ADA banyak aliran dalam filsafat pendidikan, yang masing-masing memiliki cara untuk menggugat kondisi internal dan personal seseorang dalam menyikapi kebutuhan ilmu pengetahuan ataupun kondisi eksternal seseorang dalam mengambil posisi terhadap kebutuhan belajar orang per orang. Karena itu, tak mengherankan jika tiap aliran mencoba untuk melakukan konstruksi 'pendidikan' dalam bingkai perubahan perilaku (behaviorisme), pemahaman konsep (kognitivisme), eksistensi pengalaman seseorang (humanistik), kebutuhan akan informasi (sibernetik) dan kondisi psikologis seseorang (motivasi).
Selain itu, untuk melakukan upaya transformasi sekolah sebagai lembaga yang egaliter, para pemikir pendidikan juga berusaha memasukkan konstruksi sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama ke ranah pendidikan. Apa pun pilihan seseorang atau kelompok ketika mendesain rencana pendidikan, pasti eksemplar kurikulumnya tidak bisa berada dalam posisi yang netral atau bebas nilai (value free). Konsekuensi logis dari adanya beban sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama terhadap dunia pendidikan pada akhirnya menimbulkan isu tentang kesetaraan (equality), baik dalam distribusi ide maupun praktek pendidikan yang berlangsung di ruang-ruang kelas.
Jika kesetaraan adalah fitrah yang secara normatif merupakan kebutuhan manusia secara keseluruhan, benar adanya jika konstitusi kita (UUD 1945) telah menyebutnya secara kasatmata. Karena itu, ketika Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), harapan untuk menegakkan kesetaraan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin sepenuhnya hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan adalah sebuah keniscayaan. UU BHP jelas-jelas merupakan upaya paksa penyelenggara negara yang ingin menggadaikan kesempatan masyarakat dalam memperoleh pelayanan pendidikan yang baik, sekaligus menjerumuskan dunia pendidikan kita ke dalam lingkaran setan penganut pasar bebas ala neoliberalisme. Menurut postulat neoliberalisme, si miskin harus bertanggung jawab terhadap kemiskinannya sendiri. Padahal 'pasar' yang diagung-agungkan itu tak punya banyak cara untuk memberi jalan keluar terhadap kemungkinan munculnya krisis sosial.
Kasus UU BHP merupakan kesalahan fundamental birokrasi pendidikan kita dalam memahami dan memaknai gagasan tentang kesetaraan yang berorientasi hanya kepada akses dan partisipasi (Lynch, 2000). Padahal sejatinya kesetaraan tidak saja harus dilihat dari tujuan dan proses pendidikan semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Hanya dengan cara pandang seperti itulah kita dapat merumuskan gagasan tentang kesetaraan kondisi (equality of condition) sebagai pendekatan dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang pro kepada kebutuhan publik.
Kesetaraan
Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya, kesetaraan kondisi (equality of condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks akses dan partisipasi. Dalam equality of condition fokus kita berikan bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purposes and process) pendidikan itu sendiri, melainkan juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan dalam pengakuan dan penghargaan (respect and recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas, dan cinta (love, care and solidarity). Semua jenis kesetaraan itu jelas membutuhkan kecerdasan birokrasi pendidikan kita untuk merealisasikannya.
Kesetaraan sumber daya harus dibuktikan dengan penciptaan sistem pendidikan yang lebih terbuka dan nondiskriminatif, sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan respek harus diciptakan bukan hanya dengan membangun budaya sekolah yang menghargai perbedaan, tetapi juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema pedagogis dan kurikulum yang memadai. Adapun kesetaraan kekuasaan harus dilihat dalam relasi guru-siswa yang semakin peduli dengan proses belajar-mengajar yang demokratis sehingga implikasi dari pandangan ini akan membawa keterbukaan pandangan untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing dalam proses belajar. Demokratisasi dalam dunia pendidikan merupakan ruang segar yang harus diciptakan sehingga antara siswa dan guru memiliki kebebasan untuk menyatakan perasaan dan pendapat mereka. Dalam konteks ini, kesetaraan kondisi-kondisi tersebut penting untuk dilakukan terlebih dahulu oleh penyelenggara pendidikan kita.
Ahmad Baedowi
Opini Media Indonesia 26 April 2010