Kongres Partai Demokrat mencitrakan fenomena baru dalam dunia perpolitikan Indonesia. Harus dibuktikan apakah citra itu sesuai harapan rakyat. Paling tidak masyarakat yang mengikuti perkembangan politik praktis di Indonesia diberi harapan setelah sekian lama kecewa oleh perilaku partai-partai politik yang terkesan mengabaikan kepentingan rakyat maupun tujuan eksistensinya. Sebagai misal, betapa meluasnya keluhan tentang sistem pendidikan kita. Bagaimana mungkin status sosial kalangan bawah bisa terangkat bila pendidikan mereka tidak mendapat perhatian khusus? Rincian kelemahan sistem pendidikan tiap hari menjadi buah bibir mereka yang nelangsa, tapi partai-partai politik umumnya tidak banyak bicara.
Betapa pentingnya peran partai-partai politik sebenarnya sudah tersirat dalam Pembukaan UUD'45 yang menegaskan bahwa negara kita berkedaulatan rakyat. Artinya, haluan negara ditentukan rakyat. Untuk itu, rakyat menyalurkan aspirasi politiknya lewat partai-partai politik. Maka, struktur dan kehidupan politik mutlak memerlukan sistem kepartaian. Lacurnya, perwakilan rakyat sebagai penghimpun wakil-wakil partai politik, yang sedianya menampung aspirasi rakyat, sejauh ini belum sepenuhnya memenuhi harapan. Perkembangan politik, ekonomi, dan sosial-budaya belum merefleksikan aspirasi tersebut.
Datangnya generasi baru
Mengapa gagal? Miriam Budiardjo (alm) pada upacara penganugerahan doktor HC dalam ilmu politik dari UI, 13 Desember 1997, antara lain mengatakan, "Banyak hal yang dulu kita anggap kurang benar, sekarang kita anggap lumrah dan wajar-wajar saja. Pernah dikatakan oleh seorang pejabat (Siswono Yudohusodo, Kompas, 24 Oktober 1997) bahwa banyak penyimpangan yang telah berlangsung lama sudah dianggap sebagai peristiwa yang lumrah. Dalam hubungan ini, saya teringat akan suatu ucapan seorang sarjana politik, Peter H Merkle, bahwa politik mempunyai dua sisi, yang satu positif, yang lain negatif. Dikatakan, 'Politics at its best is a noble quest for a good order and justice. At its worst politics is a selfish grab for power, glory, and riches.'"
Sistem politik dengan dua sisi tersebut tetap berlaku hingga saat ini. Lacurnya, di Insdonesia sistem negatifnya terasa makin berat, yang antara lain mengakibatkan ketimpangan yang makin terjal dalam masyarakat. Pencanangan usaha mengganyang mafia hukum dan hiruk pikuk mafia yang berusaha membersihkan dan/atau mempertahankan diri bukan rahasia lagi bagi umum.
Kita memerlukan terobosan. Jika kita berbicara tentang aspirasi rakyat, terobosan itu tentunya harus tersalurkan lewat partai-partai politik yang wakil-wakilnya membangun perwakilan rakyat di sejumlah lembaga. Untuk itu, partai-partai politik dituntut mengadakan pembaruan yang memungkinkan terbinanya situasi yang ideal. Beranalogi dengan seruan 'ganyang mafia hukum', idealnya perlu ada seruan 'ganyang kebiasaan kadaluwarsa'. Antara lain, untuk itulah diperlukannya pemain-pemain baru dengan gagasan-gagasan segar yang sadar akan apa yang diharapkan dari mereka. Jangan malahan meniru kebiasaan angkatan lama yang terkesan haus harta dan kekuasaan. Harapan begini memang gampang diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Maka itu, datangnya angkatan baru perlu kita sambut dengan penuh harapan. Semoga estafet kepemimpinan dari yang tua ke yang muda di Partai Demokrat menular.
Potensi jangan dipetieskan
Ketika Dr Yuddy Chrisnandi pada bulan Mei 2008 menerbitkan buku Beyond Parlemen, yang antara lain mengupas soal oligarki parpol dan orang muda serta kaderisasi, tidak terbayangkan bahwa tepat dua tahun kemudian, partai terbesar yang sedang berkuasa memilih orang muda (41 tahun) sebagai ketua umumnya. Generasi muda mendapat surprise. Apakah Anas Urbaningrum akan mendapat kebebasan dan mampu menentukan arah partai? Apakah para senior akan membayanginya, seperti Lee Kuan Yew membayangi kepemimpinan Singapura pada tahun-tahun pertama setelah dia lengser 20 tahun yang lalu? Potensi orang muda seharusnya jangan dipetieskan.
Menurut tulisan Yuddy, wacana baru untuk Indonesia tampaknya sudah menelusup ke relung-relung hati rakyat. Dia menggedor-gedor kebuntuan perekrutan dan kaderisasi partai politik. Bagi para aktivis pada umumnya, pemimpin baru itu berarti harus kaum muda, sedangkan jargon yang mereka kibarkan adalah 'giliran orang muda memimpin'. Tetapi, kata Yuddy lebih lanjut, jargon itu, menurut Sukardi Rinakit, dalam tataran praksis ternyata harus disesuaikan menjadi tiga alternatif. Pertama, presiden dan wakil presiden para senior, kabinetnya diisi kaum muda. Kedua, presidennya senior, wakilnya orang muda, kabinetnya dipenuhi orang muda. Ketiga, presiden maupun wakilnya serta para menteri adalah kaum muda.
Lee Hsien Loong, putra Lee Kuan Yew, ketika menjabat Wakil Perdana Menteri Singapura, pernah diwawancari Media Indonesia bulan Januari 2002. Ketika itu usianya 50 tahun. Media Indonesia menanyakan bagaimana bayangannya tentang Singapura setelah tahun 2007. Jawabnya, "Saya mengharapkan akan ada pemimpin-pemimpin baru. Saya harap akan ada generasi baru yang lebih siap untuk dunia yang akan sangat berbeda. Saya harap dalam lima tahun ke depan kami akan meletakkan dasar-dasar yang memungkinkan Singapura bisa makmur dan menyesuaikan diri dengan zaman. Kita tidak bisa meramalkan bagaimana dunia di masa depan."
Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 4 Juni 2010