PADA Hari Lingkungan tahun ini kembali kita merenung tentang berbagai bencana yang melanda negeri ini. Banjir Sungai Citarum yang melanda Bandung Selatan serta Kota dan Kabupaten Karawang mengingatkan peristiwa serupa setahun lalu yang terjadi disepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo.
Pemicunya sama yakni kerusakan DAS. Sebanyak 78% dari 718.269 hektare luas total DAS Citarum merupakan hutan rakyat yang rusak karena berubah fungsi menjadi lahan pertanian semusim. Sementara itu dalam skala Pulau Jawa, lebih dari 80% atau 116 dari 141 DAS kondisinya memprihatinkan.
Kalau ditelusuri maka sumber bencana lingkungan adalah tata ruang yang amburadul dan tidak konsisten. Hal itu bisa dicermati dari dua sisi. Pertama; apakah dari awal memang pengalokasian ruang sesuai dengan kondisi lingkungan? Kedua; ketika sudah menjadi dokumen tata ruang apakah diimplementasikan sesuai dengan peruntukannya?
Umumnya tata ruang ditetapkan di belakang meja dan kurang melihat kondisi di lapangan. Penetapan peruntukan penggunaan ruang lebih banyak didasarkan atas kepentingan pertumbuhan ekonomi ketimbang pertimbangan sosial dan lingkungan.
Tata ruang yang menetapkan sebuah kawasan untuk industri misalnya sudah seharusnya dihitung benar daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Dua pertanyaan penting yang harus dijawab. Pertama; apakah lahan yang terbentang di kawasan tersebut mampu menopang kegiatan industri-industri yang akan menempati lokasi tersebut.
Kedua; apakah ketersediaan air yang selama ini untuk mensuplai kebutuhan air baku penduduk dan irigasi masih mencukupi untuk kebutuhan industri. Berkaitan dengan daya tampung lingkungan, harus dihitung kemampuan sungai untuk menampung buangan limbah kegiatan industri.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 15 mengamanatkan bahwa pemerintah dan pemda (provinsi, kota, dan kabupaten) wajib melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam penyusunan rencana tata ruangnya.
Kajian itu dimaksudkan untuk mengintegrasikan aspek lingkungan dalam pengambilan keputusan pada tahapan awal. Aspek lingkungan memandang bahwa tata ruang merupakan instrumen penting dalam kebijakan pembangunan. Bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor, abrasi, kekeringan yang terus menimpa negeri ini karena kegagalan penataan ruang.
Saat ini hampir semua pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota sedang merevisi tata ruangnya untuk diselaraskan dengan UU Nomor 26 Tahun 2007. Sayangnya penyusunan dilakukan terburu-buru karena hampir semua pemda menargetkan mengesahkanya tahun ini.
Penegakan Hukum
Kondisi ini membawa dua konsekuensi. Pertama; hampir bisa dipastikan tata ruang yang akan disahkan belum menjalankan amanat Undang Tata Ruang dan Lingkungan yakni memasukan aspek daya dukung, daya tampung, dan mengintegrasikan dengan KLHS.
Kedua; proses yang terburu-buru akan menegasikan peran serta masyarakat baik dalam arti keterwakilan ataupun muatan tata ruang yang seharusnya mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Terbatasnya peran serta masyarakat bisa kita lihat dari penolakan kelompok masyarakat di Kabupaten Pati atas draf tata ruang Provinsi Jawa Tengah (SM, 11/03/10).
Tentu kita perlu mencermati aspek kedua tata ruang yakni penegakan hukum. Ruang yang ditetapkan untuk peruntukan tertentu harus dikawal agar sesuai dengan yang direncanakan. Luasan hutan di DAS Citarum yang hanya 1,4% jelas melampaui daya dukung lingkungan. Tingginya sedimentasi, tingkat pencemaran yang terjadi di lebih dari 70% sungai di Jawa Tengah menjadi indikasi beban yang melebihi daya tampung. Semuanya terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Pelanggaran tata ruang sepertinya sudah lumrah terjadi di berbagai tempat.
Ruang yang sebenarnya direncanakan terbuka hijau dengan mudah berubah untuk peruntukan komersial. Contohnya Rencana Induk Kota (RIK) Semarang 1975-2000 menetapkan Mijen untuk perkebunan, peternakan, dan pertanian. Pertengahan 1980-an, belasan pengembang mulai menyulap hutan di daerah perluasan tersebut menjadi perumahan.
Alih fungsi lahan tersebut mengakibatkan daya serap tanah terhadap air terbatas. Air hujan menjadi run off (air larian) yang menggelontor ke Sungai Bringin dan mengakibatkan banjir di Mangunhardjo dan Mangkang Wetan, Kecamatan Tugu. Anehnya perubahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya disahkan dengan Perda Rencana Tata Ruang 1995-2000. (10)
— Sudharto P Hadi, dosen manajemen lingkungan Universitas Diponegoro
Wacana Suara Merdeka 4 Juni 2010