28 Mei 2010

» Home » Kompas » Dilema Eksperimen Berdemokrasi

Dilema Eksperimen Berdemokrasi

Pemilihan kepala daerah sesungguhnya adalah sebuah eksperimen berdemokrasi yang dilematis, bahkan acap kali kontraproduktif. Di berbagai daerah, pelaksanaan pilkada bukan saja masih diwarnai politik uang, ketidakjelasan daftar pemilih, dan kecurangan penghitungan suara, melainkan tak jarang juga diwarnai aksi amuk massa yang anarkis.
Di Kabupaten Mojokerto, diduga akibat tidak puas dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang tak meloloskan salah satu calon karena alasan kesehatan, ratusan orang tidak hanya menggelar aksi unjuk rasa menentang pencoretan calon yang mereka dukung.
Namun, lebih dari itu, massa yang sudah telanjur beringas dilaporkan mulai melawan petugas kepolisian, merusak gedung, melemparkan bom molotov ke arah tempat parkir mobil di halaman Gedung DPRD setempat, dan membakar sejumlah mobil. Mojokerto pun membara dalam arti yang harfiah (Kompas, 22 Mei 2010).

 

Kendati secara teoretis pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) diharapkan dapat menjadi momentum peletakan dasar bagi fondasi kedaulatan rakyat dan sistem politik serta demokrasi di aras lokal, karena tidak didukung kedewasaan sikap politik masyarakat dan ketidakmampuan partai politik mengendalikan konstituennya, yang terjadi kemudian adalah chaos.
Ketika para pendukung seorang calon gagal terpilih, dan dalam proses penghitungan suara dinilai telah terjadi kecurangan, bisa dipastikan bahwa yang terjadi kemudian adalah konflik dan aksi protes berkepanjangan.
Konflik pilkada yang terjadi di Tuban, Banyuwangi, dan Mojokerto adalah contoh konkret yang memperlihatkan kepada kita betapa tipis perbedaan antara partisipasi dan keterbukaan politik dengan perilaku anarkis.
Formalisasi
Berbeda dengan sistem pemilihan umum pada masa Orde Baru yang hanya melahirkan konsentrasi kekuasaan terpusat di tangan segelintir elite politik saja, pelaksanaan pilkada secara langsung diyakini dan dinilai banyak pihak sebagai jalan masuk bagi demokratisasi politik di daerah. Ia dapat mengeliminasi atau mengikis politik uang, memperkecil peluang intervensi pengurus partai politik, dan memberi kesempatan rakyat memilih pemimpin daerah secara obyektif.
Bagi masyarakat, pilkada merupakan pengalaman yang relatif baru. Namun, justru di sanalah rakyat dapat belajar dan terlibat secara nyata dalam kehidupan berdemokrasi.
Di era pascareformasi, pilkada memang menawarkan pesona tersendiri. Selain dianggap membuka ruang bagi partisipasi rakyat dalam kehidupan politik formal dan memilih kepala daerah yang dibutuhkan, juga akan menuntut tumbuhnya kepekaan elite politik terhadap isu yang kontekstual dan akuntabilitas atas kinerja kandidat yang terpilih oleh rakyat.
Di saat yang sama harus diakui bahwa pilkada yang dilakukan dengan cara agak instan dan belum didukung sikap politik masyarakat yang rasional kalkulatif seperti sekarang ini sesungguhnya riskan terjerumus ke dalam situasi yang kontraproduktif.
Pelaksanaan pilkada di berbagai daerah di satu sisi terbukti berpotensi memicu terjadinya konflik horizontal yang makin terbuka, baik atas dasar perbedaan ideologi, kepentingan, maupun identitas sosial politik yang lain. Di sisi lain, sekalipun tak jarang pilkada telah berlangsung dengan sukses, ternyata juga tidak ada jaminan bahwa pemimpin daerah yang terpilih kemudian terbukti mampu mendongkrak kinerja pembangunan secara kentara.
Isu kesejahteraan rakyat yang biasanya menjadi program utama yang digembar-gemborkan selama masa kampanye antarkandidat alih-alih dapat tercapai, justru sebaliknya: di berbagai daerah jumlah penduduk miskin malah bertambah dan tekanan kemiskinan terasa makin menjejas.
Meski di atas kertas pelaksanaan pilkada menjanjikan perubahan ke arah yang lebih baik dan menempatkan rakyat sebagai subyek pembangunan, harus diakui bahwa dalam banyak kasus, pelaksanaan pilkada umumnya masih mengedepankan aspek prosedural: belum memperlihatkan hasil yang benar-benar substansial bagi kehidupan berdemokrasi.
Di berbagai daerah, ketika ruang untuk menyampaikan aspirasi politik melalui pilkada lebih terbuka, di saat yang sama perilaku konstituen ternyata masih parokial dan tak tahan terhadap godaan politik uang. Maka, yang terjadi kemudian sebetulnya adalah proses formalisasi dalam kehidupan berdemokrasi.
Dalam pilkada mungkin benar bahwa yang namanya rakyat telah memilih sendiri siapa yang menjadi calon pilihannya. Namun, siapa calon yang mereka pilih dan gambar mana yang mereka coblos biasanya sedikit banyak masih dipengaruhi oleh kekuatan tim sukses yang memiliki dukungan logistik yang tak terbatas ketimbang sebagai pilihan sadar yang mempertimbangkan jejak langkah para kandidat.
Masih bermanfaat?
Pengalaman selama ini telah banyak mengajarkan bahwa pilkada sesungguhnya bukan saja berpotensi menyulut aksi amuk massa, melainkan dalam pelaksanaannya juga membutuhkan dana yang luar biasa besar.
Dari segi politik, mungkin benar bahwa dengan menyerahkan proses pemilihan kepala daerah langsung kepada masyarakat, legitimasi kandidat pilkada yang terpilih akan lebih kuat karena sedikit banyak mencerminkan aspirasi dan pilihan politik masyarakat. Akan tetapi, apakah calon yang terpilih lewat proses pemilihan langsung dari bawah sudah bisa dijamin dan terbukti paralel memiliki kompetensi yang mumpuni sebagai pemimpin atau kepala daerah?
Pertanyaan ini tak pelak perlu dikaji lebih lanjut. Kalau mau jujur, sebetulnya tidak ada jaminan bahwa kepala daerah yang terpilih lewat pilkada benar-benar adalah calon terbaik dari segi akademik, moral, kepemimpinan, ataupun penguasaan mereka terhadap bidang manajemen pembangunan.
Benar bahwa kandidat yang terpilih adalah mereka yang secara sosial populer dan paling banyak dikenal masyarakat. Namun, apakah setelah terpilih, kandidat yang menang pilkada itu benar-benar akan mampu merealisasikan janji-janji politiknya selama kampanye?
Sebagai sebuah pesta demokrasi, pilkada adalah bagian dari proses pendewasaan sikap politik masyarakat. Jika penyelenggaraan pilkada yang menelan biaya yang sangat besar itu ternyata tidak memberikan jaminan bahwa yang terpilih adalah calon yang benar-benar terbaik dan bermanfaat bagi masyarakat, masihkah relevan pilkada yang supermahal itu diselenggarakan di tengah kebutuhan masyarakat untuk memperoleh bantuan dan program pembangunan yang langsung dapat mereka rasakan manfaatnya?
Pertanyaan seperti inilah sesungguhnya yang saat ini tengah berkecamuk di benak masyarakat awam.
Bagong Suyanto Dosen Departemen Sosiologi, FISIP Universitas Airlangga


Opini Kompas 29 Mei 2010