BENGAWAN Solo, akhir Maret lalu meluap. Banjir menyebabkan belasan rumah warga di lingkungan Sukorejo dan Kedungringin Kelurahan Giritirto, Kecamatan Wonogiri Kota, Kabupaten Wonogiri, tergenang. Tidak ada korban jiwa dalam musibah tersebut (SM, 1/4/2010).
Berdasarkan pengalaman tahun 2007, luapan banjir Bengawan Solo pernah terjadi dalam debit yang lebih besar, dan menggenangi rumah penduduk dalam jumlah yang lebih banyak. Bengawan Solo sudah jauh berubah dari yang diindahkan Gesang dalam syair keroncongnya yang melegenda itu.
Bukan karena Gesang sekarang sudah amat sepuh untuk mengumandangkan ’’Bengawan Solo’’ tetapi ’’raja’’ sungai di Jawa beberapa tahun ini tersebut sering murka. Maka, luapan bengawan (sungai) itu harus terus diwaspadai.
Tahun 2009, luapan air Bengawan Solo menggenangi daerah Sragen, Wonogiri, Solo, serta sebagian wilayah Jatim seperti Ngawi, Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik. Salah satu persoalan besar yang menyebabkan banjir kronis tersebut adalah eksploitasi sumber daya yang tidak ramah lingkungan, sehingga sedimentasi di Waduk Gajahmungkur sangat tinggi.
Akibat pendangkalan yang sulit tertangani, usia waduk yang selesai dibangun pada 1981 itu berkurang dari perkiraan 100 tahun menjadi hanya 25 tahun. Penghijauan yang sebenarnya sudah dilakukan sejak 1969 terus mengalami degradasi, sehingga penutup lahan yang tersisa tinggal 13,5%. Bisa dibayangkan, betapa parah tingkat eksploitasi, terutama untuk budi daya pertanian di kawasan hulu.
Sepanjang aliran Bengawan Solo telah dirusak dan dieksploitasi secara tidak berperikesungaian. Akibatnya, hulu hilir yang seharusnya meliuk-liuk eksotik itu sudah sirna. Ada yang dipangkas menjadi anak-anak sungai. Banyak tangkis-tangkis di pinggirnya yang dibiarkan tergerus.
Ada pula yang bantarannya dipersempit dan dimanfaatkan untuk areal permukiman atau perintukan lain. Dengan kata lain, bengawan itu, disengaja atau tidak, cenderung ’’dirusak’’ menjadi merana. Maka, ketika lekukan aliran tidak bisa lagi mengalirkan air hujan deras dan ketika derasnya air yang mengalir tak diimbangi dengan tangkis yang kukuh, jadilah sungai yang eksotik tersebut murka. Ia mengancam merendam kawasan sekitarnya.
Jelas, semua pihak yang terkait dengan Bengawan Solo tak bisa tinggal diam. Apalagi luas daerah aliran sungai (DAS) tersebut amat luas, sekitar 16.000 km2. Ada banyak pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Dari petani, nelayan, penambang pasir, pemprov serta beberapa pemkab dan pemkot, hingga industri, terutama di bagian hilir. Pemprov berusaha menyelesaikan persoalan banjir tersebut melalui normalisasi sungai bekerja sama dengan Pemkab Wonogiri, Karanganyar, Sragen, serta Sidoarjo (Jatim). Pengerukan Waduk Gajahmungkur tidak memungkinkan, karena anggarannya melebihi kemampuan (SM, 04/03/09).
Secara Komprehensif Sekarang harus ada upaya mengelola aliran bengawan tersebut secara komprehensif, bukan sepotong-sepotong. mengubah perilaku mirip kolonialis terhadap ekosistem dan lingkungan di sepanjang alirannya. Kita harus lebih ramah sekaligus bertindak memulihkan fungsi aliran sungai tersebut secara benar dan tepat. Hutan-hutan dan kawasan penyangga di sekitarnya harus dihijaukan lagi agar sungai itu ketika musim hujan tidak berpotensi menghadirkan bencana.
Khusus DAS Bengawan Solo, penanganannya harus terpadu, meliputi seluruh DAS dengan upaya mitigasi yang lebih luas (tidak hanya mitigasi struktural) dan melibatkan seluruh pemangku kebijakan (pemkot/pemkab, Proyek Bengawan Solo, Jasa Tirta, Dephut, Perhutani, PDAM, dunia usaha, dan masyarakat). Sungai itu melewati beberapa kabupaten di dua provinsi, yakni Jateng dan Jatim. Artinya, kepala daerah di beberapa kabupaten itu, yang dikoordinasikan oleh dua gubernur, perlu duduk bersama membicarakan upaya perbaikan DAS. Persoalan ini tak bisa diserahkan kepada satu kepala daerah saja. Bukan semata-mata tanggung jawab Bupati Wonogiri yang daerahnya menjadi awal sungai tersebut.
Selain itu, membangun bendung-bendung, waduk, atau situ di bagian tengah dan hilir untuk membantu menahan limpahan air dari bagian hulu. Tak kalah pentingnya, harus ada masyarakat yang kuat dan mampu memainkan peran kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang lingkungan. Kontrol ini bertujuan menjamin kepentingan bersama di bidang lingkungan. (10)
— Sutrisno, guru SMP Negeri 1 Wonogiri
Wacana Suara Merdeka 26 April 2010