28 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » LPSK: Drama Baru Susno

LPSK: Drama Baru Susno

PENANGKAPAN dan penahanan Susno Duadji punya banyak sisi pandang yang dapat disoroti. Salah satu sisi yang sangat penting adalah kedudukan perwira tinggi berbintang tiga itu  sebagai saksi pelapor. Dari sinilah muncul istilah ‘’peniup peluit’’ (whistle blower) dan menjadi populer karena istilah ini sering muncul dalam pemberitaan.

Menurut Quentin Dempster, ‘’peniup peluit’’ adalah orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi. Tokoh-tokoh ‘’peniup peluit’’ sebenarnya ada sejak lama hanya umumnya posisi, kedudukan, atau jabatan mereka tidak setinggi Susno, yang kini menjadi tersangka kasus dana pengamanan pilgub Jabar. Sewaktu pilgub, dia menjabat kapolda. (SM, 26/05/10)

Di Amerika Serikat masalah perlindungan bagi saksi pelapor ataupun saksi korban mendapat  perhatian sangat serius dari negara. Di Indonesia tahun 2006  gabungan LSM di Indonesia sangat aktif mendorong lahirnya UU perlindungan saksi (khususnya saksi pelapor) dan korban. Hingga akhirnya lahir UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.


Sebelum lahirnya UU ini semua warganegara Indonesia mempunyai kewajiban  sebagai saksi bila  dibutuhkan namun  di sisi lain tidak ada satupun UU yang mewajibkan negara melindungi orang yang telah bersaksi dalam kasus pidana.
Bahwa KUHAP secara tersamar (Pasal 117 Ayat (1)) memang mengatur tentang perlindungan saksi dari teror namun dalam penerapannya sulit dilakukan karena harus melalui proses persidangan untuk membuktikan adanya teror.

Dalam kasus Susno, salah satu hal yang menjadi perhatian publik adalah mengapa orang dalam kedudukan tinggi seperti dia ternyata tidak mendapatkan perlindungan hukum yang cukup padahal ia telah bertindak sebagai whistle blower. Lalu bagaimana bila si ‘’peniup peluit’’ adalah anggota masyarakat biasa? Tentu keadaannya bisa lebih parah.Perlindungan terhadap saksi dan korban sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan.

Asas yang dianut oleh UU tersebut adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum.

Dari asas-asas ini dapat dikatakan bahwa UU yang melindungi saksi dan korban menghendaki seseorang yang telah berjasa karena telah berpartisipasi sebagai saksi pelapor atas adanya tindak pidana tidak seharusnya justru ’dianiaya’. Negara mempunyai kewajiban melindung. Perlindungan yang diberikan oleh negara adalah berupa pemberian rasa aman kepada yang bersangkutan dan keluarganya dari segala ancaman bahaya akibat kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.
Bersifat Menjebak Asas selanjutnya yaitu pemberian rasa aman kepada saksi atau korban, hal ini berhubungan dengan sikap penyidik/ pemeriksa yang memeriksa saksi atau korban dilarang untuk melakukan ancaman ataupun tindakan yang menyudutkan.

Bahkan juga dilarang mengajukan pertanyaan yang sifatnya menjebak. Asas ini berhubungan erat dengan prinsip keadilan yaitu bahwa adanya jaminan si saksi pelapor tidak dapat dituntut baik secara perdata dan pidana atas laporan yang diberikan tersebut, sebagaimana Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan kepanjangan tangan negara dalam tugas memberikan  perlindungan terhadap saksi, pelapor, dan korban. Sifat dari lembaga ini pasif yaitu hanya memberikan perlindungan bila ada permohonan dari saksi, pelapor, atau korban dalam tindak pidana yang membutuhkan perlindungan. Lembaga ini hanya ada satu yaitu di Jakarta sebagai ibu kota negara.

Sejak kelahirannya lembaga ini memang belum populer, sehingga banyak yang tidak mengenalnya. Lembaga itu ‘’baru terdengar’’ publik setelah terkuaknya kasus Anggoro-Anggodo Widjojo yang menyeret nama dua komisioner LPSK yang disangka melindungi salah satu buronan Polri itu.

Filosofi kelahiran lembaga ini sebenarnya sangat baik mengingat kedudukan saksi, pelapor, dan korban dalam sistem penegakan hukum Indonesia dapat dikatakan lemah. Sangat sedikit ketentuan perundangan yang mengatur hal tersebut. Bahkan KUHAP justru lebih mengedepankan aspek HAM tersangka/ terdakwa dibandingkan dengan saksi, pelapor, dan korban.

— Hibnu Nugroho SH MH, dosen Fakultas Hukum Unsoed,  peserta rogram S3 ilmu hukum Undip

Wacana Suara Merdeka 29 Mei 2010