Peristiwa nahas itu terjadi pada dini hari. Saat itu, operator menyiapkan uji coba sistem keselamatan sebelum pemadaman rutin untuk perawatan. Teras reaktor yang sejatinya didesain bukan untuk komersial melainkan untuk tujuan militer itu mengalami transient daya dan kemudian terbakar. Kecelakaan terjadi akibat kelemahan dalam desain yang mengabaikan keselamatan (tanpa pengungkung) serta lemahnya budaya keselamatan operator nuklir era perang dingin. Operator mengabaikan prosedur keselamatan dengan mem-by pass sistem keselamatan yang ada dalam melakukan eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui apakah pendinginan teras reaktor dapat terus berlangsung bila terjadi kehilangan daya listrik.
Kini, 24 tahun telah berlalu. Dunia telah belajar banyak dari peristiwa yang mengakibatkan mandeknya pembangunan PLTN baru selama 20 tahun dan melahirkan rezim keselamatan baru yang jauh lebih ketat. Pelan, tetapi pasti, kesadaran masyarakat tentang keselamatan dan keamanan nuklir semakin tumbuh seiring dengan semakin terujinya pengoperasian PLTN yang ada. Ide-ide baru dan inovatif dalam desain pemanfaatan nuklir yang damai, selamat, aman, dan ekonomis bermunculan.
Setelah Chernobyl, IAEA memperbarui standar keselamatan yang merefleksikan praktik terbaik dari industri nuklir. Konvensi Internasional Keselamatan Nuklir diberlakukan untuk menerapkan norma yang mengikat secara hukum agar meningkatkan keselamatan. Indonesia meratifikasi konvensi ini dan menegaskannya dengan PP No 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, yang menyebutkan bahwa PLTN yang boleh dibangun di Indonesia adalah yang aman dan selamat serta sudah teruji (proven). IAEA dan Asosiasi Operator Nuklir Dunia (WANO) bersinergi membentuk jaringan internasional guna melakukan peer review dan saling membandingkan praktik-praktik keselamatan terbaik di fasilitas masing-masing. Hal ini berdampak pada rekor keselamatan nuklir yang sangat tinggi. Dewasa ini, nuklir semakin dikenal sebagai sistem pembangkit energi yang paling kecil dari segi jumlah kecelakaan ataupun kerugian jiwa.
Dari segi filosofi desain, PLTN generasi baru berhasil menutupi kelemahan yang ada pada generasi sebelumnya. Sebelum Chernobyl, PLTN didesain mengandalkan kecanggihan peralatan dan keterampilan operator. Menyadari bahwa peralatan bisa mengalami kegagalan dan operator bisa berbuat kesalahan, PLTN generasi baru (Generasi III+) lebih banyak mengandalkan sistem keselamatan pasif.
Sebut saja PLTN AP1000 dari Amerika Serikat sebagai contoh reaktor yang sudah menerapkan sistem pasif ini. Bila terjadi kecelakaan, operator tidak perlu melakukan tindakan apa pun. Mereka cukup mengawasi sistem keselamatan pasifnya dalam mengatasi keadaan dengan mengandalkan gaya alamiah, seperti gravitasi atau perbedaan tekanan. PLTN jenis ini sudah mendapatkan sertifikasi Amerika Serikat dan bahkan sudah mulai dibangun di Cina yang telah menetapkan AP1000 sebagai PLTN standarnya. Cina memesan empat unit AP1000 dari Amerika Serikat dan unit pertama diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2013. PLTN Generasi III ini juga dikembangkan di Eropa, Korea Selatan, dan Jepang.
Walaupun semakin aman, keselamatan nuklir senantiasa terus ditingkatkan. Dalam industri nuklir, tidak ada istilah puas dengan standar keselamatan yang sudah dicapai. Hal inilah yang membuat nuklir semakin dilirik negara-negara berkembang yang belum punya tradisi kuat dalam mengelola nuklir. Tak kurang, tetangga kita Vietnam telah mendeklarasikan pembangun PLTN yang bekerja sama dengan Rusia. Di Timur Tengah, Uni Emirat Arab menandatangani kontrak jangka panjang membangun empat unit PLTN dari Korea Selatan, termasuk pengelolaan dan pengoperasiannya. Thailand, Filipina, dan Malaysia sudah mulai gencar mempromosiklan PLTN untuk negaranya masing-masing.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita telah merasakan hambatan berat dalam melaksanakan pembangunan dan menjaga pertumbuhan ekonomi, yaitu permasalahan ketersediaan energi. Hal ini dipersulit oleh memburuknya kualitas lingkungan hidup akibat pemenuhan kebutuhan energi yang kurang memerhatikan daya dukung lingkungan hidup. Tantangan pemenuhan energi kita adalah bagaimana menggunakan sumber energi yang aman dan selamat, ramah lingkungan, kompetitif, dan mampu menyediakan energi dalam skala besar secara berkesinambungan. Semua persyaratan ini dapat dipenuhi oleh PLTN.
Tampaknya, mulai sadar akan keterbatasan pilihan yang ada, semakin banyak kalangan mendesak pemerintah agar segera merealisasikan program PLTN. Kalangan DPR pun semakin vokal menyuarakan dukungannya. Ditetapkannya penggunaan listrik nuklir pada rentang 2015-2019 dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional mempertegas dukungan tersebut. Pemerintah pun mulai tanggap. Munculnya sosialisasi energi nuklir dalam Instruksi Presiden No 1 Tahun 2010 setidaknya telah menyiratkan bahwa program PLTN akan segera ditetapkan.
Peristiwa Chernobyl telah berlalu. Dunia telah banyak belajar dari kejadian itu. Sudah saatnya kita menatap ke depan untuk dunia yang lebih damai, aman, dan sejahtera.
Opini Republika 26 April 2010
25 April 2010
Masa Depan Energi Nuklir
Thank You!