19 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Tafsir Keabsahan Perkawinan Samin

Tafsir Keabsahan Perkawinan Samin

Peristiwa penting penduduk di Blora, terutama perkawinan komunitas Samin, merupakan salah satu tradisi yang harus dilestarikan berdasarkan semangat kebangsaan

DUA hari berturut-turut harian ini (5-6 April 2010) menurunkan liputan tentang perkawinan komunitas sedulur sikep (penganut ajaran Samin) di daerah Blora. Kemudian ada komentar dari Saudara M Thohir (SM, 08/04/10) yang merujuk pada judul berita ’’Sah, Perkawinan Penganut Kepercayaan’’ (SM, 30/01/10). 

Saudara M Thohir, menggugat keabsahan perkawinan yang memakai atau menggunakan ritual penganut kepercayaan. Bagaimana sebaiknya respons terhadap perkawinan penganut ajaran Samin dan tafsir keabsahan perkawinannya menurut hukum?



Saudara M Thohir menggugat keabsahan perkawinan samin berdasarkan asumsi logika bahasa undang-undang (UU), terutama arti leksikal kepercayaaan. Pangkal pemahaman kata kepercayaan dianalogkan dengan takrif agama. Tetapi kemudian konklusi dari pemahaman kata kepercayaan dikembalikan pada aturan dalam konstitusi (UUD 1945). Dari alur berpikir untuk memperoleh pemahaman kata kepercayaan  terasa kurang tuntas. Satu sisi pemahaman kata kepercayaan memakai frame agama, tapi di sisi lain menggunakan sudut logika aturan dalam UUD.

Cara membaca UUD, tidak seperti ’’mengeja’’ UU tetapi dibaca dengan pendalaman filosofis yang terkandung di dalam UUD. Ronald Dworkin menggunakan istilah moral reading, Oliver Wendell Homes memakai istilah ’’memutus dengan parameter pengalaman’’. Adapun Paul Scholten menggunakan pendekatan ’’memutus dengan unsur lompatan’’, JM van Dunne dengan model ’’gagasan integratif’’, dan Prof Dr Satjipto Rahardjo menggunakan pendekatan hukum untuk manusia.

Kata ’’dan’’ pada UUD 1945 Pasal 29 (2) atau Pasal 2UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak dibaca hanya dari logika positivistik dan legal formal. Kata kepercayaan dengan frame agama berbeda dari agama (formal) ansich.
Tetapi secara sosiologis keduanya tidak bebeda karena ada keyakinan, sistem sosial, norma, dan ritual. Kita tidak bisa menghukum bahwa kelompok penganut kepercayaan itu salah, keliru, pendosa, dan masuk neraka hanya gara-gara tidak ada label agama.

Tulisan ini tidak akan memperpanjang bahasan dalam mencari makna yang pas arti kata ”dan” yang menggabungkan antara agama dan kepercayaan, karena keterbatasan ruangan. Tetapi lebih bagaimana cara memahami aturan atau UU dari ranah sosiologis dan filosofis. Formulasi dan pemahaman produk UU tidak sekadar menggunakan metode normatif, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek filosofi untuk menunjukkan nilai keadilan dan aspek sosiologis sebagai pertimbangan untuk mendapatkan kemanfaatan dari UU.
Hukum  Adat Dalam amandemen ketiga Bab I Pasal 3 UUD dinyatakan ’’ Negara Indonesia adalah negara hukum’’. Sangat jelas bahwa Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara UU. Memaknai negara hukum yang berkualitas tidak hanya sebatas negara sebagai manifestasi hukum tetapi lebih mengutamakan hukum untuk manusia. Menurut Satjipto Rahardjo, pemaknaan negara hukum bukan konsep yang final tetapi  proses yang terus-menerus untuk makin menampilkan ciri keindonesiaan.

Salah satu sumber hukum nasional adalah hukum adat. Komunitas sedulur sikep yang memiliki ritual dan tata cara sendiri dalam melangsungkan perkawinan merupakan salah satu aset budaya lokal (adat). Hukum tidak identik dengan UU. Sumber hukum yang berkembang di masyarakat (adat) juga merupakan sumber hukum yang diakui oleh negara.

Kita melihat ritual perkawinan komunitas sedulur sikep juga memakai kaidah dan norma perundangan. Yaitu adanya wali (orang tua), saksi (undangan dan keluarga), mempelai, ijab dan kabul, serta mahar (yang tidak dinyatakan secara terbuka di hadapan forum) (Nihilisasi Peran Negara, Potret Perkawinan Samin, Moh Rosyid MPd; 2009). Maka, secara subtansi perkawinan komunitas samin sudah sejalan dan memenuhi UU.

Masyarakat Samin di Blora diakui keberadaannya oleh pemkab dan telah terdaftar di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Peristiwa penting penduduk, terutama perkawinan komunitas samin, merupakan salah satu tradisi yang harus dilestarikan berdasarkan semangat kebangsaan.

Perkawinan komunitas sedulur sikep di Blora, keliru jika dinilai batal demi hukum. Secara realitas perkawinan telah berlangsung dan UU telah mengakomodasi. Yang perlu digalakkan adalah pelayanan, terutama administrasi kependudukan, bagi masyarakat Samin. (10)

— Zamhuri, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Budaya Sumur Tolak, dosen Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus

Wacana Suara Merdeka 20 April 2010