BATAM, Kamis 22 April 2010, rusuh. Hanya berawal dari persoalan "sepele", ketersinggungan karyawan terhadap salah seorang pimpinan yang berkewarganegaraan asing, karyawan perusahaan galangan kapal PT Drydock World Graha, yang memuntahkan amarahnya dengan merusak dan membakar perusahaan itu. Tragedi tersebut hanya berselang beberapa hari dari kekerasan berdarah antara warga dan aparat satuan polisi pamong praja yang dibantu polisi pada Rabu, 14 April 2010, di Koja, Jakarta Utara. Sebelumnya, pada 3-4 Maret 2010, terjadi bentrokan antara mahasiswa dan warga yang dibantu aparat kepolisian di Makassar. Semua itu merupakan serpihan kecil dari rentetan kekerasan yang selalu terjadi berulang di negeri ini.
Konflik dan bentrokan yang sarat dengan kekerasan serta aksi teroristis di bumi pertiwi ini selalu terjadi dari saat ke saat. Kita mungkin sudah tidak mampu lagi untuk menghitungnya atau sengaja melupakannya. Bahkan, sebagian kita mungkin sudah menganggapnya sebagai hal yang biasa, tak mengacuhkannya, atau bisa saja menghalalkannya.
Di negeri ini, kekerasan tampaknya telah menjadi semacam nalar yang bersaing dengan nalar-nalar lain. Ironisnya, realitas memperlihatkan, nalar kekerasan sering menjadi pemenang yang menundukkan nalar lainnya. Sebagai sebuah nalar, kekerasan memiliki paradigma dan epistemologi yang mendukung sepenuhnya proses dan tata kerja dalam memproduksi kekerasan. Misalnya, pandangan bahwa kekerasan harus diselesaikan dengan kekerasan menjadi mindset sebagian kita.
Spiral Kekerasan
Menurut Johan Galtung (Wacana, IX/2002), kekerasan adalah deprivasi kepentingan dan penistaan terhadap kebutuhan dasar atau kehidupan manusia dalam bentuk kekerasan kultural, struktural, dan kekerasan langsung. Kekerasan kultural adalah unsur-unsur budaya yang menjadi wilayah simbolis eksistensi manusia yang menjustifikasi dan melegitimasi kekerasan struktural dan langsung. Kekerasan struktural merupakan kekerasan berstruktur atau terkait dengan struktur tertentu. Kekerasan langsung adalah kekerasan secara langsung terhadap fisik manusia dan sejenisnya.
Dalam tiga kekerasan itu, nalar kekerasan menjadi dasar yang menjadikan kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang biasa atau dapat ditoleransi dan sah dilakukan. Sebagai dampaknya, terjadi -meminjam ungkapan Dom Helder Camara- spiral kekerasan; violence attracts violence.
Menurut Uskup Agung Brazil itu, spiral kekerasan pada awalnya berujung pada ketidakadilan dan penindasan. Ketidakadilan di sini dalam pengertian yang luas, dari kebijakan sosial, politik, ekonomi yang timpang hingga hukum yang tebang pilih. Demikian pula pengertian penindasan yang dalam realitasnya sering atau selalu berselingkuh dengan ketidakadilan dalam kebijakan, tindakan, dan sebagainya.
Memang ketidakadilan dan penindasan sebagai kekerasan struktural tidak selalu menjadi pemicu. Dalam realitasnya, kekerasan lebih merupakan lingkaran setan yang sulit dilacak ujung pangkalnya. Sekali waktu, kekerasan kultural menjadi trigger dan pada kali yang lain kekerasan langsung sebagai ujung spiral of violence.
Namun, dalam dunia modern, asal-usul spiral kekerasan -sebagaimana ditunjukkan penelitian Henk Schulte-Nordholt (2002), -terutama di Indonesia- berawal dari struktural dan kekerasan fisik langsung yang dilakukan negara. Hal itu dapat dilacak dari pemerintahan Hindia Belanda, rezim Orde Lama, hingga pemerintahan Orde Baru dan sampai derajat tertentu terus berlangsung hingga saat ini. Eksploitasi kekayaan Nusantara dan manusianya yang dilakukan penjajah, demokrasi terpimpin Soekarno hingga pembangunanisme Soeharto menjadi sedikit bukti tidak terbantahkan atas keberlangsungan kekerasan struktural.
Menyikapi kekerasan struktural itu, masyarakat pada awalnya diam karena tidak berdaya. Namun, emosi mereka tentu tidak pernah mati. Kekerasan bertubi membuat mereka bak timbunan rumput kering yang mudah tersulut. Dalam kondisi yang benar-benar tidak berdaya, akhirnya mereka secara reflektif melawan.
Perlawanan spontan menggunakan kekerasan. Sebab, dalam anggapan mereka, kekerasan langsung merupakan satu-satunya cara yang dapat mereka lakukan. Lama kelamaan, pola itu dijustifikasi sehingga menjadi kekerasan kultural yang beramalgamasi dengan kekerasan lain. Pada sisi ini, spiral kekerasan menemukan bentuk yang paling sempurna.
Dekonstruksi
Hingga saat ini, spiral kekerasan terus merambah negeri ini. Kekerasan telah menjadi banalitas, dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Jika dibiarkan, bangsa ini bukan tidak mungkin hanya tinggal menunggu saat-saat kehancuran. Demokrasi bisa saja dijadikan jargon, bahkan alat untuk keberlanjutan kekerasan.
Karena itu, kita, bangsa ini, niscaya harus memotong spiral kekerasan tersebut. Kita perlu mendekonstruksi nalar kekerasan yang menjadi dasar kekerasan. Dalam perspektif Derrida (Haryatmoko, Basis 11-12, 2007), dekonstruksi adalah pembebasan. Untuk itu, kita harus mampu mengambil jarak secara kritis, bahkan sinis tapi kreatif, terhadap segala sesuatu sehingga bisa dibaca, dipahami secara lebih jelas. Melalui dekonstruksi, kita harus mampu menertawakan diri sendiri. Kita masing-masing niscaya menelanjangi diri sendiri, segala kebijakan dan tindakan kita.
Melalui itu, kita pasti meyakini bahwa kekerasan -walaupun bagian dari manusia- merupakan penyimpangan yang tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Demikian pula, kekerasan tidak akan pernah memberikan manfaat bagi siapa pun, termasuk bagi pelakunya. Justru kekerasan hanya akan menghancurkan umat manusia dan kehidupan, cepat atau lambat. (*)
*) Prof Dr Abd A'la, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya
Opini Jawa Pos 26 april 2010
25 April 2010
Dekonstruksi Nalar Kekerasan
Thank You!