SALAH satu penyebab negara kita tetap  terbelakang dalam tidak sedikit bidang peradaban adalah karena pengaruh  sinetron-sinetron yang buruk. Itulah hasil renungan saya terparah selama  dua tahun terakhir (saya pekerja audiovisual sejak 1974, pulang kampung  dua tahun lalu saat pensiun setelah 26 tahun bekerja di lembaga  multimedia internasional di Hilversum, Belanda). 
Renungan tersebut menjadi nyata ketika sekitar dua bulan lalu seorang  pengarang sinetron marah-marah karena naskah skenarionya saya nilai 6  plus. Saya mohon maaf kepada Beliau, dengan demikian sang naskah terbang  bebas. Dari sini saya menjadi siuman dan makin sadar. 
Betapa acara-acara televisi di Indonesia terkini umumnya dan sinetron  khususnya, sebagian besar, digeluti kawanan ”profesional” yang agaknya  bermasa bodoh dan tidak menghormati martabat dunia televisi sendiri.
Masalahnya, pengaruh semua tayangan televisi apapun, termasuk sinetron,  amat dahsyat. 
Dan, pengaruh macam apa bisa dipetik khalayak luas jika tiap hari  dicecar sinetron-sinetron yang jelek sebagai hasil mekanisme kerja  pengabdi kapitalisme kasar manajemen warung? Sinetron jelek ini banyak  sekali. Kekecualian, ya, selalu ada. Memang ada yang baik. Sedikit  sekali. Bagai tetes madu dalam lautan. Catatan kecil ini hanya  mempersoalkan sinetron yang buruk secara umum. 
Lewat Google, saya menemukan 50.000 input untuk pembodohan sinetron,  7.930 (sinetron yang menjijikkan), 11.000 (penulis sinetron idiot),  50.100 (sinetron idiot), 74.000 (sinetron yang busuk), 17.500 (sinetron  indonesia tolol), 21.100 (sinetron indonesia goblok), 30.700 (sinetron  norak), 284.000 (sinetron sampah), 1.460 (dom indonesische sinetron),  15.600 (dom indonesisch telenovela),17.100 (dumm indonesien sinetron),  215.000 (dumm indonesien telenovela), 25.900 (stupide indonesienne  feuilleton), 45.500 (stupid indonesian soap opera), 274.000 (stupid  indonesian sinetron), dan 624.000 input untuk stupid indonesian  telenovela. Hanya di Google! Belum yang lain-lain.
Lepas dari kelemahan sistem-cari sibernetik, semua itu tetap tak bisa  menyangkal rata-rata sinetron kita jelek. Mengarungi jagat cyber anak  muda perkara sinetron ini, mungkin banyak pekerja pioner drama-drama TV  Indonesia zaman televisi hitam putih menangis. Persepsi anak-anak muda  tersebut tentang sinetron Indonesia terungkap dalam 1.001 model caci  maki yang serem-serem. 
Artinya, reputasi sinetron Indonesia terjungkal. Itulah tantangan  seluruh bangsa Indonesia umumnya, dan khususnya semua pihak yang  terlibat dalam karya audiovisual, untuk bukan hanya bekerja tetapi  berjuang keras, agar masyarakat yang masih susah tidak dibikin makin  bodoh oleh sinetron-sinetron bodoh (daftar judul tersedia) secara  terus-menerus.
Berkiblat Luar Negeri
Sinetron yang buruk itu apa? Banyak sekali butir soalnya. Mustahil  ditelanjangi semua. Catatan kecil ini terbatas memaparkan empat butir  terpenting.
Pertama, sinetron adalah buruk jika menabrak-nabrak asas-asas universal  sinetron sebagai bagian media massa yang informatif-menghibur-mendidik  (misi umum) dan tidak berpihak kepada masyarakat-sasaran (misi khusus). 
Indonesia bukan luar negeri manapun, maka kepentingan Indonesia berbeda  dari kepentingan luar negeri manapun. Yang terjadi, banyak sinetron kita  berkiblat ke luar negeri tak penting negara mana dengan pesan dan  tampilan yang tidak berguna dan jauh dari kepentingan rakyat Indonesia  yang masih terus berjuang.
Kedua, sinetron buruk dilahirkan oleh sikap tidak bertanggung jawab,   karena, antara lain, sudah bangga menjadi katak dalam tempurung dan buta  sejarah media. Akhir 1970-an sampai awal 1980-an adalah masa ketika  Indonesia sebagai bagian negara selatan cemas terhadap arus besar media  utara yang bakal membanjir melanda seluruh Indonesia. Banyak hal  diupayakan untuk melawan dan membendungnya. Toh, keok dan menyerah.  Mengapa? Mungkin karena kita tidak tahan godaan. Yang disebut  globalisasi itulah wujudnya. Sekarang!
Ketiga,  kemenangan globalisasi (dengan tonggak, gampangnya, dari  mendunianya CNN yang dibuntuti oleh semua ikutannya) menggiring  peradaban di negara kita bergerak searah petuah-petuah para majikan  global. Yang dahulu dilawan dan dibendung, kini dimakan dan ditampung.  Ini mewujud dalam nyaris semua sektor kehidupan. Juga dalam media  audiovisual. Lahirlah sinetron-sinetron buruk. Sebagai bagian dan akibat  logis dari gerak peradaban bingung yang tengah berlangsung. 
Keempat, merusak bahasa Indonesia. Sebab sinetron buruk - juga tayangan  teve lainnya yang sekelas, diproduksi dengan language quotient (LQ)  taraf amat rendah yang bisa panjang sekali ceritanya. Sekarang di  seluruh Indonesia sampai pelosok-pelosok, fakta kerusakan bahasa  Indonesia ini menjadi napas sehari-hari. 
Itulah kesia-siaan sekitar seperempat abad TV di Indonesia, khususnya  sinetron-sinetronnya, sebagai bagian media pendidikan. Jika gelontoran  bahasa yang ditanam selama itu bahasa Indonesia yang tertib menjaga  martabat, tentunya sekarang kita sudah panen bahasa Indonesia yang  terhormat di seluruh Indonesia dan di mata dunia. 
Jadi? Sinetron Indonesia harus bebas dari kebodohan. Ini akan terjadi  jika sinetron-sinetron kita diproduksi secara patriotik bahu-membahu  oleh pengarang cerdas, sutradara pintar, pemain brilian, produser  bermartabat, dan semua unsur produksi yang mampu membedakan realitas  penting dari mimpi tetek-bengek. (10)
— L Murbandono Hs, peminat dan pengamat peradaban, tinggal di Banyubiru,  Kabupaten Semarang
Wacana Suara Merdeka 26 April 2010