19 April 2010

» Home » Kompas » Memahami Indonesia

Memahami Indonesia

Masalah menggenangi Indonesia: mafia peradilan dan penyelewengan hukum lainnya, penggelapan pajak, birokrasi tak efektif, rendahnya kualitas pendidikan dan sumber daya manusia, kemiskinan, gizi buruk, kerusuhan, perang antar- kampung, sengketa tanah, dan seterusnya.
Kenyataan itu bisa dipandang dari dua sisi. Dari sisi positif, masyarakat Indonesia sedang mengalami proses penyadaran progresif. Jika kita cermati, masalah-masalah yang terungkap itu bukan masalah baru. Sejak lama kita temui itu dalam keseharian, tetapi dulu sepertinya kita anggap wajar, tak ada yang mempermasalahkan. Kini, itu diungkap ke permukaan, disidik, dan beberapa diadili. Kesadaran terhadap masalah bisa jadi tanda dari meningkatnya kesadaran akan hidup yang baik.

 

Dari segi negatif, masalah di Indonesia sudah mengakar, mendarah-daging, menjadi bagian hidup kebanyakan orang Indonesia, dan terus berlangsung. Tak cukup fakta dan argumentasi untuk optimistis akan perbaikan Indonesia. Apa yang dihayati oleh begitu banyak orang dalam waktu begitu lama mustahil diubah dalam waktu singkat. Mereka yang pesimistis terhadap perbaikan di Indonesia punya banyak alasan untuk bertahan dengan sikapnya.
Saya memilih sisi positif: kesadaran akan perlunya perbaikan kehidupan sosial meningkat, sekaligus kesadaran untuk memberantas penyimpangan di tataran individual, kelompok, ataupun negara. Dengan itu, perbaikan jadi mungkin. Meski masih terjadi pasang-surut kesadaran, saya melihat tanda-tanda Indonesia bisa melakukan perbaikan yang berarti. Akan tetapi, tentu saja tak bisa kita abaikan kenyataan perilaku dan praktik-praktik hidup bersama penyebab masalah sosial sudah begitu lama jadi bagian Indonesia. Bahkan, sudah jadi mentalitas. Butuh pembenahan dari berbagai penjuru untuk mengubah mentalitas itu.
Dalam khazanah psikologi, merujuk Moscovici (1963, 1973), mentalitas bisa dipahami melalui ”representasi sosial”. Sederhananya, representasi sosial adalah perbendaharaan nilai, keyakinan, dan praktik-praktik yang dibagi bersama di antara anggota kelompok; produk dan proses penalaran praktis yang ditata melalui hubungan sosial dengan gaya dan logikanya sendiri, disebarluaskan dan dibagi bersama secara setara di antara anggota kelompok sosial atau budaya. Penalaran praktis itu biasa disebut ”logika awam” (common sense).
Representasi sosial menentukan kehidupan sosial macam apa yang akan dijalin dan dikembangkan oleh sebuah kehidupan bersama. Representasi ini bersifat cair, dapat disesuaikan dengan berbagai bentuk situasi sosial.
Ada dua fungsi representasi sosial (Moscovici, 1973). Pertama, menegakkan aturan yang akan memungkinkan individu memiliki orientasi dalam dunia material dan sosialnya serta meningkatkan penguasaan terhadap berbagai obyek di sana. Kedua, memungkinkan berlangsungnya komunikasi antara anggota komunitas dengan menyediakan kode untuk pertukaran sosial, memberi nama, dan mengelompokkan secara tegas beragam aspek dunia dan sejarah mereka.
Representasi sosial
Saya coba mengenali representasi sosial kebanyakan orang Indonesia. Kita dapat mengenalinya dari percakapan, tindakan, pola-pola perilaku dalam keseharian, dan hubungan sosial. Juga dalam tulisan, karya seni, dan produk budaya lainnya. Kita sendiri bisa menemukan secara langsung dalam keseharian kita.
Ada representasi yang bertentangan pada orang Indonesia. Saya temukan keyakinan akan hal-hal baik: akhlak mulia, kejujuran, religiusitas, saling menghormati, prihatin, sabar, rukun, dermawan, pemimpin bijaksana, dan sebagainya. Akan tetapi, juga saya saksikan praktik- praktik yang bertentangan dengan keyakinan itu: kecurangan, pemujaan harta benda, penguasa despot, pejabat menerima suap, korupsi, saling merendahkan, ingin cepat untung, gampang menyerah, permusuhan antarkelompok, mau menang sendiri, dan sebagainya. Akan tetapi, meski bertentangan, pada kenyataannya semua representasi itu bekerja dalam berbagai situasi sosial yang ditempati oleh orang-orang Indonesia. Representasi sosial mana yang bekerja, tergantung pada konteks.
Representasi sosial itu dibentuk melalui obyektifikasi, transformasi konsep menjadi citra, dan mengubah abstraksi menjadi hal yang terindrai. Konsep-konsep seperti hukum, birokrasi, peraturan, warga negara, dan demokrasi dibuat jadi konkret dan dapat diindrai, di antaranya melalui media TV, cerita, dan gosip. Representasi itu juga dihasilkan melalui penjangkaran: menarik masuk informasi baru ke dalam sistem pengetahuan dan pemaknaan yang sudah hadir lebih dahulu, menamai apa yang tak dapat dinamai, mengaitkan hal yang asing dengan yang sudah dikenali.
Sebagai contoh, presiden tadinya bukan konsep yang dikenal oleh orang Indonesia. Lalu setelah Indonesia merdeka, konsep ini diadopsi, tetapi bukan dalam pengertian aslinya, melainkan diletakkan dalam jejaring pemaknaan yang sudah terbentuk sebelumnya. Dalam praktiknya di Indonesia, seorang presiden tak jarang diperlakukan seperti raja, perlu dituruti semua kemauannya. Peran presiden yang abstrak dibuat jadi konkret melalui gambaran seorang raja.
Hal yang sama terjadi juga dengan konsep negara, pejabat pemerintah, sistem administrasi dan manajemen, juga hukum dan politik. Semua itu menjadi representasi berdasarkan representasi sosial terdahulu, sebagai produk dan proses yang dihasilkan oleh penalaran praktis melalui interaksi dalam situasi sosial di Indonesia.
Representasi emansipatif
Dari sejarah kita bisa paham, representasi sosial yang dominan dalam masyarakat Indonesia pada masa lalu adalah representasi hegemonik, yaitu representasi yang dianut oleh seluruh anggota kelompok yang sangat terstruktur, bukan hasil kelompok, melainkan dipaksakan, disebarkan secara seragam dan koersif untuk jadi representasi kolektif (Moscovici, 1988).
Sebagai contoh, pada masa Orde Baru berlangsung penyeragaman desa, orientasi politik, pendidikan, pola hidup, dan cara pikir di seluruh Indonesia lewat kontrol politik hingga menghasilkan representasi hegemonik, sementara pada praktiknya, korupsi, pelanggaran aturan, dan ketakadilan tetap berjalan dan dianggap wajar. Setelah Orde Baru lewat, ada desentralisasi kehidupan sosial. Keleluasaan subgrup, bahkan individu, untuk menentukan sendiri representasi sosial yang dianut tanpa adanya kohesi sosial memadai menjadikan Indonesia tampak lepas kendali. Subgrup-subgrup jalan sendiri-sendiri dengan keyakinan, aturan, dan praktik sosialnya masing-masing.
Konflik antara berbagai representasi sosial terjadi di banyak wilayah dan ranah. Pertentangan antargolongan, suku, kepentingan, dan keyakinan religius terjadi di banyak daerah. Menghadapi ketidakjelasan sosial, banyak orang yang mengembangkan pola perilaku berdasarkan representasi sosial yang dianggap paling menguntungkan, seperti korupsi, mafia peradilan, sogok-menyogok, politik uang, kemunafikan, dan perilaku-perilaku lain yang cenderung menguntungkan diri atau kelompok sendiri.
Lalu, kini kita saksikan Indonesia seperti banjir masalah; masalah yang sebenarnya sudah lama ada. Meski menyedihkan melihat karut-marut Indonesia, kita perlu bersyukur ada kesadaran bahwa Indonesia bermasalah karena dengan begitu kesadaran tentang perlunya perbaikan tidak sulit untuk terbit. Selanjutnya, diperlukan representasi emansipatif yang dibentuk melalui sirkulasi pengetahuan dan ide untuk menghasilkan pikiran dan praktik sosial yang tepat untuk memperbaiki Indonesia. Untuk itu, kelompok-kelompok yang beruntung sudah memanfaatkan representasi emansipatif, seperti intelektual dan orang-orang terdidik perlu menyumbangkan diri mereka untuk jadi agen-agen emansipasi
Bagus Takwin Dosen Fakultas Psikologi UI

Opini Kompas 20 April 2010