28 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Anarkisme Cegah Tirani Negara

Anarkisme Cegah Tirani Negara

Anarkisme memiliki tujuan positif dalam kaitannya dengan kehidupan politik karena berperan aktif dalam upaya mengkritik pemerintahan agar tidak berlangsung secara tirani

SERING terdengar istilah anarkisme dalam media massa namun kadang orang tidak mengerti arti anarkisme yang sesungguhnya. Anarkisme selalu dikaitkan dengan kebrutalan atau kekacauan (chaos), padahal anarkisme merupakan sejarah panjang salah satu ideologi.

Istilah ini kali pertama digunakan oleh Pierre-Joseph Proudhon. Secara ontologi, anarkisme bertujuan menolak otoritas penuh yang mengatur masyarakat; negara yang mengatur rakyatnya. Kaum anarkis memercayai bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat dasar alamiah untuk hidup bekerja sama antarkelompok individu.


William Godwin, seorang anarkis, memberikan tesis mengenai sifat kerja sama tersebut dengan analogi bahwa manusia jika dikembangkan dengan sempurna, bukan hanya bisa tidak agresif melainkan juga menjadi makhluk yang dapat bekerja sama.

Keadaan manusia yang didambakan ini tidak terkubur di masa lalu, melainkan merupakan masa depan yang tak terhindarkan, dan dalam masa depan semacam ini negara tidak akan diperlukan lagi. (Jonathan Wolf dalam An Intruduction to Political Philosophy, 2006).

Secara ekspilisit, kaum anarkis menolak adanya negara. Negara hanya akan memberikan pembelengguan terhadap warganegara. Mereka percaya bahwa setiap individu dapat mengatur dirinya karena hakikatnya setiap manusia memiliki sifat untuk bekerja sama.

Namun, apakah benar pendapat kaum anarkis bahwa sifat dasar manusia adalah mau bekerja sama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan satu keadaan alamiah manusia (state of nature)-tanpa terikat otoritas apa pun.
Tesis mengenai keadaan alamiah (state of nature) bertujuan untuk mengetahui bagaimana sifat dasar manusia tanpa adanya campur tangan pihak lain, termasuk negara. Banyak tesis mengenai keadaan alamiah ini, salah satunya dari Thomas Hobbes.

Dalam Leviathan (1651), Hobbes menjelaskan tesisnya tentang state of nature. Pemikiran Hobbes mengenai keadaan alamiah itu dipicu oleh perang saudara di Inggris. Perang itu ia baca sebagai keadaan alamiah karena tidak ada lagi otoritas yang dapat mengendalikan perang tersebut. Ia menyatakan bahwa dalam keadaan alamiah ini ada kelangkaan.

Baginya, keadaan alamiah merupakan keadaan yang sangat tidak mengenakkan; akan timbul konflik dan peperangan, bahkan sesama warga negara sendiri. Jadi, Hobbes menyadari bahwa hakikatnya manusia memiliki keinginan untuk mengejar kebahagiaan (felicity).
Seperti Firdaus Keinginan manusia untuk mengejar kebahagiaan inilah yang kemudian membuat sesama manusia terlibat dalam peperangan, karena Hobbes menyadari dalam keadaan alamiah juga terjadi kelangkaan. Ia menyimpulkan, perlu adanya sebuah negara dan pemerintahan yang kuat untuk mengatur antarwarganegara agar terhindar dari peperangan mengejar kebahagiaan.

Tesisnya mengenai keadaan alamiah itu menunjukan bahwa dia tidak sependapat dengan kaum anarkis yang tidak menghendaki berdirinya negara. Perbedaan yang mendasar adalah pembacaan mengenai hakikat manusia. Kaum anarkis menganggap manusia memiliki hakikat untuk bekerja sama, sedangkan Hobbes menganggap bahwa manusia pada dasarnya hanyalah mengejar kebahagiaan individu.

Meski argumen Hobbes nampak kuat dan rasional karena objek materialnya dialami sendiri, yakni perang saudara di Inggris, tetap saja muncul anggapan lain mengenai teori hakikat manusia dalam state of nature. Inilah perjalanan sebuah ilmu: ada tesis, antitesis, dan sintesis.

John Locke, filsuf yang lahir di Inggris, banyak mempelajari karya-karya Hobbes, meski ia tidak setuju dengan pandangannya. Dalam bukunya The Second Treatise of Government, ia memberikan argumen mengenai state of nature. Locke menyatakan, bahwa keadaan alamiah (state of nature) bukan seperti yang digambarkan oleh Hobbes, melainkan merupakan keadaan berkelimpahan, bahkan seperti firdaus.

Jika kita telah mengerti bahwa anarkisme merupakan suatu paham besar dengan berbagai sejarahnya, maka istilah ini seharusnya tidak lagi kita kaitkan dengan kebrutalan atau kerusuhan. Demo yang berlangsung ricuh, ataupun kejadian yang berakhir brutal sama sekali tidak ada hubungannya dengan anarkisme karena penyebutan kata anarkisme sudah ‘’salah kaprah’’. Lebih jauh dari itu, anarkisme juga memiliki tujuan yang positif dalam kaitannya pada kehidupan politik. Anarkisme berperan aktif dalam upaya mengkritik jalannya pemerintahan agar tidak berlangsung secara tirani.(10)

— Banu Prasetyo, mahasiswa filsafat UGM

Wacana Suara Merdeka 29 Mei 2010