03 Juni 2010

» Home » Kompas » Jepang Pasca-Hatoyama

Jepang Pasca-Hatoyama

Mundurnya Yukio Hatoyama dari kursi perdana menteri memperpanjang episode pergantian kepemimpinan yang ”rutin” terjadi di Jepang empat tahun terakhir.
Hatoyama mundur setelah popularitasnya menurun drastis akibat keputusannya mempertahankan pangkalan militer AS di Okinawa. Dalam kampanye tahun lalu, Hatoyama berjanji akan memindahkan pangkalan militer AS ke luar Pulau Okinawa, kalau perlu ke luar wilayah Jepang. Namun, ketegangan antar-dua Korea dan makin aktifnya angkatan laut China menjadi dasar Hatoyama mempertahankan pangkalan AS di Okinawa.
Lewat pemilu majelis rendah Agustus 2009, Hatoyama bersama partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat Jepang (DPJ), menyingkirkan Partai Demokratik Liberal (LDP) yang telah berkuasa 55 tahun. Pengunduran diri Hatoyama membuat masa depan DPJ dan politik Jepang dalam tanda tanya besar.


Selain Hatoyama yang dikritik tidak konsisten, Ichiro Ozawa— dikenal sebagai king maker dan ahli strategi pemenangan pemilu—juga mundur sebagai Sekretaris Jenderal DPJ. Sorotan publik pada Ozawa meningkat sejak terungkapnya skandal pendanaan politik sehingga tiga mantan pembantu Ozawa diadili. Skandal ini turut memperlemah kepercayaan publik kepada DPJ yang mengampanyekan good governance dan transparansi sebagai salah satu agenda politiknya.
Kompleksitas masalah
Ketidakpuasan publik juga dipicu ketidakjelasan visi dan arah pembangunan ekonomi pemerintahan Hatoyama. Berasal dari keluarga mapan, Hatoyama dinilai tidak dapat memecahkan persoalan riil masyarakat Jepang, terutama
meningkatnya rasa tidak aman sosial-ekonomi akibat liberalisasi ekonomi pemerintahan LDP dua dekade terakhir, berpuncak pada masa PM Junichiro Koizumi yang pro-bisnis.
Selama ini, isu-isu populis menjadi daya tarik DPJ. Dalam kampanyenya, Hatoyama dan para tokoh DPJ mengumandangkan slogan ”Putting People’s Lives First” dalam bentuk kebijakan-kebijakan konkret, antara lain memberikan tunjangan bulanan 26.000 yen kepada setiap anak di Jepang. Namun, dengan alasan pengetatan anggaran Hatoyama memotong separuhnya menjadi 13.000 yen.
Sampai dekade 1980-an, Jepang terkenal dengan sistem kerja seumur hidup dan hubungan harmonis antara pengusaha dan pekerja. Meningkatnya arus globalisasi dan munculnya pesaing ekonomi seperti Korsel dan China memaksa sektor swasta Jepang berubah. Saat ini, lebih dari 17 juta pekerja di Jepang masuk kategori pekerja tidak tetap (irregular workers), dengan hak-hak dan fasilitas yang jauh berbeda dibanding pekerja tetap (full time workers). Itu berarti, 34 persen dari total angkatan kerja, meningkat dari 25 persen pada 1999 dan 15 persen pada 1984.
Pemerintahan Hatoyama berusaha membela kalangan pekerja tidak tetap dengan mengajukan rencana undang-undang yang melarang sistem borongan (dispatch labour) dan kontrak kerja sehari (one-day contracts) di sektor manufaktur.
Inisiatif Hatoyama disambut dingin kalangan pebisnis ataupun pekerja karena dinilai hanya meningkatkan angka pengangguran. Kalangan bisnis merasa tetap dapat mencegah peningkatan full time workers dengan memperbesar jumlah pekerja sub-kontrak (sub-contract workers) dengan hak dan perlindungan kerja lebih minimal.
Pasca-Hatoyama
Ironisnya, pengunduran diri Hatoyama terjadi saat indikator ekonomi makro Jepang menunjukkan angka mencengangkan. Pertumbuhan ekonomi tahunan dalam triwulan pertama tahun 2010 mencapai 4,9 persen, melampaui angka pertumbuhan ekonomi masa Koizumi yang berkisar 3 persen. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi minus 15,9 persen dalam triwulan I-2009, ini jelas merupakan kemajuan fenomenal.
Namun, masyarakat Jepang tahu, peningkatan pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh pemulihan kembali permintaan ekspor produk manufaktur Jepang seiring pulihnya ekonomi global dari krisis, bukan karena kerja keras Hatoyama.
Menurunnya popularitas DPJ dalam waktu kurang dari setahun dikhawatirkan akan memperpanjang ketidakpastian politik. Meski mengontrol suara mayoritas dalam majelis rendah, kemungkinan gagalnya DPJ mempertahankan mayoritas suara di majelis tinggi dalam pemilu 11 Juli mendatang akan berdampak luas, termasuk terhambatnya rencana kebijakan fiskal yang sedang dirancang pemerintahan DPJ untuk mengurangi porsi utang pemerintah jangka panjang.
Seperti yang dihadapi Barack Obama di AS, platform politik DPJ yang populis melahirkan konsekuensi peningkatan belanja pemerintah, yang banyak dibiayai utang dari pasar finansial. Menggunungnya utang Pemerintah Jepang yang mencapai lebih dari 200 persen dari GDP memerlukan pemecahan mendesak di tengah kemungkinan ancaman perluasan krisis utang Yunani.
Seperti kebanyakan negara maju yang terhantam krisis global, Jepang telah mengalirkan uang ke sektor finansial untuk mencegah memburuknya ekonomi. Meski dinilai berhasil menstabilkan pasar dan mendorong pemulihan ekonomi, kondisi ini dapat berdampak buruk dalam jangka panjang. Tanpa reformasi fiskal yang cermat, rasio utang pemerintah terhadap GDP Jepang diprediksi menjadi 250 persen pada tahun 2015.
Itu semua memberikan gambaran, pengganti Hatoyama akan menghadapi permasalahan politik, ekonomi, dan sosial yang begitu kompleks. Tidak heran jika kelak ia akan turut memperpanjang daftar para pemimpin Jepang yang mundur di tengah masa jabatannya.
Syamsul Hadi Pengajar Ekonomi Politik Internasional di FISIP UI

Opini Kompas 4 Juni 2010