Ketika orang baik-baik tidak gigih mengawasi, atau dengan kata lain cenderung membiarkan maka itulah andil yang disumbangkan untuk terjadinya kematian akibat miras itu
SEJAK Minggu (18/04/10), kota Salatiga digegerkan oleh kematian empat warga karena keracunan minuman keras (miras) oplosan. Hingga kini, jumlah korban terus bertambah. Meski jumlah pastinya masih simpang siur, media mencatat angka 22 korban tewas dan 300 lainnya perlu dirawat di rumah sakit (SM, 23/04/10).
Sekalipun razia dilakukan, toh tidak lama kemudian miras ilegal itu dapat diakses kembali. Terbukti dengan cukup seringnya saya menghirup aroma alkohol ketika berpapasan dengan sejumlah anak muda atau pengamen di perempatan jalan, atau kebetulan menumpang angkot.
Dari situasi yang terjadi sekarang, terdapat tiga kelompok peran yang dimainkan oleh masyarakat. Pertama; mereka yang menjadi produsen dan konsumen miras, kedua; aparat pemerintah dan penegak hukum, ketiga: masyarakat yang tidak termasuk produsen/ konsumen dan bukan aparat pemerintah/ penegak hukum, atau dalam kasus miras ini termasuk orang ’’baik-baik’’.
Saya berpendapat bahwa untuk tragedi jatuhnya korban karena miras, ketika kelompok masyarakat itu sama-sama memberikan kontribusi dan semestinya berbagi tanggung jawab terhadap konsekuensi yang terjadi. Untuk dua kelompok pertama, kontribusi kesalahan memang tampak lebih nyata dan mencolok. Namun, untuk kelompok ketiga, yaitu masyarakat ’’baik-baik’’ yang selama ini tidak pernah mengonsumsi miras oplosan dan justru sering terganggu ketentramannya karena ulah mereka yang mabuk, andil kesalahan menjadi tidak terlalu tampak.
Jika ditelaah dengan nalar sederhana, penjual miras oplosan itu tidak tinggal di tempat terpencil atau terisolasi. Mereka tinggal di daerah permukiman, di tengah kota Salatiga, dan bertahun-tahun eksis menjalankan usahanya. Ketika orang baik-baik tidak gigih mengawasi dan memastikan aparat menegakkan peraturan, atau dengan kata lain cenderung ’’membiarkan’’ maka itulah andil yang disumbangkan untuk terjadinya kematian masal ini.
Urie Brofenbrenner (1917-2005) mengemukakan teori ekologis untuk menerangkan perkembangan individu. Menurutnya, perkembangan seorang individu terjadi dalam konteks sosial di mana individu itu hidup dan orang-orang yang ada di konteks itu akan memberikan pengaruh padanya. Ada lima konteks sosial atau sistem lingkungan, mulai interaksi interpersonal terdekat yang dimiliki individu, hingga pengaruh yang luas berasal dari budaya, yaitu microsystem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan chronosystem. Microsystem adalah konteks di mana individu menghabiskan waktu paling banyak dalam hidupnya, seperti keluarga, tetangga, sekolah, teman sebaya, komunitas agama dan lain-lain. Mesosystem adalah keterkaitan antara unsur yang ada dalam microsystem, misalnya keterkaitan antara orang tua dan guru, keluarga dan teman sebaya.
Berpengaruh Exosystem terjadi ketika hal-hal yang terjadi di konteks di mana individu tersebut tidak berperan aktif, ternyata berpengaruh kepadanya. Macrosystem melibatkan budaya yang lebih luas, termasuk faktor sosial ekonomi, etnis, nilai dan kebiasaan di sebuah masyarakat. Sedangkan chronosystem melibatkan kondisi sosiohistoris dari individu. Seluruh sistem tersebut, memberikan pengaruh terhadap sikap dan perilaku individu.
Perilaku mengonsumsi oplosan yang berakibat pada kematian, tidak semata-mata lahir dari keputusan sadar, namun merupakan hasil bentukan bertahun-tahun dari sistem lingkungan tempat tinggal. Miras menjadi cara yang mereka pilih untuk coping terhadap tekanan hidup, karena itulah metode mengatasi tekanan yang diperkenalkan dan dianggap wajar dilakukan oleh orang-orang di lingkungannya. Seperti, di permukiman kumuh, saya menemukan bahwa sejak kecil anak-anak akrab dengan miras karena ayahnya setiap hari pulang mabuk. Teladan perilaku negatif ini diperkuat dengan kondisi exosystem berupa kebijakan pemerintah terhadap peredaran miras yang belum tegas atau pembiaran oleh masyarakat baik-baik.
Macrosystem berupa kebiasaan untuk mengonsumsi miras dengan alasan menghangatkan tubuh dan mengakrabkan pertemanan juga makin memperkuat lestarinya perilaku mengonsumsi miras. Secara sosiohistoris, kondisi kemiskinan dan terbatasnya akses kepada pendidikan yang memanusiakan bagi masyarakat ekonomi lemah, makin menyuburkan perilaku mabuk untuk coping terhadap permasalahan hidup.
Melalui tulisan ini, saya mengajak semua untuk mengambil tanggung jawab bersama. Hendaknya semua pihak, introspeksi diri dan tidak lagi lengah atau berkompromi terhadap masalah miras ini. (10)
— Pinkan M Indira, staf pengajar di Fakultas Psikologi UKSW Salatiga
Wacana Suara Merdeka 26 April 2010