19 April 2010

» Home » Solo Pos » Meragukan laporan harta pejabat

Meragukan laporan harta pejabat

Sejumlah media massa mengungkapkan ada mantan pejabat pajak yang kekayaannya Rp 70 miliar.

Pejabat itu mengatakan hartanya hasil hibah. Ini perlu diklarifikasi. Bisa jadi pejabat negara merekayasa kekayaannya yang berasal dari hibah agar tidak dicurigai peningkatannya berasal dari menyalahgunakan kewenangannya. Ada ungkapan tidak tertulis di kalangan penyelenggara negara; sulit menjadi pejabat saat ini, sedikit-sedikit dituding korupsi sampai harta pribadi pun diawasi.

Keluh kesah tersebut sering dilontarkan sehubungan upaya pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi harus dimulai dari birokrasi. Diakui atau tidak, birokrasi yang bobrok adalah sumber krisis negara. Jika ingin negara berjaya, tidak bisa tidak birokratnya harus bersih, karena penyelenggara negara adalah garda terdepan dalam menjaga dan mengelola aset negara. Namun, perilaku koruptif tampaknya sudah mendarah daging di kalangan birokrat. Karena tidak mudah mengawasi pejabat negara dan jutaan birokrat di Indonesia, maka para penyelenggara negara atau pejabat harus menyerahkan laporan harta kekayaannya

Data yang dimiliki KPK pada akhir Maret 2010, pada fungsi eksekutif dari 83.297 penyelenggara negara 65.374 telah menyampaikan laporan kekayannya atau 77%. Dalam fungsi legislatif, dari 15.996 sebanyak 15.775 telah melaporkan kekayaannya atau 98%. Sedangkan dalam bidang yudikatif dari 9.934 yang telah melaporkan adalah 8.832 atau 88%. Dari BUMN dan BUMD, terdapat 10.221 pejabat dan hanya 5.706 yang telah melaporkan atau 55,8%.

Perbaikan regulasi

Laporan kekayaan penyelenggara negara selama ini berhenti pada pengumuman tanpa ada kejelasan tindak lanjut setelah ada publikasi. Tidak ada implikasi apa pun atas laporan kekayaan penyelenggara negara karena masyarakat tidak ikut mengawasinya. Menurut pendapat Revrisond Baswier, sangat mustahil jika dalam waktu lima tahun menjabat kekayaan penyelenggara negara bisa berlipat hingga 10 kali. Padahal gaji menteri, presiden dan pejabat lainnya termasuk eksekutif badan usaha milik negara tidak lebih dari Rp 150 juta setiap bulan.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan transparan, Indonesia tak perlu jauh-jauh berkaca pada negara maju. Dibandingkan dengan sesama negara berkembang—seperti Filipina dan Thailand—bangsa kita sudah kalah langkah. Kedua negara itu mencantumkan ketentuan tentang pentingnya pejabat negara yang bersih dari bisnis dan konflik kepentingan dalam konstitusinya. Regulasi di sana mewajibkan para penyelenggara negara melaporkan kekayaannya dan melarang rangkap jabatan. Hal serupa dilakukan Afrika Selatan agar selingkuh kepentingan sang pejabat bisa dicegah sedini mungkin.

Aturan soal Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama ini berpedoman pada Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No SE/03/M.PAN/01/2005. Sebelumnya, di era Orde Baru telah ada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pejabat dan Keppres No 52/1971 tentang Laporan Pejabat Mengenai Kewajiban Membayar Pajak Pribadi. Namun, peraturan tinggal peraturan, tidak digubris, hanya dijadikan pajangan. Selama Orde Baru, laporan kekayaan pejabat disimpan sama sekali, tidak bisa diakses oleh publik. Kemudian pada era reformasi lahir Tap MPR No XI/MPR/ 1998, Tap MPR No IV/MPR/ 1999 dan UU No 28/1999. Secara tegas diperintahkan perlunya penyelenggara negara dibersihkan dari praktik KKN dan memeriksa kekayaan penyelenggara sebelum atau setelah menjabat.

Kini, pemerintah berencana mengubah aturan soal LHKPN, karena sampai sekarang penyelenggara negara yang harus melaporkan kekayaannya hanya setingkat menteri sampai dengan pejabat eselon II. Artinya, dengan direvisinya beleid ini maka kemungkinan para penyelenggara negara yang bukan eselon II juga harus melaporkan kekayaannya. Perbaikan beleid ini terkait dengan kasus pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Gayus Tambunan yang hanya menjabat pegawai golongan III, harta kekayaannya melebihi gaji yang diterimanya.

Penelitian Indonesia Corruption Watch menunjukkan, laporan kekayaan penyelenggara negara kepada KPK tidak pernah bisa diperiksa secara detail karena lembaga itu tidak memiliki wewenang memeriksa aliran dana ke rekening para pejabat. KPK sebenarnya bisa memaksimalkan pengawasan laporan kekayaan pejabat negara melalui pelibatan publik. Repotnya, pejabat negara sekarang ini sebenarnya sarat dengan keinginan memperkaya diri atau menjadi sumber dari kejahatan korupsi. Sehingga aparat penegak hukum mulai dari kejaksaan dan kepolisian juga terbawa dalam lingkaran setan korupsi. Jadi seolah-olah serba salah, karena jika menjalankan perangkat-perangkat hukum itu sama dengan menindak diri sendiri, istilahnya sama saja dengan menjerat diri sendiri.

Roberto Mangabeira Unger, dalam buku Law In Modern Society, Toward A Criticism of Social Theory, bertutur tentang autonomous law atau hukum yang otonom. Maksudnya hukum berlaku tanpa pandang bulu, baik bagi pihak yang membuat hukum, maupun bagi yang harus melaksanakan hukum itu. Sejarah kerajaan di Indonesia juga bertutur ketika Ratu Sima dari Kerajaan Kalingga di Jawa tahun 674 M menerapkan hukum tanpa pandang bulu. Keadilan dan konsistensinya menegakkan hukum membuat kerajaan tetangga ingin menguji dengan mengutus hulubalang dari kerajaan itu menebarkan pundi-pundi emas ke jalan-jalan. Suatu saat malah putera mahkota yang tidak sengaja mengambil pundi-pundi emas hingga membuat Ratu Sima murka dan memotong tangan anaknya karena secara fisik menyentuh pundi emas. Cerita sejarah yangsudah melegenda itu membuktikan negara kita pun sudah menggunakan konsep hukum yang otonom.

Tetapi Indonesia masa kini dengan masa lampau ibarat dua kutub yang berbeda. Pelaporan kekayaan pejabat negara hanya bagus di teori saja, tetapi dalam praktiknya patut dipertanyakan implementasinya. Political will dan law enforcement officers penguasa selama ini sekadar retorika dan manuver politik. -Oleh : Harno Budi Prabowo Ketua Presidium Lingkar Studi Masyarakat Madani Surakarta - Oleh : Harno Budi Prabowo Ketua Presidium Lingkar Studi Masyarakat Madani Surakarta


Opini SoloPos 20 April 2010