22 April 2010

» Home » Kompas » Arsitektonik Korupsi

Arsitektonik Korupsi

Korupsi divonis sebagai suatu extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang harus ditangani dengan cara-cara luar biasa pula.
Hal itu juga disebabkan jaringan korupsi kini telah menjadi suatu arsitektonik (architectonic) karena menyangkut struktur organisasi suatu sistem kekuasaan yang berkelindan dengan sistem kultural/kebiasaan.
Sedemikian variatifnya modus operandi tindak pidana korupsi, Syed Husein Alatas mengklasifikasikan korupsi menjadi tujuh jenis: transaktif (melalui kesepakatan timbal balik), ekstroktif (melalui koersi/tekanan ke pemberi suap), investif (melalui penawaran barang/jasa dengan keuntungan pada masa depan), nepotistik (melalui pemberian perlakuan khusus), autogenik (melalui pengetahuan/keahlian pelaku), suportif (melalui kondisi yang melindungi pelaku), dan defensif (pertahanan diri dari pemerasan).

 

Korupsi di negeri ini diyakini sudah menimbulkan dampak sistemik yang bisa berimplikasi terjadinya public distrust terhadap para penyelenggara negara eksekutif, legislatif, yudikatif, dan state auxiliary agencies. Keutamaan dalam pandangan Aristoteles bukan pertama-tama diperoleh melalui pengetahuan, melainkan dengan melakukan kebiasaan baik (habitus). Habitus publik mampu melembagakan nilai moral melalui konsientisasi. Pemberantasan korupsi harus dimulai dari upaya menumbuhkan kebiasaan baik.
Dalam pemikiran Kant, nilai moral (baik buruknya tindakan) tidak terletak pada hasil tindakan, melainkan pada sesuatu dalam kesadaran subyek moral (maksim). Maksim merupakan kehendak (wille) subyektif yang bersifat asasi.
Ada dua maksim, empiris/material dan a priori/formal. Maksim yang bernilai moral adalah maksim a priori karena mematuhi hukum universal an sich, tak sekadar mengacu hasrat-hasrat inderawi. Ini berbeda dengan maksim empiris yang semata mengacu pada efek tindakan.
Tak cukup mengatasi korupsi dengan mengukurnya sekadar berdasarkan efek tindakan, besar atau kecil uang negara yang dikorup tetap korupsi. Keterputusan antara kesadaran dengan tindakan tidak akan dapat disambung dengan sekadar meningkatkan beratnya sanksi atau melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi dengan mencari pelaku korupsi yang berskala besar.
Langkah strategis
Upaya mendorong terbangunnya habitus publik yang menimbulkan kesadaran subyek moral merupakan langkah strategis memberantas korupsi secara radikal, artinya mencabut akar korupsi. Berkembangnya korupsi disebabkan kebiasaan buruk yang menyemai perilaku koruptif yang kian variatif telah mematikan perasaan bersalah. Dalam kondisi ini tak cukup memberantas korupsi hanya dengan menindak pelaku tanpa melakukan perubahan terhadap habitus.
Sejarawan Onghokham (1983) mengisahkan dalam sejarah Jawa, persoalan pemungutan pajak dan kesewenangan pejabat seperti demang, bekel, dan khususnya para penjaga pintu jalanan pernah menyebabkan timbulnya pemberontakan, antara lain pemberontakan Diponegoro (1825-1830). Kebanyakan para pengikut Diponegoro bukan memprotes sang patih, sultan, atau Belanda, melainkan justru memprotes dan melakukan perlawanan terhadap pemungut pajak di gerbang jalanan.
Pada masa kolonial berdasarkan arsip-arsip Belanda, lebih banyak protes terhadap kesewenangan dan korupsi (penghilangan uang pajak dan sejenisnya) dari lurah daripada terhadap bupati. Korupsi sistemik telah terjadi sejak masa kolonial di semua aras birokrasi pemerintahan Hindia Belanda.
Arsitektonik korupsi sebagai suatu kejahatan sistematis harus diberantas melalui transformasi habitus untuk membangun kesadaran subyek moral. Efek berganda kejahatan korupsi bisa dikaitkan dengan dilanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ecosoc) rakyat karena darinya, negara tak berdaya melaksanakan kewajiban asasi untuk menuntaskan program jaminan sosial; memberikan subsidi terhadap keluarga, ibu dan anak-anak; memenuhi standar kehidupan yang memadai; memenuhi standar kesehatan fisik dan mental bagi rakyatnya; serta memenuhi hak atas pendidikan dan sosial budaya bagi rakyat.
W Riawan Tjandra Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya, Yogyakarta

Opini Kompas 23 April 2010