Syarief Makhya
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
Bupati/wali kota di Lampung yang terpilih pada Pilkada 2010 di lima kabupatern/kota sudah dilantik dan mereka siap melaksanakan dan mempertanggungjawabkan komitmen politik kepada rakyatnya pada lima tahun ke depan. Di beberapa daerah tersebut, yaitu Kota Bandar Lampung, Metro, Pesawaran, Lampung Selatan, Way Kanan, dan Kabupaten Lampung Timur memiliki keunikan masalah-masalah yang berbeda.
Way Kanan dihadapkan pada persoalan isu kemiskinan dan infrastruktur, Kota Bandar Lampung yang menjadi isu pokok kemacetan lalu lintas, kesemrawutatan tata ruang, dan pelayanan publik yang masih belum memuaskan masyarakat. Lamsel ditinggalkan bupati sebelumnya defisit anggaran hampir 50 miliar, juga persoalan kemiskinan dan infrastruktur menjadi persoalan serius.
Lamtim masalah infrastruktur, kemiskinan, dan masalah keamanan belum teratasi dengan baik. Kabupaten Pesawaran, sebagai daerah otonomi baru, memiliki agenda utama yang harus segera dilaksanakan, yaitu menggali potensi PAD, membangun gedung perkantoran dan menyiapkan pelayanan publik kepada masyarakat secara memuaskan.
Mampukah para bupati/wali kota yang baru terpilih tersebut menyelesaikan sejumlah persoalan yang menjadi isu utama di daerahnya? Fakta selama ini ternyata tidak mudah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Isu kemiskinan dan keterbelakangan di Way Kanan, Lamtim, dan Lamsel dalam dua periode kepemimpinan ternyata tidak bisa diatasi. Sementara itu, hal yang sama persoalan kemacetan lalu lintas di Bandar Lampung, kesemrawutan tata ruang juga tidak bisa diatasi secara baik.
Dengan fakta demikian, menjadi aneh dan sangat mengherankan kalau kemudian para bupati/wali kota yang memiliki modal politik yang sangat kuat untuk melakukan tindakan-tindakan yang nyata terhadap masalah-masalah publik yang ada di lingkungannya ternyata gagal.
Modal Politik
Para bupati/wali kota memiliki modal politik yang sangat kuat untuk mengefektifkan tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakannya dalam rangka memecahkan problema publik yang mereka hadapai. Modal politik adalah pendayagunaan keseluruhan jenis modal yang dimiliki seorang pelaku politik atau sebuah lembaga politik untuk menghasilkan tindakan politik yang menguntungkan atau memperkuat posisi politiknya (Casey, 2006).
Setidak-tidaknya ada empat faktor yang memperkuat modal politik para bupati/wali kota. Pertama, melalui pilkada langsung. Para bupati/walikota memiliki legitimasi dan kepercayaan yang kuat dari masyarakat. Kedua, bupati/wali kota sulit untuk dijatuhkan kecuali kalau melakukan tindakan korupsi. Ketiga, tidak ada konflik kelembagaan antara legistatif dan kepala daerah, sehingga stabilitas pemerintahan sangat terjaga. Keempat, bupati/wali kota memiliki kewenangan dan kekuasaan yang powerfull untuk mengelola pemerintahan.
Dengan demikian, dengan modal politik yang dimilikinya, sebenarnya tidak ada alasan bagi bupati/wali kota untuk mengelola pemerintahan dengan baik. Namun, dalam realitasnya modal politik yang mereka miliki justru tidak digunakan untuk membuat kebijakan kebijakan yang prorakyat dan memecahkan persoalan publik yang dihadapinya.
Ada kecenderungan modal politik yang dimiliki para bupati/wali kota justru disalahgunakan untuk kepentingan memperkaya diri atau diselewengkan untuk kepentingan politik lain.
Kasus yang menimpa mantan Bupati Lampung Tengah dalam kasus dana Tripanca, fenomena pemborosan anggaran APBD untuk tujuan kepentingan politik tertentu, defisit anggaran hampir mendekati 50 miliar di Kabupaten Lamsel sebagai peninggalan bupati sebelumnya, atau potret pemerintahan yang hanya berjalan di tempat dan cenderung rutinitas menunjukkan modal politik yang dimiliki bupati/wali kota telah disalahgunakan sehingga hanya menguntungkan dirinya atau sekelompok orang yang ada di lingkungannya.
Oleh sebab itu, wajar jika kemudian munculnya persepsi negatif masyarakat terhadap kepemimpinan kepala daerah lewat komentar publik melalui Facebook atau keluhan, pengaduan, dan kritik melalui SMS center.
Mengapa Tidak Efektif?
Problem mendasar mengapa para bupati/wali kota tidak mengefektifkan modal politiknya untuk kepentingan memajukan dan menyejahterakan masyarakatnya yaitu karena kepala daerah masih mengedepankan gaya kepemimpinan yang larut dalam kultur birokrasi pemerintah yang cenderung kaku dan konspiratif sehingga relasi kepala daerah dengan birokrasi cenderung tidak memiliki orientasi untuk melakukan perubahan yang mendasar untuk memajukan daerah dan masyarakatnya.
Faktor lain, janji kampanye pada pilkada tidak fokus untuk dilaksanakan dan tidak ada komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Sehingga praktek penyelenggaraan pemerintahan cenderung rutinitas dan tidak memiliki target kinerja yang akan dicapai. Akhirnya masih kuatnya pengaruh aktor-aktor informal yang memiliki hubungan yang intim dengan kepala daerah dengan tujuan untuk mencari keuntungan.
Semoga kepala daerah yang baru dilantik di enam kabupaten/kota di Lampung bisa melepaskan diri dari problem mendasar ketidakefektifan modal politik yang dimilikinya. Sehingga keberadaan kepala daerah yang baru bisa memanfaatkan kekuatan modal politiknya untuk membangun daerah dan menyejahtrakan masyarakatnya.
Opini Lampung Post 20 September 2010