Memang, di dalam demokrasi modern, sebagaimana aspirasi ”teokrasi” yang sulit untuk dihilangkan secara total, politik dinasti juga tetap bisa muncul. Kita bisa melihat beberapa tipe politik dinasti dalam matriks kepolitikan kontemporer.
Dalam bentuk yang halus, politik dinasti muncul dalam gejala ”dinasti politik” yang mendorong sanak keluarga elite-elite lama untuk terus memegang kekuasaan yang diturunkan ”secara demokratis” oleh para pendahulu mereka.
Dalam jenis ini, penyesuaian terhadap etik demokrasi modern dilakukan dengan cara mempersiapkan putra-putri yang bersangkutan dalam sistem pendidikan dan rekrutmen politik yang sedemikian dini. Jadi, dengan itu, apabila mereka muncul, kemunculannya seolah-olah bukan diakibatkan oleh karena faktor darah dan keluarga, melainkan oleh karena faktor-faktor kepolitikan yang lebih wajar dan rasional. Cara semacam ini masih dipraktikkan dalam negara-negara demokratis, misalnya Amerika Serikat dan India.
Dalam bentuk yang lain, politik dinasti tampil dalam cara yang lebih vulgar dan identik dengan otoriterianisme. Ia muncul dari suatu sistem politik modern yang sebelumnya sudah dibekukan dan dikondisikan sedemikian rupa sehingga ”rakyat” melalui wakilnya hanya bisa memilih anak/istri dari keluarga penguasa lama. Dengan demikian, di sini yang terjadi sebenarnya adalah politik dinasti yang dipilih bukan secara sukarela (by consent), tetapi secara represif. Ini misalnya terjadi di Singapura.
Sistem pemerintahan yang kuasi-otoritarian mendahului dan menjadi dasar bagi kemunculan politik dinasti. Hal serupa juga nyaris terjadi di Indonesia pada masa akhir kekuasaan Soeharto. Namun, penting juga untuk dicatat di sini bahwa meskipun otoritarian, politik dinasti di Singapura masih relatif lebih ”elegan” dibandingkan dengan sistem Soeharto dulu karena setidaknya ”sang pewaris” takhta secara sengaja dan khusus dipersiapkan dan dididik secara serius untuk berkuasa. Jadi, bukan dinasti politik yang serampangan.
Dalam bentuk ketiga, politik dinasti muncul dalam konteks yang lebih unik. Apabila di Amerika dan India (bahkan Singapura) politik dinasti dilakukan dengan mempertimbangkan delikasi politik demokratis dan persiapan matang untuk tidak ”memalukan”, dalam tipe ketiga, politik dinasti muncul semata-mata sebagai bagian dari mekanisme reproduksi kekuasaan pribadi yang vulgar dengan memanfaatkan sistem demokrasi yang baru. Dalam mekanisme ini politik dinasti berkolaborasi secara intens dengan politik uang, kapitalisme media, dan budaya patronase. Uang, media, dan budaya patronase dipakai dan dimanipulasi untuk ”mengatrol” penampilan dan meraup justifikasi politik. Gejala ini menguat di Filipina dan Indonesia sekarang.
Lantas, apa bahaya dari politik dinasti? Ada orang yang menganggap bahwa politik dinasti bukanlah gejala yang mengkhawatirkan. Salah satu argumen yang diajukan adalah pengalaman India di mana dinasti politik terus muncul, tetapi demokrasinya tetap stabil dan bermutu.
Ringkasnya, mengenai sifat baik-buruk politik dinasti pada dasarnya memang akan sangat bergantung pada pendasaran dan filsafat politik apa yang kita anut. Bagi mereka yang berpandangan ekstrem liberal yang menganggap bahwa inti dari politik adalah hak-hak individual, politik dinasti diperbolehkan, bahkan mesti dibela. Ini dipandang sebagai bagian dari hak individu. Namun, bagi mereka yang berpandangan sedikit republikan, politik dinasti secara prinsip tidak bisa diterima! Mengapa?
Terdapat beberapa alasan mengapa politik dinasti tidak dapat kita terima. Pertama, kata rakyat, demokrasi, dan kata politik sebagaimana ditulis konstitusi kita pada dasarnya merujuk pada hal yang sama, yakni ”polis” atau kemaslahatan umum atau kepentingan orang banyak atau publik. Artinya, politik dalam paham ketatanegaraan kita secara prinsipiil harus bersumber dan sekaligus diarahkan ke tujuan kepublikan atau kemaslahatan orang banyak.
Politik dinasti berlawanan dengan paham di atas karena di dalamnya yang menjadi dasar sekaligus tujuan adalah kepentingan pribadi (private interest). Kedua, konsep demokrasi yang kita terima secara prinsipiil berarti mengedepankan legitimasi dan reproduksi kekuasaan yang melibatkan orang banyak. Artinya, sekali lagi mau ditegaskan bahwa politik selalu adalah urusan ”yang umum” atau ”yang publik”. Prinsip ini tidak dapat ditelikung dengan manipulasi uang, media, dan eksploitasi budaya patronase yang masih kuat.
Ketiga, dalam konteks Indonesia, invasi kepentingan pribadi (private interest) ini sudah mencapai tahap kegilaan tertentu. Ini terlihat dalam gejala di mana makin banyak anak, istri—bahkan ada istri pertama dan istri kedua—artis-artis yang hanya mengandalkan bombastisme media bertarung dalam pilkada-pilkada. Kegilaan ini secara sepintas barangkali sama sekali tidak mencederai prosedur demokrasi kita, tetapi secara prinsip merusak substansi politik dan demokrasi yang mengedepankan kemaslahatan dan akal budi umum.
Pada akhirnya, yang lebih penting adalah kita tidak boleh lupa bahwa nama depan Indonesia adalah republik. Bentuk ini dipilih bukan tanpa sebab; di dalam republik ada pendirian, cita-cita, dan etika. Dalam pengertian yang paling sederhana, republik adalah tanda dari penentangan yang serius terhadap politik dinasti.
Musuh pertama republik adalah absolutisme yang mengejawantah dalam praktik pemerintahan raja-raja. Politik dinasti diturunkan dari sistem terbelakang ini. Di dalam republik, para pendiri bangsa kita menetapkan keyakinan pada kerangka kebersamaan untuk kemaslahatan umum, di mana kekuasaan diproduksi secara sosial melalui suatu mekanisme demokratis dan partisipatif, bukan diturunkan secara biologis.
Dalam republik, para pendiri bangsa yang egalitarian membuang cara pandang feodal yang membuat para elite dan keluarga kaya-penguasa memandang diri dan keluarga mereka sebagai makhluk-makhluk istimewa yang berbeda derajatnya dengan kebanyakan rakyat. Intinya, sejauh kita masih bermaksud meneruskan republik warisan pendiri bangsa, politik dinasti tidak dapat kita terima.