25 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Nasionalisme dan Komunikasi Kehumasan

Nasionalisme dan Komunikasi Kehumasan

Oleh Petrus Suryadi Sutrisno

Miskomunikasi antara pekerja asing dan pekerja Indonesia yang terjadi di Batam memicu kemarahan ribuan pekerja Indonesia di pabrik galangan kapal PT Drydock World Graha di Tanjung Uncang, Batam, 22 April lalu. Peristiwa itu, seperti diklaim Polri, tidak membawa korban jiwa tetapi sedikitnya melukai 25 pekerja asing, menyebabkan hancurnya 25 kendaraan dinas perusahaan, serta meluluhlantakkan  60 persen bagian pabrik dan perkantoran sehingga tidak dapat  berfungsi.

Kemarahan ribuan pekerja Indonesia ini dipicu perkataan pekerja asing yang ditengarai warga negara India yang marah pada seorang karyawan Indonesia. Ia lalu mengatakan,  ”Orang Indonesia bodoh”. Kata-kata inilah yang memicu ribuan karyawan Indonesia marah dan melakukan perlawanan terhadap semua pekerja warga India yang diperkirakan jumlahnya 120 orang.



Kapoltabes Barelang (Batam-Rempang-Galang) Ajun Komisaris Besar Leonindas Braksan menyebut peristiwa ini sebagai ”perkelahian massal” yang membuat banyak pekerja asing  ”hengkang” dari Batam melalui pelabuhan Sekupang, Batu Ampar, dan Marina karena takut menjadi sasaran ”amuk massa” pekerja Indonesia. Sejauh ini, Polri, Depnakertrans, dan Pemkot Batam telah menangani peristiwa ini.

Perkataan pekerja asing terhadap seorang karyawan Indonesia tadi secara sosiologis, politis, dan psikologis dianggap sebagai penghinaan bukan hanya terhadap orang Indonesia tetapi juga penghinaan terhadap bangsa dan rakyat Indonesia. Kita seharusnya berhati-hati dan mencari tahu apa benar pelakunya warga negara India, karena di Batam dan Singapura banyak   warga negara Singapura keturunan India.

Dari aspek sosiologis, pekerja asing itu tidak mampu menunjukkan sikap yang menyatu dengan pekerja lokal dengan sikap in-group feeling terhadap rekan-rekan pekerja Indonesia. Sikap tersebut seharusnya ditunjukkan karena sebagai supervisor pabrik, ia dianggap memahami statusnya sebagai pekerja asing yang bekerja di negeri orang, dan tidak layak untuk mengekspresikan sikap out-group feeling dengan kata-kata ”orang Indonesia bodoh”.

Dilihat dari aspek politisnya, pekerja asing tersebut melakukan kesalahan fatal dan semestinya tidak boleh melakukan generalisasi yang konyol dengan sebutan ”bodoh” karena  perkataan ini akan mengusik rasa nasionalisme/kebangsaan ribuan pekerja Indonesia.  Kata-kata inilah yang menjadi pemicu kemarahan dan mendorong aksi perusakan dan pembakaran. Rasa kebangsaan sebagai rakyat Indonesia yang dihina dan disebut bodoh ini jugalah yang menjadi kekuatan moral ribuan pekerja Indonesia untuk menyatakan bahwa karyawan Indonesialah yang sebenarnya ”tuan” di negeri Indonesia sendiri, sementara pekerja asing harus sadar dan harus berterima kasih karena mendapat pekerjaan dan penghasilan di negeri ini, bukan malah menghina orang Indonesia.

Secara psikologis, penghinaan dengan sebutan ”bodoh” oleh pekerja asing   terhadap  orang Indonesia telah mendorong defence mechanism pada diri ribuan karyawan Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penghinaan yang tidak bisa mereka terima. Dan ini merupakan persoalan psikologis untuk mempertahankan martabat dan harkat diri sebagai manusia Indonesia.

Pemilik perusahaan Dubai atau otoritas pemerintah Indonesia tidak bisa menyalahkan ribuan pekerja Indonesia yang telah bertindak anarkistis dan kriminal melalui aksi perusakan dan pembakaran terhadap aset perusahaan atau perlawanan terhadap manajemen dan para pekerja asing. Pekerja asing  tersebutlah yang seharusnya bertanggung jawab karena memicu tindakan anarkistis dan menghina ribuan pekerja dan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, harus disosialisasikan secara luas bahwa kasus ini adalah masalah  internal pabrik  akibat kesalahan dan tindakan rasialis pekerja pabrik sendiri. Kerusuhan ini murni ”kecelakaan internal korporasi” yang tidak perlu jadi sumber ketakutan perusahaan-perusahaan lain untuk memindahkan pabriknya keluar Batam.

Perusahaan seperti PT Drydock yang mempekerjakan ribuan pekerja asing dan pekerja lokal, harus memiliki unit organisasi public relations atau humas. Selama ini, perusahaan itu telah mengensampingkan peran tugas  dan pelibatan pendekatan komunikasi kehumasan sebagai kelengkapan organisasi perusahaan.  

Setelah memiliki unit humas, maka tupoksinya  baru mencapai tahapan yang tergolong mainstream, hanya mengurusi hubungan internal antarkaryawan secara formal dan hubungan eksternal dengan instansi pemerintah/swasta dan media massa sewaktu-waktu saja. Humas tidak menjangkau fungsi dan pendekatan ”precision public relations” dan ”corporate intelligence”. Melibatkan pakar komunikasi kehumasan untuk mencegah kemarahan karyawan yang berpotensi mengganggu proses produksi, tindakan anarkistis bahkan tindakan lain yang lebih keras seperti ”mogok” atau ”boikot” memang mahal. Akan tetapi, akan lebih mahal lagi biayanya jika terjadi peristiwa seperti di Batam ini.

Pendekatan komunikasi kehumasan berfungsi sebagai ”antidemo” dan ”antipemogokan”. Pendekatan ini  berhasil dilakukan pada kasus serupa di PT Showa Indonesia Mfg Bekasi sekitar tahun 2002 dan 2004-2005 ketika terjadi aksi demo dan boikot terkait divestasi PT Telkom di berbagai kota besar di Indonesia misalnya.

Kasus di pabrik galangan kapal PT Drydock Batam ini berbeda dengan Aliansi Buruh Pabrik Galangan kapal Gdansk di Polandia  era 1980-1981. Penanganan internal Drydock pascakerusuhan ini dan solusi beberapa instansi terkait  yang tidak tepat akan membuka kemungkinan munculnya tindakan strikes, boycotts, go-slows, human barricades, sit-ins , dan occupations (Michael Randles, 1994) jika  tidak memenuhi rasa keadilan dan mengobati penghinaan rasa kebangssaan orang Indonesia.

Pengalaman pekerja Indonesia ini merupakan ”kekuatan tersembunyi” yang menjadi ”hidden resistance” dan sewaktu-waktu bisa pecah dan muncul ke permukaan (James Scott, 1985).***

Penulis, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi dan Pengajar/Konsultan Senior Komunikasi-Kehumasan.
Opini Pikiran Rakyat 26 April 2010