasional yang ternama di dunia.
Piagam PBB memberi alternatif penyelesaian sengketa lain di samping ICJ. Pasal 33 Piagam PBB menyebutkan, para pihak yang bersengketa harus terlebih dahulu menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui badan regional, penyelesaian melalui hukum (misalnya ICJ), atau cara-cara penyelesaian damai lainnya yang para pihak sepakati.
Pasal 33 Piagam PBB menyebut penyelesaian secara hukum merupakan langkah yang berada pada urutan ke-7. Piagam PBB menempatkan negosiasi pada urutan pertama!
Artinya, kalau negosiasi secara langsung para pihak gagal, masih ada cara penyelesaian selanjutnya, yaitu penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui organisasi regional (misalnya ASEAN), atau cara-cara damai lainnya yang para pihak setujui.
Karena itu, menanggapi sinyal Deputi Menteri Luar Negeri di atas, seyogianya kita tidak terpancing. Masih ada cara-cara lain yang para pihak dapat pilih bila negosiasi gagal.
Pasal 33 Piagam PBB tidak menyebut langkah-langkah penyelesaian sengketa. Piagam tidak juga memberi arahan bagaimana atau kapan langkah penyelesaian mediasi, penyelidikan, konsiliasi, dan seterusnya ditempuh.
Instrumen hukum internasional yang memberi solusi mengenai langkah penyelesaian sengketa yang para pihak dapat tempuh ada dalam instrumen hukum penyelesaian sengketa WTO, yaitu Dispute Settlement Understanding (DSU).
Pasal 3 DSU memberi pengaturan cukup jelas kepada pihak yang bersengketa. DSU mengingatkan, pertama, bahwa sebelum mengambil langkah atau tindakan hukum tertentu, pihak yang bersengketa harus memastikan terlebih dahulu apakah langkah yang akan diambil akan berhasil.
Kedua, DSU mengungkapkan bahwa untuk menyelesaikan suatu sengketa, yang terpenting adalah menghasilkan suatu penyelesaian yang positif (positive solution). Maksudnya, penyelesaian sengketa harus membawa dampak baik, positif bagi para pihak. Artinya, pihak yang menang mendapatkan putusan yang efektif.
Ketiga, DSU mengingatkan bahwa penyelesaian sengketa yang langsung diselesaikan oleh para pihak adalah penyelesaian sengketa yang disukai.
Dari tiga tolok ukur di atas, penyelesaian yang berhasil, positif, dan penyelesaian langsung para pihak mengisyaratkan pertanyaan penting: apakah sumber daya manusia (SDM) kita sudah menguasai permasalahan hukum dengan baik, baik substansinya maupun hukum acaranya (formil).
Belum banyak sarjana hukum kita di perguruan tinggi yang mendalami kedua bidang ini. Pendidikan hukum kita masih dididik secara kontinental. Pendidikan hukum model common law atau anglo saxon, pendidikan hukum yang mendasarkan pada case law, studi kasus, masih belum menjadi kurikulum utama di Tanah Air.
Selain itu, masalah klasik di negara berkembang umumnya, termasuk kita, adalah lemahnya dokumentasi atau kearsipan. Kita masih harus belajar untuk menghargai arti penting kearsipan ini. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, kita sempat kewalahan dalam mencari arsip, peta lama, untuk mendukung posisi kita di ICJ.
Lagi pula, sengketa di hadapan badan peradilan luar negeri, termasuk ICJ di Den Haag, tidaklah murah. Mau tidak mau, siap tidak siap, kita masih perlu menyewa pengacara asing. Biaya untuk ini, transportasi, akomodasi, penelitian, dan sebagainya tidak murah.
Karena itu, cara yang tampaknya laik dan cocok untuk dilakukan adalah terus menempuh cara negosiasi. Harapan kita pada Kementerian Luar Negeri beserta instansi terkait, termasuk kalau perlu perguruan tinggi, sangat diharapkan.