25 April 2010

» Home » Kompas » Hati Nurani untuk Petani

Hati Nurani untuk Petani

Empat hari berturut-turut (19-22/4) harian ini bersimpati pada para petani gurem (peasants, bukan farmers). Empati mendalam juga dituliskan di tajuk rencananya (20/4). Hal ini wajar karena umumnya para petani kita miskin meskipun mereka rajin dan bekerja sangat keras. Kerja mereka di sawah 10 sampai 20 kali lebih berat dibandingkan dengan rekannya di ladang gandum.
Diperkirakan beban seorang petani padi di Asia sekitar 3.000 jam kerja setiap tahunnya (Gladwell, 2009). Dalam buku Outliers, Gladwell menulis, tidak seorang pun yang bangun sebelum subuh selama 360 hari dalam setahun gagal membuat keluarganya kaya. Lalu, bagaimana petani kita? Meskipun telah memberi makan penduduk Indonesia dan bekerja sama kerasnya seperti saudaranya di Asia, mereka tetap saja miskin.

 

Mengapa demikian? Menurut Mohammad Yunus, pemenang Nobel Ekonomi (2006), mereka miskin karena tidak memperoleh hak sesungguhnya atas hasil kerjanya. Kemiskinan terjadi karena tidak diatasi dengan benar. Kemiskinan sering terjadi karena kita gagal menciptakan kerangka kerja teoretis, lembaga, dan kebijakan untuk mendukung kemampuan manusia. Mereka juga miskin karena tidak memiliki modal apa pun kecuali tenaganya.
Tidak ada yang memberi mereka akses tambahan modal, lahan, pengetahuan, kredit, dan pasar. Bung Hatta dan Bung Karno juga menyatakan hal senada soal kemiskinan. Kemiskinan yang masif jumlahnya besar dan sulit diatasi dalam suatu negeri yang kaya sumber alamnya hanya bisa terjadi karena kesalahan sistem ekonomi, politik, dan hukum (termasuk pembiaran korupsi).
Memiskinkan petani
Luasan lahan kecil dan kualitas sumber daya manusia (SDM) rendah tidak boleh dijadikan dalih untuk terus membiarkan petani miskin. Justru karena kondisi itulah negara Indonesia didirikan, pemerintahan dipilih, dan kementerian dibentuk. Meskipun mereka berlahan sempit, tetap harus hidup layak. Seperti diulas Gladwell, desa di China berpenduduk 1.500 orang bisa menghidupi dirinya dengan lahan seluas hanya 180 hektar (1.200 meter per kapita atau 0,3 hektar per keluarga, ekuivalen dengan lahan petani di Pulau Jawa).
Mengapa negara lain bisa memakmurkan petaninya? Petani makmur karena tugas petani dan keluarganya hanya bertani. Pemerintah membangun jalan raya dan jalan desa, menyediakan benih terbaik, pupuk dan pestisida/herbisida yang cocok, irigasi yang tidak pernah kering, kredit berbunga rendah, mesin pertanian yang murah dan bisa dicicil. Selain itu, pemerintah juga menjamin kegagalan panen dengan asuransi, harga jual yang menguntungkan dan membatasi pasar dalam negerinya dari produk asing.
Intinya, petani dan pertanian dilindungi dan tidak diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang sering tidak bisa dikendalikan. Bahkan, di negara tertentu, petani bisa menikmati rumah, listrik, air bersih murah, serta pendidikan terbaik yang benar-benar gratis dan dekat permukimannya. Ada keberpihakan, ada pembelaan, ada kebijakan, dan ada hati nurani untuk petaninya.
Hal itu dilakukan bukan karena pemerintah kasihan kepada para petaninya. Ketersediaan pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), bahan bakar (fuel), serta bahan obat yang berkesinambungan dari petani itu sangat penting untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) penduduk dan generasi mendatang. Dengan kebijakan yang tepat, kebutuhan pangan, sandang, papan, bahan bakar, dan obat-obatan dapat dihasilkan oleh petani dengan harga sangat bersaing.
Saat ini disadari atau tidak petani kurang diperhatikan. Nilai tukar petani kita cenderung makin turun. Hal ini disebabkan harga hasil pertanian serta perikanan primer, seperti padi, jagung, tebu, kedelai, singkong, telur, susu, ayam, tandan buah sawit, biji cokelat, teh, kopi, cengkeh, tembakau, sayur, buah, dan garam rendah (bahkan komoditas beras dan gula harganya dibuat rendah untuk menjaga inflasi). Harga hasil industri (minyak goreng, mi, tempe, tahu, kecap, pupuk, traktor, benih, pestisida, listrik, emas, sepeda motor, mobil, barang elektronik, solar, bensin, dan gas) dibiarkan berpatokan pada nilai dollar Amerika Serikat. Ketika rupiah melemah, harga hasil industri naik dan petani semakin miskin. Dibandingkan dengan tahun 1995 (saat nilai tukar rupiah Rp 1.800 per dollar AS), petani dan rakyat Indonesia tahun 2010 (nilai tukar rupiah Rp 9.000 per dollar AS) telah mengalami proses pemiskinan lima kali lipat.
Infrastruktur pertanian dan pedesaan (jalan, jembatan, pelabuhan, irigasi, listrik, dan telekomunikasi) yang buruk juga menjadi penyebab rendahnya daya saing petani. Hasil pertanian menjadi mahal dan tidak kompetitif. Demikian juga lembaga pembiayaan bank dan nonbank yang tidak efisien (bunga pinjaman lebih dari 15 persen, sementara bank di negara lain kurang dari 6 persen) harus dibiayai petani. Selain bunganya mahal, petani (40 persen dari penduduk Indonesia) sulit mendapat kredit (kurang dari 10 persen dari seluruh kredit yang disalurkan).
Paradoks
Kebijakan perdagangan internasional yang tidak adil sering merugikan petani. Buah, sayur, dan daging impor berkualitas rendah serta tidak layak makan (tidak halal, residu obat, dan pestisida tinggi) sering dibiarkan masuk ke pasar, supermarket, dan ke desa. Pemerintah tidak berani melindungi petani dengan menaikkan bea impor (meskipun Organisasi Perdagangan Dunia/WTO mengizinkan) dan melarang impor hasil pertanian yang menurut ketentuan tidak boleh masuk.
Sebaliknya, pemerintah justru menetapkan bea ekspor (biji kakao) yang merugikan petani. Kebijakan lahan dan investasi juga lebih memihak pengusaha besar dan asing. Ketika petani menganggur, kesulitan modal dan lahan, pemerintah justru membuka investasi asing berproduksi pangan dan menyediakan lahan untuk food estate. Paradoks ini berpotensi menimbulkan pengangguran baru dan pemiskinan petani.
Munculnya rancangan peraturan (pendaftaran usaha tani) yang mengabaikan petani kecil, tetapi menguntungkan perusahaan besar dan asing telah menimbulkan protes dari berbagai kalangan. Kini sudah saatnya pemerintah kembali memenuhi janji yang dilontarkan lebih dari lima tahun lalu dan selalu didengungkan.
Janji itu adalah pro poor (menurunkan jumlah orang miskin), pro job (membuka lapangan kerja), dan pro growth (meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas). Seperti kata Joseph Stiglitz (pemenang Nobel Ekonomi 2001), pembangunan bukan hanya membantu sekelompok orang menjadi lebih kaya atau hanya menguntungkan kalangan elitenya.
Pembangunan bukanlah memasukkan Prada, Benetton, Ralph Lauren, dan Louis Vuitton untuk masyarakat kaya di kota, sementara membiarkan kaum miskin di pedesaan menderita. Pembangunan adalah upaya mentransformasikan rakyat untuk meningkatkan kehidupan kaum miskin, membantu agar setiap orang bisa memiliki kesempatan berhasil, akses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik (Stiglitz, 2002).
Rachmat Pambudy Dosen Institut Pertanian Bogor; Petani; Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

Opini Kompas 26 April 2010