28 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Kerancuan Kasus JLS Salatiga

Kerancuan Kasus JLS Salatiga

KASUS hukum yang sedang menimpa penyedia jasa konstruksi di Kota Salatiga saat ini adalah dugaan korupsi oleh CV Kencana Salatiga, dengan  terdakwa Nugroho Budi Santoso. Dalam perjalanannya, selama persidangan cukup banyak ditemukan bukti dan testimoni yang seharusnya bisa membebaskan terdakwa kelak.

Menurut hemat penulis, mestinya perkara tersebut adalah perdata bukan tindak pidana korupsi. Kacamata hukum yang bisa dipakai adalah telah terjadinya kontrak suatu pekerjaan konstruksi dalam sebuah perjanjian.

Hal itu dibuktikan dengan adanya tanda tangan para pihak yakni pengguna anggaran sebagai pihak pertama, dan penyedia jasa sebagai pihak kedua.

Sebagai dasar hukum pembuatan kontrak adalah UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dasar dari pertimbangan pembuatan UU tersebut, pertama; pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD ’45.


Kedua; jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya pembangunan nasional.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, ternyata belum berorientasi baik kepada kepentingan pengembangan jasa konstruksi sesuai dengan karakteristiknya, sehingga kerap mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing optimal ataupun bagi kepentingan masyarakat.

Dengan dipaksakannya kasus yang menimpa CV Kencana ke tindak pidana korupsi, menurut hemat penulis, penanganan kasus tersebut terbilang cukup ’’istimewa’’. Apalagi dasar penyidangannya adalah dugaan temuan kerugian keuangan negara oleh BPK Perwakilan DIY dan Jawa Tengah.
Posisi BPK Kalau kita melihat dengan kacamata yang jernih, pertanyaannya adalah di manakah posisi BPK dalam perjanjian para pihak tersebut? Memang tugas BPK adalah melakukan pemeriksaan keuangan daerah, namun dalam kasus ini, di mana peran BPK dalam kontrak kerja tersebut? Apalagi, saat memeriksa hasil pekerjaan CV itu, sesuai dengan fakta persidangan lapangan, staf BPK sama sekali tak prosedural dan tak profesional.

Menurut UU BPK Nomor 15 Tahun 2006, dalam memeriksa keuangan daerah, sebelumnya BPK perlu minta saran dan masukan DPRD. Namun, dalam audensi dengan pimpinan DPRD dan fraksi-fraksi, kepada penulis para wakil rakyat itu mengaku belum pernah dimintai saran atau masukan.

Dalam pemeriksaan di lapangan, juga tidak pernah ada berita acara yang ditandatangani bersama oleh pihak terkait, antara pengguna anggaran dan penyedia jasa. Kesimpulan yang bisa dipetik penulis, petugas BPK yang memeriksa proyek tersebut belum melaksanakan UU institusinya sendiri.

Dalam kasus itu, menurut penulis telah terjadi disharmoni penggunaan hukum. Semestinya, menggunakan UU Nomor 18 Tahun 1999, namun jaksa penuntut umum (JPU) justru menggunakan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Dalam dakwaannya, jaksa pun patut dikatakan telah melakukan kesalahan fatal lantaran salah menahan orang. Berdasarkan fakta persidangan dan fakta autentik, nama Nugroho Budi Santoso tidak pernah ada, baik di akta notaris, perjanjian kontrak, maupun cek. Dalam melaksanakan proyek hingga selesai, yang bersangkutan tidak di Indonesia, sehingga bisa dikatakan error in person.

Menurut M Harahap (2005:128) yang dimaksud dengan error in person atau salah orang yang diajukan sebagai terdakwa terjadi karena bila terdakwa tidak mempunyai hubungan hukum dan pertanggungjawaban dengan tindak pidana atau kejahatan yang didakwakan kepadanya.

Sedangkan menurut Sudigno Martokusumo (2003:40), hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum yang terdiri atas ikatan-ikatan antara individu dan masyarakat atau antarindividu yang tercermin dari hak dan kewajiban.

Dalam hukum pidana, ikatan-ikatan hukum tersebut dirumuskan dalam bentuk kewajiban-kewajiban. Beberapa pemerhati masalah hukum di Salatiga dan Jateng mengatakan bahwa kasus tersebut seharusnya tidak dibawa ke UU Tipikor karena mereka beranggapan pekerjaan proyek itu telah diserahkan. Seyogianya semua melihat secara  jernih kasus ini. Jangan malu mengevaluasi terjadinya kekeliruan. (10)

— PY Parito, Humas Asosiasi Jasa Konstruksi Salatiga.

Wacana Suara Merdeka 29 Mei 2010