19 April 2010

» Home » Kompas » Deparlemenisasi

Deparlemenisasi

Memasuki masa persidangan DPR pascareses, sebersit keraguan menyengat. Apakah DPR kita akan tetap sekokoh waktu memutuskan bahwa pemberian dana talangan (bail out) Bank Century bermasalah?
Keraguan tersebut sangat beralasan. Sampai detik ini baru sedikit anggota DPR yang membubuhkan tanda tangan pesetujuan hak menyatakan pendapat. Sebagian lain menyatakan pikir-pikir atau menunggu keputusan partai.
Parlemen memang merupakan muara dari sungai partai- partai. Dan selama ini kita tahu betapa sungai tersebut tidak dapat dikatakan jernih benar. Opini publik terhadap kepartaian sendiri selama ini tidak begitu baik, sementara partai-partai tidak berbuat banyak untuk membenahi diri. Sejarah membuktikan bahwa tidak satu rezim pun jatuh semata karena dinamika parlemen. Kekuatan ekstra-parlementer tetap menjadi penentu. Pertanyaannya, apakah ini sudah menjadi takdir politik kita yang tak dapat dielakkan?


Mediokratisasi politik
Politik kita sudah lama mengalami mediokratisasi. Reformasi terbukti tidak menghasilkan negarawan, melainkan teknisi politik belaka.
Teknisi politik adalah mereka yang menguasai siasat untuk menundukkan lawan politik melalui tekanan psikopolitik ataupun finansial. Kekuasaan menjadi sesuatu yang tidak dipertanyakan, melainkan sekadar dipertahankan. Benar atau salah sebuah kebijakan disandarkan pada kekuatan lobi dan bukan transparansi dan akurasi data.
Sistem politik baru menghasilkan lebih banyak persoalan ketimbang penyelesaian. Demokrasi menjadi ajang negosiasi antar- elite yang mengabaikan akar rumput. Tidak ada debat yang bermutu. Semuanya sekadar topeng bagi distribusi pendapatan yang berjalan tanpa suara. Kita tahu betapa elite politik tersebar pada eksekutif dan legislatif, sementara persepsi publik cenderung memojokkan parlemen. Parlemen dipersepsi sebagai gerombolan politisi yang hanya tahu bertransaksi politik.
Persepsi ini bukan sesuatu yang mendadak jadi. Fakta politik turut menguatkan persepsi sedemikian. Partai-partai sebagai pabrik politisi tidak menghasilkan produk yang berkualitas paripurna. Paling banter, partai sekadar menghasilkan tokoh partai, bukan tokoh nasional. Partai sekarang tidak menghasilkan seorang Soekarno (PNI), Natsir (Masyumi), atau Syahrir (PSI). Tokoh-tokoh tersebut dapat dikatakan melampaui partainya. Gagasan dan pikiran mereka ibarat air bah yang menerobos partai dan membanjiri ruang kebangsaan.
Degradasi mutu politisi diperkuat lagi oleh kenyataan bagaimana dinamika partai sering kali lepas dari aspirasi akar rumput. Elite partai bermain dengan logika sendiri bernama kekuasaan. Argumen yang sering dilontarkan adalah kekuasaan penting bagi penguatan partai itu sendiri. Namun, sering kali elite partai lupa akan partainya begitu berkuasa. Kekuasaan jelas bukan jalan keluar bagi degradasi mutu kepartaian.
Fakta-fakta di atas membuat persepsi publik terhadap parlemen semakin menghitam. Keraguan terhadap partai berujung pada keraguan pada parlemen. Keraguan tersebut begitu dalam sampai-sampai kita lupa bahwa eksekutif pun menunjukkan sesuatu yang, secara diametral, tidak jauh berbeda.
Kepemimpinan eksekutif waktu Pansus Century kemarin tidak banyak yang dapat diteladani. Saya bertanya-tanya, kepemimpinan macam apa yang baru bertanggung jawab pada detik-detik terakhir keputusan Pansus, sementara anak buah sudah sekian lama menjadi bulan-bulanan opini publik yang ganas. Kedua, kepemimpinan eksekutif kemarin mengidap paradoks.
Di satu sisi, memerintahkan agar kebenaran dibuka sebenderang mungkin. Di sisi lain, mengerahkan segerombolan tim lobi untuk menutupi kebenaran. Inkonsistensi dijamin tidak ada dalam buku teks kepemimpinan mana pun juga.
Deparlemenisasi
Eksekutif juga adalah produk dari kepartaian kita. Dengan kata lain, persepsi buruk terhadap partai seharusnya juga berdampak pada produknya di eksekutif. Kenyataannya, parlemen lebih sering dijadikan obyek hujatan. Setiap kebijakan parlemen senantiasa dipandang dengan sinis dan sarat kecurigaan. Publik berpikir bahwa di balik itu pasti bersembunyi politik barter. Publik tidak berpikir bahwa eksekutiflah yang ”memaksakan” barter tersebut.
Deparlemenisasi sudah berlangsung sejak lama. Ironis memang. Parlemen yang merupakan rumah bagi kedaulatan rakyat tidak dipercaya sebagai tempat bernaung yang sah. Sepanjang Orde Baru, parlemen memang dibuat tidak banyak berbicara. Ini sungguh dapat dimengerti. Kepartaian memang dibonsai habis semasa Orde Baru. Namun, kepartaian yang riuh rendah pascareformasi pun tidak berbuat banyak bagi mutu parlemen saat ini.
Fakta politik ini dipahami betul oleh eksekutif. Ini yang membuat pidato eksekutif pun dengan berani membantah keputusan politik parlemen.
Keberanian itu berpijak pada dua alasan. Pertama, legitimasi eksekutif dan legislatif sama berasal langsung dari rakyat.
Kedua, eksekutif yakin bahwa rakyat pasti berpihak padanya. Betapa tidak? Secara kuantitas, eksekutif memiliki legitimasi sebesar 60 persen lebih. Secara kualitas pun, eksekutif selama ini dipercaya sebagai profesional yang mengabdi dan melayani. Rakyat dijamin tidak akan berpihak pada para teknisi politik di parlemen.
Kita lupa bahwa di Pansus Century, kemarin, terdapat seorang wakil sekretaris jenderal (sekjen) sebuah partai Islam yang memainkan politik sebagai kekriyaan (phronesis) dan bukan teknis (techne). Sang wakil sekjen dengan berani berdiri berhadapan dengan instruksi ketua umum atas nama konstituen dan organisasi sayap. Baginya, hakikat partai adalah konstituensi dan bukan elite politik. Elite dapat digantikan, tetapi konstituen tidak. Partai tidak berkonstituen ibarat ufuk timur tanpa matahari.
Kita lupa bahwa justru eksekutif yang kemarin memainkan politik sebagai teknik belaka. Hukum dijadikan alat tekanan politik. Supremasi dan kemuliaan hukum yang menjadi nyawa demokrasi konstitusional diabaikan. Citra dimainkan dengan apik. Buruk muka parlemen yang sudah melekat di benak publik dijadikan modal awal bagi politik pencitraan yang menguntungkan. Semuanya adalah teknik, tanpa substansi. Politik tanpa seni dan gagasan.
Kelupaan kita bukan sesuatu yang genetik. Itu merupakan buah proses deparlemenisasi yang sudah berlangsung lama. Bagaimana membongkar ketidaksadaran tersebut, semuanya terpulang pada partai-partai politik. Perbaikan sistemik pasti memakan waktu lama. Ibarat mobil tua, partai-partai bukan saja harus diketok ulang, melainkan turun mesin total.
Perbaikan persepsi jauh lebih mudah. Parlemen sesungguhnya sudah menabung kebaikan sewaktu rapat paripurna hak angket. Tinggal bagaimana kapitalisasi tabungan tersebut dilakukan dengan kembali merapatkan barisan. Masa persidangan pasca- reses sudah dimulai. Parlemen disodorkan dua opsi sederhana: bertransaksi atau berpolitik.
Transaksi adalah kepentingan sementara politik, keberanian. Semoga Tuhan bersama orang- orang yang berani.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Universitas Indonesia

Opini Kompas 20 April 2010