Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung
Dai sejuta umat K.H. Zainuddin M.Z., dalam ceramah agamanya pernah memberikan ilustrasi berupa pertanyaan; Mengapa ikan yang bertahun-tahun berenang di laut tidak terbawa asin? Jawaban singkatnya adalah karena ikan-ikan tersebut hidup. Lain halnya dengan ikan mati yang mudah berubah rasa, tergantung pada kondisi yang memengaruhinya. Misalnya dikasih garam menjadi asin, dan dicampur asam menjadi asam, dsb.
Melalui takbir di atas, sang dai sesungguhnya ingin memberikan sebuah gambaran tentang sikap dan perilaku kebanyakan muslim saat ini sehingga ia mengibaratkannya seperti ikan mati yang mudah terpengaruh pada lingkungan tertentu. Pernyataan tersebut sangatlah logis jika kita korelasikan dengan kondisi psiokologis ummat Islam kini. Pasalnya, Islam yang begitu konsen dan sistematis dalam memberikan pengajaran terhadap bagaimana membangun hubungan vertikal dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan horizontal dengan manusia (hablum minanas) sejatinya belum dapat diimplementasikan secara kafah (menyeluruh) oleh pengikutnya.
Realitanya, orang-orang Islam sendiri, semakin hari seolah semakin kehilangan jati dirinya. Pijakan dasar yang dibangun tampaknya nyaris keluar dari koridornya. Padahal, kedua bentuk hubungan tersebut di atas sudah termaktub secara universal dalam kitab-Nya Alquran, yang kemudian diperinci secara detail dalam Hadis. Sebagaimana pada permulaan surah, Allah berfirman yang artinya: “Kitab ini (Alquran) tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. (Q.S. Al Baqarah: 2)
Seperti Minoritas
Entah mengapa, kuantitas umat Islam yang konon hampir mencapai sembilan puluh persen dari populasi rakyat Indonesia sepertinya tidak berbanding lurus dengan kontribusi kualitas kehidupan yang ada. Perilaku muslim dewasa ini, sedikit banyaknya telah berkiblat pada kelompok minoritas yang tak jelas ke mana arah tujuannya. Jika kita mau setia mengikuti petunjuk Alquran dan Hadis, jaminan kebahagiaan itu telah pasti adanya.
Muhammad Tholhah Hasan (2000) mengutarakan ajaran Islam pada prinsipnya selalu mengacu pada: Pembentukan pribadi-pribadi yang bersih, religius, dan etis. Mewujudkan kemaslahatan umum, menegakkan keadilan dalam masyarakat, dan menghormati martabat kemanusiaan.
Pembentukan pribadi yang bersih, tentunya tidak sekadar bersih secara fisik semata. Membersihkan hati dari debu kotoran dan noda hitam kemaksiatan, jauh lebih baik dibandingkan dengan sibuk mempercantik diri dari penyakit jasmani. Karena hati menurut orang bijak, laksana cermin. Jika kita terlambat membersihkannya, akan tampak sisa-sisa debu yang tidak mudah menghilangkannya.
Mewujudkan kemaslahatan umum dapat dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip kebersamaan. Dalam salah satu Hadistnya, Rasulullah pernah menggambarkan bahwa muslim satu dengan muslim lainnya ibarat bangunan yang saling menguatkan. Jika bangunan yang diperkuat merujuk pada persatuan (tauhid) akidah Islamiyyah, kita akan menyaksikan indahnya negeri yang damai, sejahtera, dan sentosa. Bukan negeri kacau balau, sebagaimana yang kita lihat hari ini.
Menegakkan keadilan dalam masyarakat bisa diawali dari pendidikan keluarga yang demokratis. Orang tua harus berupaya mendidik anak-anakanya memiliki tanggung jawab dalam hidupnya. Berlaku adil terhadap anak-anaknya, serta menanamkan nilai yang relevan untuk bisa membina hubungan di sekitarnya. Begitu juga dengan variabel lain yang ikut memengaruhi perkembangan peradaban Islam.
Dalam Semiloka Prakongres Umat Islam Indonesia ke-5 belum lama ini, pakar hukum Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan hukum dan nilai hukum Islam mestinya banyak berkontribusi dan diadopsi dalam pengembangan hukum nasional di Indonesia.
Sebab, sangat banyak hukum dan nilai hukum Islam yang cukup baik untuk mendukung kehidupan bermasyarakat. Jimly menambahkan saat ini nilai hukum Islam baru berlaku pada kategori hukum privat bagi masyarakat muslim. Seperti; Undang-Undang Zakat, Wakaf, dan Undang-Undang Perkawinan. Padahal, di antara hukum publik yang bisa diwarnai hukum Islam, adalah UU Kelistrikan dan UU Perpajakan. Persoalannya, bahwa kedua undang-undang tersebut hendaknya tak hanya didasarkan pengetahuan Barat semata, tetapi perlu pertimbangan hukum Islam. (Republika, [8-4]).
Implementasi Rukun Islam
Adalah implementasi rukun Islam secara benar sebagai solusi dalam merekonstruksi nilai-nilai keislaman menuju peradaban yang lebih maju. Kesaksian kita di hadapan Allah, sesungguhnya tidak diaplikasikan sebagai kegiatan ritual semata. Salat kita, puasa kita, zakat kita, dan haji kita, akan bermakna luas dalam hubungannya dengan peradaban, sebagaimana yang telah diajarkan pada masa Rasulullah dan para sahabatnya.
Namun kenyataannya berbeda, pelaksanaan ibadah kita selama ini belum kuasa membidani nilai peradaban secara benar. Salat yang sedianya mampu mencegah perbuatan keji dan munkar, masih terhalangi oleh kekuatan nafsu yang tak terkendali. Ibadah haji yang dilaksanakan oleh sebagian saudara kita, hanya menjadi tren bagi kalangan mampu (the have) semata. Bahkan, lebih ironinya lagi, mereka yang melakukan kejahatan publik seperti korupsi dan markus, tak lain adalah orang Islam yang mengaku beriman.
Alhasil, peradaban itu akan naik dan maju, ketika yang dijadikan nilai dalam kehidupan kita adalah nilai mulia. Nilai mulia yang paling besar adalah agama. Menilik sejarah pada masa Rasul dan khulafaur rasyidin, semua bernilai Ilahiah. Maka menjadi praktis kemudian, jika peradabannya sangat tinggi. Peradaban akan stagnan dan jalan di tempat kalau kehidupan kita didominasi oleh nilai materialisme yang hanya mengejar pencapaian material.
Puisi Arab mengatakan: Zamaanuna ka-ahlihi, wa ahluhu kamaa tara’, wa sayruhu ka-ahlihi, ilal wara’ ilal wara’. Zaman kita ini seperti penduduknya. Penduduknya yang engkau lihat. Perjalanan dan penduduknya juga sama. Semakin mundur dan mundur. Wallahualam.
Opini Lampung 4 Juni 2010