19 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Belajar dari Malaysia

Belajar dari Malaysia

Oleh Ryo F. Wilantara

Belilah barangan Malaysia, demikian slogan yang mudah ditemui di beberapa sudut strategis di pelosok negeri jiran dalam satu tahun terakhir ini. Esensinya sama dengan yang dilakukan di Indonesia di rentang 1985-1986, ”Cintailah Produk Indonesia”.  Maksud dan tujuannya jelas, agar konsumen dalam negeri lebih perduli dan memilih produk dalam negeri ketimbang produk luar. Dampaknya secara ekonomis, menjaga kegairahan pelaku industri dalam negeri yang berimbas pada perluasan kesempatan kerja.

Secara emosional, membangkitkan rasa nasionalisme dan rasa cinta kepada bangsa dan negara, yang imbas rasionalnya akan menciptakan rasa percaya diri, kemandirian, dan membebaskan bangsa ini dari ketergantungan pada barang-barang impor. Hal itu sangat relevan dan konstektual, bila dikaitkan dengan kenyataan 2010 ini kita telah menyepakati kesepakatan pasar bebas ASEAN-Cina. Dihapuskannya bea masuk produk orisinal dari negara-negara anggota ACFTA menyebabkan pasar domestik menjadi arena kurusetra. Bila produksi dalam negeri lemah, karena faktor kultural ataupun struktural, maka dapat dipastikan industri dalam negeri akan mati suri. Konsekuensinya jelas yakni PHK massal akan terjadi.


Kehadiran kementerian baru selepas Pilihan Raya 1995, yaitu Kementerian Pembangunan Usahawan telah memicu kesadaran tentang pentingnya perlindungan usaha dalam negeri. Malaysia dalam dokumen resminya mengakui, industri kecil dan sederhana (IKS) memainkan peranan penting dalam pembangunan dan perkembangan ekonomi negara. Kadar pertumbuhan ekonomi yang pesat, yaitu rata-rata 8,4 persen setahun dalam masa  1989-1994 tidak mungkin tercapai tanpa sumbangan dan sokongan besar IKS. Maka keputusan membuka kementerian yang menangani masalah itu lebih serius, adalah keputusan yang mutlak dilakukan.

Salah satu program kementerian tersebut antara lain, mengembangkan Industri Kecil dan Sederhana (IKS) melalui pengguliran dana sebesar 25 juta ringgit dan membantu tenaga pendamping usaha IKS sebanyak 150 orang. Diharapkan, IKS menjadi ”tulang belakang dan pendokong” dalam memenuhi hasrat dan cita-cita wawasan pembangunan ekonomi negara selepas 2020 (pmr.penerangan.gov.my, 2009). Disadari pula, permodalan IKS, 70 persen bersumber dari dana keluarga, maka pihak kerajaan mendorong perbankan untuk menentukan tingkat suku bunga yang rendah. Kontribusi IKS diakui mampu menyediakan 44,2 persen peluang pekerjaan dari jumlah tenaga kerja dalam sektor perkilangan, 48,9 persen dan 31,7 persen masing- masing dalam jumlah nilai keluaran dan jumlah nilai harta tetap. Secara umum, IKS membuka banyak peluang pekerjaan, sumbangan dalam meningkatkan jumlah devisa negara  dan memperkuat nilai tukar, menjadikan distribusi pendapatan yang lebih baik, serta mempercepat alih teknologi.

Otoritas kerajaan yang mengatur seluruh aktivitas pembangunan di Malaysia sangat membawa dampak positif kepada kepuasan masyarakatnya, terutama fasilitas publik dan infrastruktur. Pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan, kenyamanan transportasi, perdagangan, juga pelayanan masyarakat dalam penyaluran listrik dan air yang merata ke setiap daerah terpencil di malaysia. Kelebihan lainnya adalah fasilitas jalan yang memadai. Kemudian, Kementrian Kemajuan Luar Bandar dan Wilayah (KKLW) Malaysia membuat suatu program yg bernama ”membandarkan kawasan luar bandar” (mengotakan kawasan perdesaan).

Pemerintah Malaysia juga mengonsentrasikan pembangunan SDM. Pembangunan SDM mulai lebih ditingkatkan khususnya di kawasan perdesaan, pemberian pelatihan dan pendidikan nonformal atau basic empowerment kembali ditingkatkan untuk menghasilkan SDM yang mampu berdaya saing tinggi. Karena tidak bisa dimungkiri juga tidak mudah untuk mengubah gaya hidup masyarakat desa yang terlalu berpuas diri dengan apa yang telah didapat dan cenderung malas mengembangkan diri akibat dari kebiasaan kultural yang sudah turun-temurun, hal ini menjadi tantangan serius juga yang dihadapi kerajaan.

Membicarakan masalah pembangunan dan pemberdayaan masyarakatnya, khususnya masyarakat miskin dalam mengembangkan usaha kecil menengah (UKM) atau di Malaysia lebih dikenal IKS.  Untuk mendapatkan modal pinjaman setiap kementerian di negara itu menyediakan lembaga pinjaman berbunga rendah bagi rakyatnya. Pengusaha diberi bimbingan dan latihan sesuai dengan bidang usaha yang diajukan melalui proposal bisnis mereka.

Namun, dalam hal mengonsumsi produk pun mentalitas orang Malaysia khususnya Melayu mempunyai ego dan gengsi yang besar dan terkesan tidak mau kalah dengan orang lain. Masyarakat lebih memilih barang-barang impor yang mempunyai brand ternama. Akan tetapi, strategi pemerintah dalam menasionalisasikan warganya sedikit-sedikit mulai berhasil dengan mencoba menggerakkan dan mengembangkan produsen-produsen lokal untuk meramaikan pasar di Malaysia, juga membatasi volume barang impor yang masuk serta mengubah mindset masyarakatnya melalui penyuluhan-penyuluhan langsung yang akibatnya rasa kepercayaan masyarakat kepada barang lokal semakin tinggi. Sebagai contoh, industri otomotif lokal malaysia yaitu Proton, berhasil merebut kepercayaan masyarakat malaysia dengan penjualannya yang merambah ke negara-negara tetangga (Indonesia, Singapura, dan Thailand) juga keharusan setiap elemen pemerintah menggunakan mobil nasional ini termasuk perdana menteri kian menambah keyakinan masyarakat.

 Dalam programnya, pemerintah Malaysia menganjurkan kepada masyarakatnya untuk selalu cinta kepada produk lokal karena dalam era globalisasi ini persaingan bebas akan semakin ketat, bagaimana caranya pemerintah mengikis sedikit demi sedikit sifat gengsi kolektif masyarakat menjadi lebih mencintai hasil buatan barang lokal Malaysia demi terciptanya pembangunan industri lokal yang dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Dengan demikian, tidak ada salahnya kita belajar dari adik serumpun kita. Walahualam.***

Penulis,  mahasiswa S-2 University of Malaya. Alumnus Unpas.
Opini Pikiran Rakyat 20 April 2010