28 Mei 2010

» Home » Kompas » Perbaiki Borobudur di Diri

Perbaiki Borobudur di Diri

Ketegangan kosmik di mana-mana. Dulu disebut tanah penuh senyuman, Thailand sekarang berubah menjadi tanah penuh perkelahian. Nusantara yang penuh berkah alam menyimpan banyak kesedihan.
Dalam berbagai kasus hukum, kepintaran digunakan untuk membenarkan kelicikan. Dalam cerita mengenaskan tentang pendidikan, pendidikan tidak semakin dekat dari jangkauan masyarakat. Dalam cerita orang miskin yang ditimpa penyakit, mahalnya biaya berobat tidak saja membuat mereka batal berobat, ada yang bahkan terpaksa bunuh diri karena tak kuat menahan rasa sakit. Mungkin itu sebab Lash & Urry (1987) memberi judul karyanya The End of Organized Capitalism. Kapitalisme mulai kehilangan kemampuan membuat masyarakat teratur.

 

Ketegangan kosmik seperti ini tentu tak jadi monopoli zaman ini. Seorang tetua di Jawa bercerita. Suatu hari mantan Presiden Soeharto minta saran. Tetua membuka tiga bungkusan warisan berumur ratusan tahun. Pesan bungkusan pertama, kedua, dan ketiga sama: ”Perbaiki Borobudur!” Entah oleh pesan ini atau sebab lain, Pak Harto sudah memperbaiki Borobudur. Kita yang bertumbuh di zaman penuh ketegangan kosmik ini mungkin bijaksana merenungkan memperbaiki Borobudur dalam diri.
Kemuliaan kesabaran
Borobudur sesungguhnya sebuah buku tua terbuka. Manusia bebas menafsirkannya. Catatannya kemudian: ketika menafsirkan buku suci, seseorang tak saja sedang merekonstruksi makna buku suci, juga sedang bercerita tentang kedalaman penggaliannya. Bagi banyak orang, bagian dasar Borobudur berisi cerita nafsu menjijikkan. Bisa dimaklumi. Di sana tersua relief manusia minum alkohol, berhubungan seks. Dari segi lain, sejak dari kaki, Borobudur sudah bercerita jalan pencerahan. Sebagian buku suci memang benci nafsu. Namun, tanpa nafsu seks orang tua sebagai contoh, kita manusia tak punya kesempatan menyelami samudra pencerahan.
Borobudur mengajarkan jangan tendang hawa nafsu, gunakan sebagai tangga untuk menggali semakin dalam. Itu sebabnya, dalam meditasi diajarkan mempraktikkan kesadaran 24 jam sehari. Termasuk ketika tidur melalui praktik yoga mimpi. Banyak guru meditasi ber- pesan lembut: ”Apa pun gambar yang muncul ketika meditasi, yang terjadi dalam keseharian, jangan lupa sadari dan sayangi”. Kebahagiaan-kesedihan, hidup- mati, semua disadari dan disayangi.
Logikanya, bila kemarahan, kedengkian, disadari, disayangi, ia bisa tambah membakar. Namun, banyak yogi dengan jam terbang meditasi tinggi menemukan sebaliknya. Gabungan antara menyadari dan menyayangi membuat emosi negatif lenyap di tempatnya. Seperti pecahan salju yang jatuh ke danau, emosi negatif tak ditendang danau tetapi dipeluk. Hasilnya: pecahan salju lenyap perlahan.
Meminjam pendapat orang sufi, perilaku buku suci serupa calon pengantin wanita: membuka baju di depan calon suami. Dan praktik mendalam berupa menyadari dan menyayangi, membuat seseorang jadi calon suami buku suci.
Salah satu cerita menggetarkan di bagian tengah Borobudur adalah kisah pertapa yang duduk rapi di halaman istana, kemudian diintip selir-selir raja. Raja cemburu dan dengan marah bertanya: ”Apa yang kau ajarkan, Pertapa?” Dengan tenang, halus, lembut pertapa menjawab, ”Kesabaran, Baginda.” Marah Raja semakin meninggi, kemudian membentak, ”Apa itu kesabaran?” Ketenangan, kehalusan, dan kelembutan pertapa tadi tidak berubah, ”Kesabaran adalah tidak bereaksi ketika disakiti, Baginda.” Raja murka. Ia memanggil algojo mencambuk pertapa.
Setelah tubuh pertapa berdarah-darah, Raja membentak lagi menanyakan arti kesabaran. Kali ini pun pertapa menjawab tenang, halus, lembut, ”Kesabaran adalah tidak bereaksi ketika disakiti, Baginda.” Tambah murka, Raja mengambil pedang memotong kedua tangan dan kedua kaki pertapa. Dalam keadaan bersimbah darah, Raja bertanya lagi arti kesabaran. Kendati badannya sudah tanpa kaki dan tanpa tangan, sang pertapa tetap dengan halus, indah, dan tenang menjawab, ”Kesabaran berarti tidak bereaksi ketika disakiti, Baginda.” Dan, pertapa inilah yang pada sekian kehidupan kemudian terlahir mengenakan nama Pangeran Siddharta.
Bagi kita yang hidup di zaman demokrasi ini, kesabaran mencakup ketekunan terus-menerus menerapkan demokrasi. Winston Churchill benar, demokrasi memang bukan cara terbaik, tetapi yang lebih baik belum ditemukan. Sehingga, kendati demokrasi itu cerewet, menyakitkan—bahkan ada yang menyamakan pemimpin dengan kerbau—tetapi tidak ada pilihan lain kecuali sabar melanjutkan demokrasi. Setiap rasa sakit pemimpin di hari ini adalah bibit-bibit perubahan yang akan berbuah kelak.
Kelembutan keheningan
Di bagian atas Borobudur tidak ada relief. Hanya lingkaran-lingkaran Mandala (kesempurnaan) berisi stupa, di dalamnya duduk patung Buddha dengan posisi tangan sedang mengajar. Di puncak tertinggi Borobudur tersisa stupa terbesar tertutup, di dalamnya berisi ruang kosong. Pesannya sederhana, keheningan sempurna itulah puncak tugas memperbaiki Borobudur di dalam diri.
Makna keheningan berbeda dari satu panggilan tugas ke panggilan tugas yang lain. Bagi pertapa, keheningan berarti memperuntukkan kehidupan sepenuhnya buat orang lain. Bagi pemimpin, keheningan berarti berjuang mengurangi penderitaan. Bagi orang biasa, keheningan berarti mengisi kehidupan dengan pelayanan. Dalam bahasa HH Dalai Lama: ”Bila harus memilih antara agama dan kasih sayang, pilihlah kasih sayang”. Dengan spirit menyayangi inilah, kemudian kebodohan, kemiskinan, dan kemelaratan bisa ditinggalkan di belakang.
Makanya ada yang menyederhanakan inti ajaran Borobudur ke dalam sepasang sayap burung. Sayap kiri adalah keheningan, sayap kanan berisi kasih sayang. Keheningan baru sempurna bila diisi dengan kasih sayang. Kasih sayang baru sempurna jika dilakukan dalam keheningan (tanpa keakuan). Ia yang kedua sayapnya sudah kokoh, di waktu kematian akan bernasib serupa anak burung garuda. Begitu telurnya pecah, langsung terbang ke alam pencerahan.
Gede Prama Penulis Buku ”Simfoni di dalam Diri”

Opini Kompas 29 Mei 2010