19 April 2010

» Home » Kompas » Rekonstruksi Kebijakan Kelautan

Rekonstruksi Kebijakan Kelautan

Ketika pertama kali Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad tampil di IPB dalam acara seminar nasional perikanan tangkap, 9 November 2009, banyak kalangan menaruh harapan besar pada gagasan pengembangan cetak biru kebijakan kelautan dan perikanan nasional berupa ocean policy, ocean economic, dan ocean governance yang diungkapkannya.
Namun, entah kenapa, kemudian gagasan yang muncul adalah kebijakan minapolitan yang bersifat sangat mikro dan teknis yang jauh dari gagasan besar ocean policy, ocean economic, dan ocean governance. Dalam waktu dekat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan meluncurkan kebijakan minapolitan secara nasional. Minapolitan jadi program unggulan Fadel. Pada berbagai kesempatan, Fadel sangat aktif mengampayekan target program KKP hingga 2015, yakni menjadikan Indonesia penghasil ikan terbesar dunia, menggeser dominasi China yang saat ini peringkat satu dunia.


Minapolitan bukanlah kebijakan yang secara konseptual memiliki muatan pemikiran baru. Kebijakan tersebut sebenarnya bentuk lain dari konsep kebijakan agropolitan yang pernah dikembangkan di Gorontalo, yaitu agropolitan jagung. Sebagai mantan Gubernur Gorontalo, Fadel berambisi menerapkan kebijakan minapolitan secara nasional yang basis pemikirannya mirip dengan agropolitan jagung. Meskipun agropolitan jagung di Gorontalo kelihatannya berhasil, tak bisa serta merta dapat diadopsi untuk sektor kelautan dan perikanan sebab karakteristik komoditas dan sosial budaya pelaku ekonominya mulai dari off farm hingga on farm sangat berbeda. Buktinya, kebijakan yang mirip dengan agropolitan jagung, yaitu kebijakan etalase kelautan dan perikanan, yang pernah dikembangkan di Gorontalo tahun 2002 untuk pengembangan komoditas perikanan tidak tampak hasilnya.
Pilihan kebijakan minapolitan bisa dikatakan terlalu sederhana dan terdapat kelemahan mendasar, yaitu; pertama, tujuan minapolitan sangat berorientasi pada peningkatan produksi. Tujuan ini sangat berbahaya sebab orientasi mengejar pertumbuhan produksi ikan, baik dari kegiatan penangkapan maupun budi daya, berpotensi mengancam kelestarian sumber daya perikanan.
Kita punya pengalaman pahit menyangkut kebijakan yang berorientasi mengejar target pertumbuhan produksi, seperti kebijakan motorisasi dan program peningkatan ekspor hasil perikanan (Protekan, 2003) pada masa Orde Baru, gerakan mina bahari (GMB) pada masa Rokhmin Dahuri, dan revitalisasi perikanan pada masa Fredy Numberi. Semua kebijakan tersebut menuai kontroversi serta bernasib sama, tidak mampu menyelesaikan masalah di sektor perikanan. Ibarat peribahasa, kebijakan tersebut layu sebelum berkembang.
Kedua, minapolitan menggunakan pendekatan berbasis kawasan. Di sinilah titik lemahnya. Sebagai menteri baru, Fadel belum mengenali secara komprehensif konstruksi peraturan perundangan yang selama ini telah dibangun KKP. Pengembangan kawasan minapolitan berpotensi menabrak peraturan perundangan mengenai tata ruang dan kawasan konservasi laut. Hingga saat ini, Indonesia telah menetapkan 13,4 juta ha kawasan laut terlindungi. Untuk kawasan budi daya laut, Indonesia hanya mempunyai potensi 8,4 juta ha dan telah termanfaatkan sekitar 84,5 ribu ha. Apabila kebijakan minapolitan dikembangkan secara masif, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi perambahan kawasan laut terlindungi untuk kegiatan budi daya. Artinya rezim minapolitan akan saling berhadapan dengan rezim konservasi.
Fakta lain, kita punya problem serius kerusakan terumbu karang: di wilayah laut bagian timur 76,8 persen, barat 67,4 persen, dan tengah 64,6 persen. Kebijakan minapolitan akan mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang sebab penggunaan pakan secara eksplosif pada kegiatan budi daya akan mencemari dan merusak kualitas perairan laut. Minapolitan juga akan menghilangkan ekosistem hutan mangrove sebab akan terjadi konversi jutaan hutan mangrove untuk perluasan budidaya tambak.
Ketiga, pertumbuhan produksi melalui minapolitan akan meningkatkan pendapatan nelayan dan pembudidaya ikan. Problem nelayan dan pembudidaya ikan bukan terletak pada kemampuan meningkatkan produksi, tetapi pada lemahnya posisi tawar mereka dalam struktur sosial ekonomi di lingkungan sekitarnya.
Hampir di semua wilayah di Indonesia menghadapi problem kemiskinan nelayan yang sama akibat kuatnya pengaruh relasi sosial patron client antara pemilik modal (juragan/tauke/punggawa) dan nelayan yang telah berlangsung lama dan turun-temurun. Pemilik modal sangat besar pengaruhnya dalam menentukan struktur biaya operasi, harga, upah, dan pasar. Rekayasa kelembagaan yang pernah dikembangkan KKP 2001-2009 tidak mampu atau bisa dikatakan gagal memutus ketergantungan nelayan pada pemilik modal.
Kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan termasuk kebijakan minapolitan berpeluang dimanfaatkan pemburu rente atau pihak-pihak tertentu yang berkepentingan secara ekonomi karena memiliki pengaruh politik atau lobi di tingkat pusat maupun daerah. Misalnya, perkembangan budidaya ikan di berbagai daerah yang masif sebagai dampak dari kebijakan minapolitan hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan pakan ikan multinasional sebab mereka yang akan mengendalikan harga pakan.
Konstruksi kebijakan
Harus diakui, sejak KKP berdiri pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid sampai kini prestasi pembangunan kelautan dari sisi ekonomi belum menunjukkan hasil menggembirakan. Antara potensi sumber dan hasil tak sebanding. Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB 2004-2008 rata-rata hanya 2,3 persen. Rendahnya kontribusi bukan semata karena rendahnya produksi, yaitu 8,7 juta ton (2008), di mana 60 persen dari kegiatan penangkapan.
Terdapat persoalan mendasar yang belum tuntas pada tingkat makro struktural yang menyebabkan sampai saat ini posisi tawar sektor kelautan dan perikanan masih sangat lemah dibandingkan dengan sektor lain. Gagasan ocean policy, ocean economic, dan ocean governance merupakan konstruksi kebijakan kelautan dan perikanan yang sangat strategis yang mestinya dapat dijabarkan secara komprehensif dengan tahapan implementasi jelas oleh KKP untuk menjawab masalah makro struktural.
Pertama, infrastruktur pelabuhan perikanan, termasuk jaringan transportasi darat dan laut. Pelabuhan perikanan sebagai pusat dan barometer aktivitas ekonomi perikanan tangkap di Indonesia kondisinya sangat memprihatinkan. Jumlah pelabuhan perikanan tak sebanding dengan potensi dan luas wilayah perairan laut.
Fasilitas yang ada kebanyakan tak layak atau di bawah standar, sehingga sulit mengharapkan investor domestik ataupun asing datang. Tidak berkembangnya pelabuhan perikanan di Indonesia disebabkan lemahnya dukungan perangkat hukum. Pelabuhan perikanan tak secara spesifik diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ataupun PP No 70/1996 tentang Pelabuhan. Pengaturan pelabuhan perikanan hanya pada tingkat Keputusan Menteri No 16/2006.
Kedua, rekayasa teknologi. Belum ada kebijakan yang jelas mengenai roadmap riset-riset strategis di bidang rekayasa teknologi penangkapan, budidaya, ataupun industri pengolahan ikan. Rekayasa teknologi kelautan dan perikanan sangat penting untuk menjawab persoalan rendahnya produktivitas kegiatan penangkapan dan budidaya serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk perikanan Indonesia. Hasil-hasil riset kelautan dan perikanan selama 2004-2008 sangat sedikit.
Ketiga, realisasi investasi. Harus diakui, sektor kelautan dan perikanan belum jadi sektor andalan untuk menarik investor. Realisasi investasi masih sangat rendah. Selama 2004-2008, izin usaha PMDN yang dikeluarkan rata-rata hanya satu, dengan nilai Rp 1,64 miliar; sedangkan PMA rata-rata empat, dengan nilai Rp 14 miliar per tahun.
Terdapat beberapa permasalahan yang menyebabkan rendahnya minat investasi, yaitu adanya local risk,, yakni kondisi sosial budaya dan politik yang tak kondusif, seperti kerusuhan; harga BBM—khususnya solar—yang relatif tinggi berpotensi menurunkan margin keuntungan; pasokan bahan baku industri pengolahan ikan tak optimal akibat terbatasnya armada perikanan tangkap skala industri.
Kemudian, pasokan listrik yang terbatas juga jadi kendala. Demikian pula banyaknya pungutan, seperti pungutan pengusahaan perikanan, hasil perikanan, retribusi sertifikasi mutu ekspor, retribusi daerah, pajak bumi dan bangunan laut, pungutan desa, sumbangan dan pungutan liar lainnya serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen atas ikan hasil tangkapan yang dijual untuk bahan industri pengolahan ikan.
Diperlukan konstruksi kebijakan fundamental yang mampu memangkas hambatan investasi melalui strategi membangun kawasan otoritas khusus untuk mengembangkan industri kelautan dan perikanan nasional di wilayah pulau-pulau kecil potensial atau wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, serta diharapkan akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis sumber daya kelautan dan perikanan.
Keempat, pembiayaan/permodalan. Kendala pembiayaan terkait antara lain: karakter pelaku usaha, yaitu nelayan dan pembudidaya ikan belum bisa memenuhi persyaratan formal perbankan; usaha perikanan termasuk jenis usaha berisiko tinggi sebab sangat bergantung pada alam; mekanisme dan struktur pasar belum tertata baik serta belum ada pihak/perusahaan penjamin khusus perikanan.
Thomas Nugroho Dosen Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, FPIK IPB

Opini Kompas 20 April 2010