DIBATALKANNYA UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ditanggapi beragam. Bagi yang pro, pembatalan tersebut sangat disayangkan karena dengan UU BHP justru akuntabilitas perguruan tinggi terjamin. Namun bagi yang kontra, pembatalan tersebut disambut suka cita. Sederhana saja UU BHP seakan menghapus kebhinekaan yayasan, di samping itu dengan UU tersebut, perguruan tinggi jadi lebih komersial.
Tulisan ini tidak akan larut dalam pro dan kontra namun hanya menengahi dua pendapat itu. Silakan pemerintah bikin UU apa saja tentang perguruan tinggi, namun hal yang penting dipatuhi ialah bahwa visi dan misi perguruan tinggi sebagai agen intelektual, pemikir, dan teknisi harus dipegang teguh.
Untuk keperluan ini, perguruan tinggi diharamkan menolak calon mahasiswa yang cerdas namun miskin. Komersialisasi nampak jelas ketika ujian masuk yang digelar pada awal rekrutmen mahasiswa saat ini, yakni mementingkan nilai sumbangan terlebih dahulu dibandingkan kecerdasan.
Benar bahwa setelah ada ujian mandiri (UM) akan disusul SMPTN, namun yang disebut terakhir ini kuotanya sangat sedikit.
Dengan sistem UM, seakan perguruan tinggi sekarang bebas menentukan calon mahasiswa yang mereka rekrut sekehendak hatinya.
Sistem semacam ini akan mengeliminasi mahasiswa cerdas namun miskin terlebih dahulu. Bagaimana mungkin anak orang miskin sanggup masuk PTN lewat UM jika untuk beli formulir saja diperlukan dana antara Rp 300 ribu dan Rp 1 juta?
Yang lebih berat lagi dalam formulir tersebut langsung disodorkan jumlah uang sumbangan yang harus dibayar jika diterima dan besarnya antara Rp 10 juta dam ratusan juta rupiah, tegantung basah-keringnya jurusan. Sekadar gambaran, untuk jurusan sastra, sumbangan ”hanya” Rp 5 juta-Rp 10 juta, sedangkan kedokteran mencapai angka Rp 150 juta-Rp 300 juta.
Akan Tersingkir
Dari gambaran ini nampak bahwa rakyat miskin yang cerdas akan tersingkir pada babak awal. Karenanya kini setelah UU BHP dihapuskan, pemerintah harus bertanggung jawab penuh untuk menjaring calon mahasiswa yang cerdas dan brilian, dan jika mereka ternyata tidak mampu membayar, negara mesti bertanggung jawab menyediakan anggaran yang cukup.
Alasan minimnya dana, tidak dapat diterima. Negeri ini kaya raya. Lihat saja kasus korupsi di negeri ini, berapa triliun menguap begitu saja dan dimakan oleh koruptor baik dari kelas teri hingga kelas kakap. Jika negara ini ingin maju, pasti reformasi pendidikan tinggi harus mulai digarap serius dan jalan pertama adalah menjaring calon mahasiswa bermutu dengan biaya luwes. Bagi yang miskin disubsidi negara dan bagi yang kaya membayar lebih mahal.
Dari bentangan sketsa itu dapat ditegaskan bahwa pada prinsipnya otonomi perguruan tinggi sangat diperlukan, namun hanya satu yang mesti dilakukan oleh negara dan tidak boleh dilakukan oleh perguruan tinggi negeri, yakni sistem rekrutmen mahasiswa yang tidak boleh meminggirkan si miskin yang cerdas. Ini prinsip yang harus dijaga ketat agar aspek pemerataan dan keadilan bagi seluruh rakyat dapat dipenuhi. Hak untuk masuk perguruan tinggi negeri adalah hak setiap warga yang harus dijaga dan dijamin oleh negara.
Langkah pertama adalah mengatur sistem rekrutmen mahasiswa dengan mematok harga formulir pendaftaran yang semurah mungkin sehingga anak si tukang becak yang cerdas sekalipun juga mampu membelinya, dan kedua sumbangan pendidikan harus dihapuskan, dan sebagai gantinya negaralah yang harus menjamin penuh hal ini jika (misalnya) seluruh mahasiswa yang masuk ternyata (ini contoh ekstremnya) 90% adalah si cerdas yang miskin.
Namun untuk menjamin perguruan tinggi agar maju, juga diperlukan otonomi, terutama untuk menentukan jurusan atau program studi mana saja yang akan mereka kembangkan atau mereka tutup. Perguruan tinggi adalah pihak yang paling tahu kekuatan dan potensinya. Tugas dari pemerintah adalah mengawasi jika terjadi penyimpangan dan sanksi yang tegas yang semangatnya untuk melindungi masyarakat.
Selama ini terjadi kerancuan, misalnya ada perguruan tinggi swasta yang tidak memiliki SDM yang cukup, justru relatif bebas membuka dan menutup program studi, sementara bagi PTN malahan jauh lebih ketat dan sulit perizinannya.
Untuk urusan pendanaan juga diperlukan otonomi, terutama untuk menjaring dana dari kerja sama dengan pihak terkait. Memang benar masyarakat harus diajak bertanggung jawab dalam urusan pendidikan, namun hal ini tidak berarti pemerintah lepas tangan sama sekali sehingga prguruan tinggi menjadi nampak ultraliberal. (10)
— Saratri Wilonoyudho, dosen Universitas Negeri Semarang, anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka 26 April 2010